Oleh : Prof. Daniel Mohammad Rosyid
Pemilu serentak 2019 yang menelan korban mati ratusan dan sakit ribuan adalah puncak deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara sejak bangsa ini menggunakan UUD2002 hasil amandemen ngawur atas UUD45. Bangsa ini sudah melumpuhkan Pancasila sebagai filosofi berbangsa dan bernegara, jatuh pada neoliberalisme sekaligus neokomunisme. Pernyataan bahwa seolah Pancasila masih hidup sehat namun terancam khilafah adalah hoax paling menghina ummat Islam Indonesia.
Potensi skenario kericuhan pasca-pilpres ala Venezuela bisa terjadi dalam waktu dekat menjelang pengumuman resmi KPU pada 22 Mei 2019. Narasi dan aksi Pemerintahan Jokowi yang islamophobic sebagai pelaksana program Global War on Islam oleh Khalifah AS telah memojokkan ummat Islam. Harus diingat bahwa rentetan aksi ummat Islam yang dipimpin Habib Riziq Shihab hanyalah reaksi atas aksi Jokowi ini. Bangsa yang selama ini hidup serasi dalam kebhinnekaan digiring dalam sebuah perbenturan dengan skala yang tidak pernah terjadi dalam sejarah Indonesia modern.
Prabowo yang berjiwa prajurit nasionalis mendapati dirinya dalam posisi yang sulit. Untuk memenangkan kontestasi kali ini, ia harus jelas membedakan diri dari Jokowi agar cukup menarik bagi pemilih muslim yang kesadaran politiknya justru makin tinggi oleh sikap Jokowi yang makin tidak bersahabat pada ulama yang popularitasnya meroket melalui media sosial.
Jokowi harus melawan kenaikan elektabilitas Prabowo di kalangan pemilih muslim dengan empat cara. Pertama dengan memilih Kyai Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Kedua, menggunakan teknik firehose of falsehood yang disebar secara masif di media sosial untuk memanipulasi opini pemilih sehingga menurunkan elektabilitas Prabowo. Ketiga, menggunakan lembaga survai untuk melakukan dan mempublikasikan Quick Count untuk secara preemptive mengalahkan Prabowo. Keempat, merusak data pemilih, dan memanipulasi suaranya melalui Sistem Perhitungan suara yang tidak layak. Bukan salah Prabowo yang memiliki cukup banyak data kecurangan Pilpres ini yang membuatnya sulit menerima kekalahan dalam kontestasi yang tidak jujur dan tidak adil.
Keempat cara itu bisa dengan mudah dilakukan Jokowi sebagai petahana yang tidak cuti. Jokowi pada dasarnya sudah melakukan kampanye selama periode pertama berkuasa dengan menggunakan berbagai sumberdaya negara. Faktor petahana ini adalah salah satu variabel penting dalam kontestasi 2019 yang tidak seimbang ini. Peluang menjabat Presiden 2 kali adalah salah satu cacat paling serius dalam UUD2002 setelah penghancuran sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat. UUD2002 membuka monopoli partai politik dalam pasar politik nasional sehingga menempatkan posisi Presiden sebagai petugas partai, bukan mandataris MPR.
Membuka peluang menjabat dua periode bertentangan langsung dengan prinsip jabatan sebagai amanah. Rancangan ini juga akan menempatkan Wapres hanya sebagai ban serep. Ini juga menghambat pergiliran kekuasaan sebagai sesuatu yang harus dibatasi. Berkuasa cenderung koruptif dan memiliki kekuasaan besar berlama-lama membawa potensi korupsi makin besar. Tidak ada jabatan yang layak dipertahankan mati-matian.
Dalam situasi dan kondisi legal formal yang deformatif inilah kita masih berharap agar kekisruhan Venezuela tidak terjadi di sini dalam waktu dekat ini. Kita berharap para elite nasional yang masih patriotik, bersama Cak Nun, dapat segera merumuskan solusi kepemimpinan nasional secara ekstra-legal-formal karena seluruh institusi Pemilu 2019 sudah berhasil memilukan bangsa ini.
Agro Bromo Anggrek, 15/5/2019
Leave a Reply