Oleh : Suparto Wijoyo
SEMULA saya hendak menulis tentang skandal hukum yang amat besar sehubungan dengan gemerlapnya kasus Djoko Tjandra. Tetapi saya tunda dulu karena kasus ini pasti akan lama menjadi isu hukum yang fenomenal, mengingat dalam drama hukum abad ke-21 ini melibatkan buron dan pemburunya dalam kelindan yang berbarengan. Aneh tapi nyata antara yang diburu dan yang memburu bisa satu pesawat dan ngobrol gayeng sambil minum secangkir kopi atau the ginastel – legi panas dan kental. Mungkin begitu sepanjang penerbangan Jakarta Pontianak. Okelah. Keberpihakan saya pada akhirnya tetap dalam skala lingkungan. Pun untuk menulisnya tetap tertuju kepada peristiwa banjir besar pada saat pandemi dan iklim yang sudah mulai beranjak memanas. Banjir yang menimpa dataran Sulawesi maupun Kalimantan adalah tidak elok untuk dilewatkan.
Tengoklah. Banjir besar yang menyapa Sulawesi dan Kalimantan, sungguh menyentak kesadaran ekologis sesama anak bangsa. Beribu rumah diterjang air bah di Kabupaten Luwu Utara, Sulsel dengan derita puluhan orang tewas dan ribuan terisolasi. Di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara terjadi hal yang serupa, pun di Kabupaten Melawi dan Sintang, Kalimantan Barat. Puluhan ribu rumah dan ratusan fasilitas umum terendam. Semua itu adalah realitas mendukacitan yang menyedak saat pandemi Covid-19 belum beranjak. Banjir ini dipahami sebagai akibat dari kerusakan lingkungan: lahan kritis, erosi, sedimentasi, dan sungai meluap akibat hujan deras, gunung yang gundul serta hutan yang dibatat. Inilah manifesatsi krisis ekologi yang semakin kompleks dengan tumpukan limbah medis maupun limbah infeksius akibat pandemi Covid-19.
Hujan Sang Tertuduh
Sejatinya hujan memberikan rahmat yang panjang di wilayah pulau paling kukenal dengan lambang huruf K (Sulawesi) maupun Ki Semar Bodronoyo (Kalimantan). Pulau ini tengah menuangkan peta kebencanaan yang serius dengan menuntun air hujan membawa serta tanah yang mendangkalkan sungai-sungainya di kala musim kemarau ambil start. Sedimentasi areal DAS-nya telah lama terjadi akibat deforestasi yang masif. Eskpansi perkebunan dan pertambangan ilegal di Kalimantan memacu banjir lebih cepat lagi.
Tentu saja, banjir yang menyerta dalam krisis ekologi ini memberikan hentakan batin yang tidak terperikan dengan pesan tunggal: jangan hancurkan lingkungan. Hentakan ini sepertinya tengah mengangkasa untuk didengar oleh pemegang otoritas negara. Banjir di Sulawesi dan Kalimantan cukup mewakili sebuah anyaman nestapa seluruh segmen geografis nusantara. Adakah tragedi ini memang dirancang mentradisi dengan menjadikan intensitas curah hujan sebagai sang tertuduh? Negara terbidik belum jujur bahwa penyebab utama banjir bukanlah air hujan semata. Tanah yang berdansa hanyalah akibat saja dari buruknya manajemen lingkungan oleh penyelenggara negara. Longsor dan banjir pada dasarnya adalah panen dari ulah melakukan alih fungsi lahan kehutanan menjadi perladangan. Longsor bukan peristiwa mendadak, melainkan produk dari laku destruktif yang selam ini terpotret di kawasan bencana.
Negara yang Gagap
Penguasa negara harus sadar tentang apa yang telah diperbuat terhadap hutan yang membentang. Negara perlu bercermin diri tentang lemahnya pengawasan terjadinya alih fungsi kawasan. Negara dianggap gagap membuat kebijakan yang mencegah terjadinya banjir. Sikap tanggap ing sasmito sepatutnya dikembangkan pemegang otoritas negara sedasar dengan pemeo prevention is better than cure. Mencegah bencana itu lebih baik daripada mengevakuasi. Desa dan kota dapat tampak kehilangan basis konservasi SDA atas nama pembangunan infrastruktur yang ngawur. Kawasan konservasi telah dipaksa dengan sengaja untuk melakukan bunuh diri ekologi (ecological suicide). Hutan digerus berlahan tapi pasti untuk diubah menjadi sawah dan kebun sayur.
Drama penjungkirbalikan pemanfaatan ruang dipertontonkan jua. Hutan dan SDA diberbagai daerah dikuras tanpa menyisakan bekal bagi generasi mendatang. Kemiskinan justru mewabah pada daerah yang kaya sumber daya hutan. Mengubah hutan menjadi kebun tebu adalah kemudaratan lingkungan yang azabnya pastilah keras. Kehancuran ekosistem dan matinya jaringan kewilayahan sebuah kawasan berupa banjir dan longsor menjadi konsekuensi nyata.
Masih adakah kepedulian negara menjaga hutan secara maknawi? Hutan sepertinya tinggal ranting-ranting vegetasi tanpa makna yang mudah patah. Hukum kehutanan tidak ubahnya secarik aksesoris yang terlirik kehilangan martabat, justru oleh pemangkunya. Bagi-bagi lahan untuk masyarakat tertentu tanpa kejelasan peruntukannya bagi kepentingan konservasi, merupakan tindakan sembrono. Negara mestinya merasa tidak aman dalam habitat ekologi hutan yang dijarah fungsi lindungnya.
Krisis ekologi ini tidak boleh dibiarkan, apalagi saat pandemi. Negara harus tampil berwibawa melakukan penataan sistem pemerintahan yang berpihak pada kepentingan lingkungan berkelanjutan (sustainable development). Rakyat membutuhkan tempat yang menyehatkan nurani dan jasmani. Hari-hari ini harus menjadi momentum pembenahan tata kelola lingkungan yang memperhatikan terjadinya degradasi SDA, bukan dengan membuat Omnibus Law yang anti ekologi demi investasi.
Kembalilah Ke Tradisi
Banjir dapat dicegah dengan tetap menjadikan setiap jengkal kawasan memiliki areal konservasi. Merahabilitasi, mereboisasi dan mengkonservasi kembali kampung-kampung halaman merupakan langkah solutif mencegah banjir, karena air bah bukan dongeng tanpa latar belakang. Kearifan tradisional telah mengajarkan penataan kampung-kampung di abad yang telah lampau. Setiap padukuhan menyediakan satu embung (telaga) sebagai sentrum kehidupan yang menjadi tandon air terpenting. Embung pada kenyataannya adalah mangkok air yang pada saatnya didistribusi kepada warga untuk keperluan sehari-hari, pertanian dan perkebunan.
Telaga-telega kecil di padukuhan memiliki jejaring ekosistem (spesialized ecosystem) dengan sumur-sumur yang tersedia di setiap rumah warga. Pemerintahan lingkungan (good environmental governance) model embung ini sesungguhnya kekayaan historis-ekologis yang bermuatan referensi kecanggihan teknologi tertib persungaian para leluhur.
Dengan embung-telaga-waduk menjadikan sebuah dusun memiliki kedaulatan sumber daya air yang mengedepankan konsepsi keadilan sosial tumbuh sebagai living law. Skema social-justice panen raya air hujan tanpa kebanjiran dan pembagian air kehidupan (amertha) sudah populer di masa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042). Model demikian dapat diserap sebagai strategi membangun kampung yang warganya terlibat langsung pengendalian banjir. Literasi klasik telah mengajarkan ini melalui Kakawin Nagara Krtagama karya Empu Prapanca (1365). Manajemen embung perlu direalisir dalam sebuah public-policy desa mbangun telaga. Selama kampung belum menyediakan embung yang representatif, jangan harap banjir teratasi saat pandemi.
Penulis adalah :
Akademisi Hukum Lingkungan &
Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga
Leave a Reply