
Pagi itu, Minggu (24/8/2025), udara di Desa Surowiti, Kecamatan Panceng, Gresik, terasa lebih segar dari biasanya. Langit biru cerah, matahari belum terlalu terik, dan angin laut utara Gresik bertiup perlahan. Namun yang membuat suasana berbeda adalah riuh rendah suara warga yang sejak pagi sudah berkerumun di jalan desa.
Anak-anak kecil berlarian membawa bendera merah putih kecil di tangan mereka. Para ibu berdandan rapi, sebagian mengenakan kebaya sederhana, sementara para bapak sibuk mengatur barisan peserta karnaval. Hari itu, Desa Surowiti tidak hanya merayakan HUT RI ke-80, tetapi juga menghidupkan kembali semangat budaya lewat Karnaval Budaya Desa Surowiti.
Enam RW di desa ini tampil penuh semangat, unjuk kreativitas masing-masing. Ada yang menghadirkan busana adat Jawa, lengkap dengan ornamen kerajaan. Ada pula rombongan yang memilih menampilkan kostum profesi: dari petani, nelayan, hingga guru dan tenaga kesehatan, seolah ingin menegaskan pentingnya peran mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Penonton pun tak berhenti bersorak setiap kali rombongan baru lewat. Namun puncak perhatian warga terpusat pada satu atraksi istimewa: kemunculan Eyang Semar raksasa yang diiringi dengan musik tradisional Tongklek.
Dari kejauhan, sosok Semar itu tampak gagah sekaligus bersahaja. Perutnya buncit, wajahnya teduh dengan senyum jenaka, sesuai gambaran tokoh Punakawan dalam pewayangan Jawa. Replika Semar itu digotong bersama-sama oleh warga RW 04, membuat penonton tak berhenti memotret dengan ponsel mereka.
Iring-iringan Semar semakin hidup dengan dentuman Tongklek, musik tradisional khas Jawa Timuran yang terbuat dari kentongan bambu, dipadukan dengan alat musik sederhana lain. Ritmenya yang rancak membuat penonton ikut bergoyang dan bertepuk tangan mengikuti alunan.
“RW 04 memang sengaja menampilkan Semar. Ia bukan sekadar tokoh wayang, tapi juga simbol kebijaksanaan, kerendahan hati, dan religiusitas. Dengan Semar, kami ingin mengingatkan kembali nilai-nilai itu kepada warga,” ujar Lilik Suharwati, warga yang dikenal sebagai pegiat sosial kemasyarakatan.
Bagi Lilik, Semar bukan sekadar tontonan karnaval. Lebih dari itu, ia adalah tuntunan. “Semar selalu digambarkan sederhana, bijak, tapi juga humoris. Ia mengajarkan manusia untuk tidak sombong, selalu rendah hati, dan menjaga kejernihan berpikir,” tambahnya penuh semangat.
Tak sedikit warga yang mengangguk setuju mendengar penjelasan itu. Bagi mereka, kehadiran Semar di karnaval kali ini adalah simbol persatuan, simbol bagaimana masyarakat Surowiti bisa hidup berdampingan dengan rukun meski berbeda latar belakang.
Kepala Desa Surowiti, H. Muhammad Sonhaji, S.Sos., yang akrab disapa Gus Sonhaji, tak kuasa menyembunyikan rasa bangganya. Di hadapan ratusan warganya, ia mengucapkan terima kasih dengan cara yang khas: penuh puitis.
“Ujung ibu jari saya menjadi bahasa terima kasih buat semua warga desa. Dan mulai hari ini, peliharalah pohon hijau di hatimu, karena suatu saat nanti, burung-burung yang bernyanyi akan datang bertengger di rantingnya,” ucapnya, disambut tepuk tangan meriah.
Sebagai pengasuh Padepokan Ngaji Roso di Bukit Surowiti, Gus Sonhaji memang dikenal suka menyelipkan pesan filosofis dalam setiap pidatonya. Baginya, kemerdekaan bukan hanya perayaan tahunan, tetapi juga momentum untuk memperkuat persatuan dan memajukan desa.
Ia menegaskan, semangat peringatan HUT RI dengan tema nasional tahun ini, “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”, harus terus dijaga. “Semoga karnaval budaya ini berlanjut di tahun-tahun mendatang. Mari kita tetap guyub rukun, bergotong royong, dan membangun desa yang kita cintai ini,” pungkasnya.
Sementara itu, warga tampak enggan meninggalkan lokasi meski karnaval sudah usai. Banyak yang masih bercengkerama, membicarakan betapa meriahnya acara tahun ini. Anak-anak masih berlarian membawa bendera kecil, sementara ibu-ibu saling bertukar foto hasil jepretan ponsel mereka.
Hari itu, Surowiti bukan hanya merayakan kemerdekaan. Desa kecil di utara Gresik ini juga berhasil menegaskan jati dirinya: desa yang guyub rukun, menjaga tradisi, sekaligus membuka ruang bagi warganya untuk berkreasi dan berbagi kebahagiaan.
Dan di antara tawa, dentuman Tongklek, dan senyum Semar, semangat kemerdekaan terasa nyata, hidup di hati warga Surowiti