Oleh : Yunanto
MALANG ( Surabayapost.id ) – Tatkala media massa cetak berjaya di negeri ini, terminologi yellow paper (koran kuning, jurnalisme kuning) cukup populer. Istilah lain yang serumpun dengan yellow paper adalah jurnalisme alkohol.
Makna istilah yellow paper dan jurnalisme alkohol berkonotasi negatif. Sama-sama buruk. Yellow paper adalah jurnalisme pemburukan makna. Jurnalisme kuning ini kepentingannya membuat masyarakat (komunikan media massa) menjadi sangat tertarik pada suatu berita. Tak pelak lagi gaya jurnalistiknya pun bombastis, tapi isi beritanya tidak substansial.
Jurnalisme kuning jelas tidak profesional. Berkecenderungan kuat tidak mengindahkan kaidah jurnalistik yang umum berlaku. Salah satu cirinya, sumber beritanya anonim (tanpa sumber berita, tanpa elemen who). Pijakannya ilusi, imajinasi, fantasi. Pendek kata, 100 persen opini Sang Jurnalis. Nihil fakta peristiwa maupun fakta pendapat. Inilah jurnalistik tanpa “kiblat” fakta.
Sedangkan jurnalisme alkohol di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diberi makna jurnalisme yang tidak berdasarkan kebenaran, tapi hanya isapan jempol. Hakikat makna “kebenaran” tersebut adalah sesuai dengan fakta. Baik fakta peristiwa, fakta pendapat, maupun gabungan dua fakta tersebut.
Pondasi Kokoh
Populernya terminologi jurnalisme kuning dan jurnalisme alkohol yang bermakna negatif tersebut masih saja eksis dari masa ke masa. Tidak hanya pada era Orde Lama dan Orde Baru. Bahkan hingga kini, era Reformasi.
Bila dikilas balik, mungkin jadi lebih mudah dinalar. Produk hukum positif pertama berupa undang-undang tentang pers lahir 21 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. UU Pers pertama itu adalah UU No. 11/Tahun 1966. Ditandatangani Presiden Soekarno menjelang runtuhnya rezim Orde Lama.
Rezim Orde Baru masih terus memberlakukan UU Pers produk Orde Lama tersebut. Setelah 16 tahun kemudian, barulah Presiden Soeharto mengubahnya dan mengabsahkan berlakunya UU No. 21/ Tahun 1982 tentang Pers. UU Pers produk Orde Baru ini berumur 17 tahun, seiring runtuhnya Pemerintahan Presiden Soeharto lewat Reformasi Mei 1998.
Kemerdekaan pers kala Orde Lama dan Orde Baru, tentu tidak “seindah” sekarang. Waktu itu, terlebih pada era Orde Baru, tidak hanya ada breidel (penutupan/pelarangan terbit media massa cetak), tapi juga marak “lembaga telepon”. Makna harafiahnya, cukup hanya dengan menelepon redaksi, pemberitaan peristiwa apa pun bisa dihentikankan atau tidak diterbitkan, bila dinilai berpotensi merugikan pihak penguasa. Tanpa ada perlawanan.
Setahun setelah Reformasi 1998, Presiden BJ Habibie mengabsahkan perubahan UU No. 21/ Tahun 1982. Lahirlah UU No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers. Landasan hukum UU Pers produk era Reformasi ini sangat kokoh. Berpondasikan Pasal 28-F, UUD 1945.
Kokohnya pondasi UU Pers produk Reformasi 1998 diperkuat dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pada era yang sama. “KEJ Reformasi” tersebut lahir di Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006. KEJ tersebut ditandatangani 30 orang pimpinan/ketua organisasi wartawan (mayoritas), dan organisasi perusahaan pers. Mereka antara lain Wina Armada Sukardi (dari PWI), Abdul Manan (AJI), Bekti Nugroho (IJTI) dan Mahtum Mastoem (SPS).
Parah Seenaknya
Kini, 2020, UU Pers produk Reformasi telah berumur 21 tahun. Boleh jadi, terminologi jurnalisme kuning dan jurnalisme alkohol asing di telinga para jurnalis yang lahir pada dekade 1980 dan setelahnya. Peliknya, secara kasat mata, praktika jurnalisme kuning dan jurnalisme alkohol masih saja terjadi hingga kini. Terlebih di media siber/media online yang jumlahnya kian menjamur.
Saya mengamati sejumlah portal media online lewat berbagai akses. Ampun, kuantitas dan kualitas karya jurnalistik beraroma kuat jurnalisme kuning dan jurnalisme alkohol malah kian parah. Pasti, internet telah berandil besar “memboyong” jurnalisme negatif tersebut ke ranah portal-portal media online. Faktual memang, penyebaran warta ke komunikan media sangat lebih cepat media online daripada media massa cetak atau media konvensional.
Hal parah yang mencolok, terkait dengan etika berjurnalistik. Wujud konkretnya, pelanggaran secara kasat mata terhadap KEJ. Padahal, menaati KEJ hukumnya wajib bagi jurnalis/wartawan (Pasal 7, ayat 2, UU No. 40/Tahun 1999 tentang Pers).
Ada 11 pasal dalam KEJ buah Reformasi 1998. Catatan saya, Pasal 3 KEJ yang paling sering “dinistakan” (baca: dilanggar). Amanat Pasal 3 KEJ selengkapnya, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dengan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tidak bersalah”.
Penafsiran Pasal 3 KEJ tersebut, sebagai berikut:
(1) Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
(2) Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
(3) Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
(4) Asas praduga tidak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Saya meyakini, pelanggaran terhadap Pasal 3 KEJ tersebut bila terjadi di media online berkorelasi kuat dengan UU No.11/ Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU No. 19/ Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Terutama terkait dengan Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE yang sanksi pidananya ada di Pasal 45 UU ITE.
Sanksi pidana di UU ITE sungguh berat. Ancamannya pidana penjara empat – enam tahun dan denda Rp 750 juta – Rp 1 miliar. Aneh, tingginya sanksi pidana penjara plus denda tersebut tidak menciutkan nyali sebagian jurnalis beraliran jurnalisme kuning dan jurnalisme alkohol.
Jujur saja, saya heran. Apa mens rea (motif yang membalut niat) mereka memproduksi karya jurnalistik berkualitas sangat buruk?
Ya, itulah faktual jurnalistik seenaknya. Tentu sangat buruk, karena tidak hanya melanggar KEJ, tapi juga melanggar hukum positif (UU Pers dan UU ITE). Sungguh, sebuah misteri yang masih tersangkut di benak saya, hingga kini.(☆)
Catatan Redaksi: Yunanto, alumnus Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta.
Leave a Reply