Daniel Mohamad Rosyid
BEBERAP hari yang lalu lelaki tua itu tampak di sebuah TV nasional berjalan tertatih-tatih di sebuah Lapas tidak jauh dari Jakarta. Dia sebenarnya hanya dinyatakan bersalah karena terbukti membuat KTP palsu beberapa tahun silam. Tuduhan Jaksa waktu itu bahwa dia adalah dalang intelektual bagi banyak aksi teror di Indonesia tidak pernah terbukti secara meyakinkan. Semua bukti yang dinisbahkan padanya hanya bersifat _circumstancial evidence_ atau bukti yang tidak langsung. Tapi toh lelaki tua itu dijebloskan juga ke penjara sekitar 9 tahun lalu untuk selama 15 tahun.
Kegemparan publik terjadi karena dalam sebuah kesempatan baru-baru ini Presiden sebagai petahana Pilpres 2019 mengumumkan rencananya untuk membebaskan lelaki tua itu tanpa syarat. Rencana itu sempat disampaikan penasehat hukum Tim Kemenangan Nasional capres petahana yang sempat mengunjungi lelaki tua itu di lokasi penahanannya. Baru tadi malam, salah satu pembantu Presiden yang bertanggungjawab atas urusan politik, hukum dan keamanan mengatakan bahwa rencana pembebasan tanpa syarat itu akan dikaji ulang. Bisa jadi istana mendapat tekanan politik internasional luar biasa untuk tidak melepas lelaki tua ini.
Kita tidak tahu apa motiv Presiden dalam rencana pembebasan tanpa syarat ini. Yang dikemukakan secara terbuka adalah motiv kemanusiaan saja : lelaki tua itu semakin sering sakit-sakitan. Lelaki tua ini pernah dipenjarakan di Nusa Kambangan sebagai lapas dengan pengamanan paling tinggi, seolah lelaki tua ini adalah tahanan yang paling berbahaya di Indonesia. Karena upaya-upaya keras Komisi Nasional HAM, lelaki tua itu kemudian dipindahkan ke penjara yang konon lebih manusiawi di dekat Jakarta itu.
Tidak banyak orang tahu kondisi penjara yang menjadi tempat hukuman para teroris di Indonesia. Yang jelas secara fisik tidak sebanding dengan fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah AS di GITMO atau penjara khusus teroris di Teluk Guantanamo, Kuba. Yang sama mungkin adalah siksaan fisik dan psikis yang dialami oleh penghuni-penghuninya. Tiap bulan ada satu narapidana teroris yang meninggal karena berbagai sebab.
Penting dicermati bahwa operasi-operasi anti-teror di NKRI dimulai secara lebih masiv sejak GW Bush mengumumkan _global war on terror_ sebagai respons atas “serangan teroris” atas Menara Kembar _World Trade Center_ di New York pada tahun 2001 yang kemudian terkenal dengan istilah peristiwa 9/11. Perang melawan teror ini kemudian diarahkan pertama ke Iraq karena Saddam Husein telah dinyatakan sebagai teroris karena menyimpan _Weapons of Masa Destruction_. Dunia kemudian tahu bahwa propaganda besar AS ini hanyalah _Weapon of Mass Deception_ yang telah mengorbankan jiwa ribuan rakyat sipil di Iraq dan Afghanistan. Atas aksi sepihak ini, GW Bush bahkan terancam menghadapi pengadilan internasional sebagai penjahat perang.
Narasi perang melawan teror ini adalah narasi besar islamophobia yang dimaksudkan Barat untuk memojokkan Islam dan muslim. Ini adalah _framing_ yang menjadi _pretext_ bagi kekerasan negara (AS dan sekutunya) atas negara lain seperti Iraq dan Afghanistan, atau alasan bagi kekerasan negara atas warganya sendiri yang tidak sejalan dengan Pemerintah. UU No 15/2003 tentang Anti Terorisme (kemudian diperbarui menjadi UU 5/2018) jelas merupakan hasil framing ini. Penting dicatat bahwa penasehat hukum TKN petahana Pilpres 2019 ikut merancang UU ini. UU ini merupakan salah satu UU paling berbahaya bagi penegakkan HAM di Indonesia. Pemerintah cukup menduga saja (tanpa bukti) untuk menangkap, kalau perlu membunuh, terduga teroris yang notabene adalah warga negaranya sendiri. Milayaran Rupiah telah digelontorkan oleh AS dan sekutunya, termasuk Australia, untuk mendorong proyek perang melawan terorisme ini. Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus 88 Polri adalah buah dari proyek ini.
Dalam perspektif propaganda Barat _islamophobic_ inilah, kita sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa al Qaidah dan ISIS adalah hasil operasi intelijen AS. Perlu diingat bahwa AS berkepentingan atas banyak perang di berbagai wilayah di dunia ini karena kompleks industri militernya. Tidak mungkin Osama bin Ladin setrampil dan sekuat logistiknya tanpa dukungan AS dan sekutunya.
Saya pernah duduk tidak jauh dari lelaki tua itu beberapa tahun lalu di Surabaya mendengarkan tawshiyahnya. Lelaki tua itu kelahiran Jombang, pada 17 Agustus 1938. Terakhir tercatat dia tinggal di Ngruki, Solo. Namanya Abu Bakar Ba’asyir. Walaupun tidak setenar Osama bin Ladin, rupanya lelaki tua ini memiliki semua atribut yang tepat untuk mensyahkan semua aksi anti-teror di Indonesia yang sesungguhnya merupakan aksi kekerasan negara atas warganya sendiri.
Setiap pemimpin yang mau memantaskan diri memimpin negeri ini harus siap menanggung beban tragedi kemanusiaan ini. Dalam beberapa bulan mendatang ini kita semua akan lihat apakah pemimpin kita mampu membebaskan diri dari tekanan propaganda Barat untuk memusuhi Islam ini, dan menghentikan berbagai persekusi ulama yang terjadi selama ini.
Gunung Anyar, 22/1/2019
Leave a Reply