Dekan FH UNISMA Soroti Tumpang Tindihnya Kewenangan dalam RUU KUHAP

Dr. Arfan Kaimuddin, SH, MH
Dr. Arfan Kaimuddin, SH, MH

Selain itu, Dr. Arfan mengungkapkan bahwa ketentuan ini dapat membebani kejaksaan dengan tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab penyidik. Fungsi utama kejaksaan adalah memproses perkara berdasarkan hasil penyidikan, bukan melakukan investigasi awal.

Dalam analisisnya, Dr. Arfan juga mengkritik Pasal 111 Ayat 2 RUU KUHAP yang memberikan kewenangan kepada
Penuntut umum dapat mengajukan permohonan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang seharusnya hal demikian merupakan kewenangan kepolisian. Hal ini akan melemehkan sistem peradilan pidana yang sudah terintegrasi dengan baik selama ini.

Menurutnya, hal ini melanggar prinsip peradilan yang adil dan imparsial (fair trial).

“Jaksa dan polisi adalah bagian dari rantai penegakan hukum yang harus bekerja secara kolaboratif, bukan saling menilai atau mengintervensi. Ketentuan ini berpotensi menciptakan konflik kepentingan yang serius,” tegas Dr Arfan.

Arfan yang meraih gelar Doktor di Universitas Brawijaya Tahun 2018 ini, juga menyoroti dampak perluasan kewenangan kejaksaan yang diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 dan UU Nomor 11 Tahun 2021. Salah satu kewenangan yang dianggap bermasalah adalah fungsi intelijen kejaksaan, seperti pengawasan multimedia dan menciptakan kondisi yang mendukung pembangunan.

“Kejaksaan didesain untuk menegakkan hukum, bukan untuk melaksanakan tugas pembangunan atau pengawasan multimedia yang sifatnya abstrak,” ujarnya.

Dr. Arfan menambahkan bahwa perluasan kewenangan kejaksaan ini dapat menimbulkan tumpang tindih dengan institusi lain seperti Kepolisian, TNI, dan BIN, serta mengaburkan fungsi utama kejaksaan sebagai penegak hukum.

Sebagai akademisi, Dr. Arfan mengusulkan agar Legislator mempertimbangkan kembali ketentuan-ketentuan yang berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dalam RUU KUHAP.

“Pendekatan dalam sistem peradilan pidana dititik beratkan pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, bukan justru memberikan ruang yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara aparat penegak hukum,” tutupnya.

Pandangan kritis Dr. Arfan diharapkan menjadi masukan bagi legislator untuk menyusun regulasi yang lebih matang dan adil bagi semua pihak dalam sistem peradilan pidana. (**)

Baca Juga: