Prof. Daniel Mohammad Rosyid -PTDI
Pandemi Covid-19 mengajarkan satu hal : belajar dan bekerja bisa dilakukan di rumah. Peradaban dipaksa kembali pada asal usulnya, yaitu keluarga. Keluarga adalah inovasi peradaban yang terpenting. Bukan inovasi artefak, tapi inovasi institusional. Sejarah menunjukkan bahwa peradaban sebuah masyarakat tidak ditentukan oleh kekayaan sumberdaya alamiahnya seperti tambang, tapi ditentukan oleh sumberdaya buatannya. Institusi adalah salah satu sumberdaya buatan.
Kehidupan bersama sebuah masyarakat adalah sebuah jalinan janji-janji dan kesepakatan-kesepakatan. Keluarga adalah bentuk masyarakat terkecil yang dimulai oleh dua orang berlainan jenis. Keduanya diikat oleh perjanjian yang berat (mitsaaqan ghalidhan). Itulah keluarga. Menjadi suami dan istri dalam sebuah keluarga adalah persiapan membentuk masyarakat yang lebih besar.
Kelestarian sebuah peradaban membutuhkan instrumen reproduksi natural dan kultural. Keluarga adalah instrumen terpenting untuk melaksanakan tugas itu. Reproduksi natural menghasilan generasi penerus, sedangkan reproduksi kultural menghasilkan pendidikan bagi generasi penerus tersebut untuk kemudian menjadi wargamuda yang mandiri, bertanggungjawab, sehat dan produktif.
Sejak 50 tahun terakhir, tugas keluarga itu diambil paksa oleh persekolahan paksa massal dan pabrik. Persekolahan, bersama TV adalah duet institusional yang dirancang sekedar untuk menyiapkan masyarakat buruh yang konsumtif untuk mengabdi bagi kepentingan investasi, terutama investasi asing. Pada saat tugas utama keluarga diambil alih oleh sekolah dan pabrik itu, keluarga itu mulai retak dan menuju kehancuran.
Pendidikan di rumah itu sangat sederhana, tidak membutuhkan kerumitan persekolahan dengan semua birokrasi dan formalismenya. Isu utama pendidikan itu adalah belajar, bukan bersekolah. Belajar sebagai sebuah rangkaian kegiatan terdiri dari 4 kegiatan pokok : praktek atau mengalami, berbicara, membaca dan menulis. Pengalaman adalah papan lontar proses belajar. Berbicara, membaca dan menulis adalah proses memaknai : merekonstruksikan secara simbolik hubungan-hubungan antara lingkungan dimana pengalaman itu terjadi dengan Aku. Lalu memperkaya rekonstruksi hubungan simbolik itu dengan Al Khaaliq.
Belajar adalah proses memaknai pengalaman. Semua peristiwa yang terjadi di rumah yang digerakkan oleh orangtua memberi pengalaman nyata pada anak sekaligus mendidik orang tua itu sendiri. Sikap jujur, amanah, cerdas dan peduli hanya bisa diajarkan melalui teladan orang tua yang dialami oleh anak dalam kehidupan keseharian. Kegiatan produktif yang menjadi sumber nafkah keluarga dapat dilakukan bersama oleh seluruh anggota keluarga sesuai dengan umur dan kemampuannya. Melalui proses belajar di rumah ini, pertumbuhan biologis anak akan berjalan seiring dengan kedewasaannya. Pada umur 15 tahun, anak sudah aqil baaligh yang siap hidup secara mandiri.
Kini Covid-19 membuka fakta, bahwa kita sebenarnya bisa belajar tanpa sekolah, dan bisa bekerja tanpa pabrik. Semuanya bisa dikerjakan di rumah, berskala kecil, sederhana, dan efektif serta efisien. Pendidikan untuk semua hanya bisa dilakukan jika keluarga di rumah didukung untuk mengemban tugas-tugas pendidikan. Produktifitas nasional juga bisa ditingkatkan dengan mendukung keluarga sebagai satuan-satuan produktif. Simpul2 edukatif dan produktif keluarga itu kemudian dapat diorkestrasikan dalam sebuah jejaring belajar dan produksi sibernetik yang luwes dan lentur sesuai dengan potensi lokal seperti potensi agromaritim.
Gunung Anyar, 8/4/2020
Leave a Reply