
GRESIK (SurabayaPost.id) – Sanksi administratif berupa denda Rp290,2 juta yang dijatuhkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kepada PT Sumber Mas Indah Plywood (SMIP) dinilai terlalu ringan. Perusahaan pengolahan kayu ini terbukti memanfaatkan ruang laut di Karangkiring, Kebomas, Gresik Jatim tanpa izin resmi selama bertahun-tahun.
Diduga, ada potensi kerugian negara dari praktik ilegal pemanfaatan ruang laut itu bisa mencapai miliaran hingga puluhan miliar rupiah. Kasus ini mencuat setelah Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) melakukan pemeriksaan lapangan serta ekspose perkara pada 12 Agustus 2025. Hasilnya, PT SMIP terbukti membangun dan memanfaatkan pagar laut seluas 15,537 hektare tanpa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Dengan tarif denda Rp18,68 juta per hektare, total kewajiban ditetapkan Rp290.231.160. Surat resmi penetapan denda itu dituangkan dalam dokumen Nomor B.632/DJPSDKP/PW.470/VIII/2025 yang ditandatangani Dirjen PSDKP, Dr. Pung Nugroho Saksono
Perusahaan diwajibkan membayar denda dalam 30 hari kerja sejak penetapan, dengan hak mengajukan keberatan administratif maksimal 21 hari. Namun, fakta bahwa pelanggaran ini berlangsung lama menimbulkan pertanyaan serius: mengapa hanya denda ratusan juta yang dikenakan?
Denda Rp290 juta tampak tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung negara. Jika dihitung berdasarkan lama pemanfaatan ruang laut tanpa izin, nilai kerugian bisa mencapai miliaran rupiah. Perkiraan, jika menggunakan skenario konservatif (5 tahun, nilai izin rendah) diduga kerugian negara Rp1,48 miliar. Jika menggunakan skenario moderat (5 tahun, nilai izin menengah + jasa ekosistem) kerugian negara diperkirakan Rp14,7 miliar. Dengan skenario tinggi (worst-case, termasuk biaya remediasi ekosistem) kerugian negara bisa mencapai Rp69,9 miliar
Kerugian itu bukan hanya soal hilangnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tetapi juga menyangkut jasa ekosistem laut yang rusak, potensi tangkapan ikan nelayan yang berkurang, hingga biaya rehabilitasi lingkungan.
Meski surat pernyataan kesanggupan membayar denda ditandatangani langsung Direktur PT SMIP, Ivan Susanto Hartono, manajemen perusahaan justru terkesan menutup diri. Legal PT SMIP, Bangkit Widiyatno, bahkan mengaku tidak mengetahui detail pelanggaran maupun pembayaran denda. Pernyataan ini seolah mengesankan tidak terjadi apa-apa atas pelanggaran yang telah ditetapkan oleh KKP.
Jika dianalisa lebih detil, kasus ini tidak bisa hanya berhenti pada denda administratif. Pelanggaran pemanfaatan ruang laut tanpa izin dalam jangka panjang bukan sekadar urusan administrasi, melainkan dugaan tindak pidana yang berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar.
Sehingga dalam kasus ini memberi ruang pihak Kepolisian dan Kejaksaan untuk turun tangan. Jika serius untuk melakukan pengusutan adanya dugaan kerugian negara, penegak hukum bisa melakukan penyelidikan menyeluruh untuk memastikan apakah ada unsur pidana, pembiaran, atau bahkan potensi tindak korupsi di balik pelanggaran ini.
Jika dibiarkan maka kasus PT SMIP akan menjadi preseden buruk: bahwa menjarah ruang laut bisa ditebus dengan denda murah, sementara kerugian negara dan masyarakat pesisir terus menumpuk.
Kasus ini menjadi alarm bagi pemerintah bahwa sanksi administratif semata tidak cukup. Laut adalah ruang publik strategis yang tidak boleh dikuasai seenaknya oleh korporasi tanpa izin. Negara wajib hadir untuk memastikan pengelolaan ruang laut berjalan adil, berkelanjutan, dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat.