Kemiskinan Ciptakan Elit Politik ‘Malevolent’, Suburkan Oligarki Pemburu Rente

GRESIK (SurabayaPost.id)–Prof Dr H Zainuddin Maliki M.Si mengungkapkan, karakter elit politik ‘benevolent’ ditenggelamkan oleh karakter elit politik ‘malevolent’ yang memanfaatkan kemiskinan dengan kekuatan finansialnya.

Menurut pria kelahiran Tulungagung Jawa Timur ini, politik malevolent adalah politik jahat yang berkolaborasi dengan politik oligarki pemburu rente yang tidak peduli usaha mengejar keuntungan yang dilakukan merusak ekonomi dan konstitusi bernegara.

Sebagai tanggungjawab moral politik, pemikiran profesor yang sedang menjadi legislator ini melahirkan buku berjudul ‘Menyuarakan Kewarasan Publik Dalam Politik’

Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya ini, menegaskan bahwa politikus berkarakter malevolent berusaha memegang kendali sejak dari penataan regulasi ekonomi politik. Ketentuan yang dianggap tidak menguntungkan kelompok mereka di otik-atik untuk dirubah sesuai keinginan oligarki pemburu rente.

Politikus gaek ini punya gambaran untuk membedakan elit politik era Suharto dan elit politik saat ini. Jika jaman Suharto orang yang tidak memiliki portofolio politik tidak bisa menguasai ranah politik.

Saat ini terjadi mereka yang tidak memiliki tetapi bisa menguasai. Itu terjadi lantaran kemiskinan yang terpelihara dengan baik sehingga hak politik masyarakat diarahkan dengan cara membeli suara mereka dengan mudah dan murah jika dibanding dengan keuntungan yang diraup para politik pemburu rente itu.

Jika tidak ada elit atau tokoh berpengaruh yang berinisiatif ‘Menggugah Kewarasan Publik Dalam Politik’ maka Indonesia diambang kebobrokan yang kelak sulit untuk diperbaiki.

“Politkus berkarakter malevolent lahir dari elit politik prosedural dan bahkan lebih rendah lagi politik transaksional. Hal itu (malevolent) terjadi disebabkan oleh pemilih yang hanya mau memilih calon elit yang menyediakan amplop atau transaksional. Sehingga yang lahir dalam isitilah politik bukan elit ‘benevolent’ (baik) tetapi ‘malevolent’ (jahat).

Masyarakat mayoritas lebih memilih uang daripada berusaha membangkitkan kesadaran agar memilih calon elit politik yang baik demi martabat dan perbaikan ekonomi bangsa,” ungkap anggota DPR RI dari Fraksi PAN ini saat dialog dengan Komunitas Wartawan Gresik (KWG) pada, Rabu (21/12/22)

Penyandang gelar politisi pejuang etika dari Mahkamah Kehormatan Dewan atau MKD 2022 ini menjelaskan politik benevolent adalah politik nilai. Seluruh energinya untuk memajukan bangsa. Tetapi politik malevolent adalah politik yang hanya cari untung yang tidak mempedulikan keuntungan yang diperolehnya dilakukan dengan merusak pemerintahan dan merusak sistem ekonomi. Ia mencontohkan soal kebijakan import beras misalnya. Kelompok oligarki pemburu rente ini tidak peduli impor beras disaat petani panen, karena mereka dapat keuntungan berlimpah.

“Disaat petani dalam posisi panen raya mereka tetap saja import beras dengan berbagai dalih. Ini ciri pemburu rente,” ujarnya

Saat ia ditanya soal import beras disaat petani panen, Zainuddin enggan membuka tabir, apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi ia memberikan sedikit pencerahan yang bisa ditebak akal sehat seperti buku yang ia terbitkan dua episod itu.

“Kenapa DPR diam. Masyarakat tahulah. DPR kita saat ini lahir dari proses rekrutmen transaksional sehingga tingkat legitimasinya rendah. Tetapi saya yakin secara diam-diam mereka sedang melakukan perlawanan politik jahat itu. Ditengah tengah-tengah partai dan DPR yang tingkat kepercayaan masih rendah. Saya sendiri juga berusaha menjaga politik nilai. Setidaknya meskipun secercah masih ada harapan,” urainya.

Terkait maraknya buzzer dalam 9 tahun terakhir ini, ia juga mengaitkan dengan bercokolnya politik malevolent dengan oligarki pemburu rente. Menurutnya buzzer adalah rangkaian politik jahat untuk melanggengkan kekuasaan.

“Yang jelas pesan yang disampaikan buzzer sengaja dibingkai untuk membingungkan masyarakat. Itu memang ciri khas kerja mereka. Yang membangun narasai publik pastinya yang memiliki atau yang memegang power. Itu kekuatan oligarki. Narasi yang beredar diatur dan diarahkan oleh kekuatan anti demokasi. Dulu jaman Suharto ngomong jihad ditangkap. Sekarang ada istilah strategi stigmatisasi. Kekuatan yang hendak gusur di stigmatisasi,” terangnya.

Ia berpesan politik kedepan khususnya pada tahun politik 2024 bisa dilaksanakan dengan jujur. Masyarakat harus terlibat aktif untuk mengawasi dan ikut berkontribusi menjunjung nilai politik yang berkarakter benevolent. “Mari kita jadikan pemilu 2024 menjadi pemilu yang berkualitas. Indikatornya ialah dari pemilu itu nanti bisa dihasilkan benevolent elite dan terhindar dari malevolent elite,” pungkasnya. (uki)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.