Oleh : Prof.Daniel Mohammad Rosyid
Beberapa hari terakhir ini saya dikagetkan oleh kehadiran satu komponen bangsa yang saya kira semula sudah dilumpuhkan oleh persekolahan paksa massal : mahasiswa. Mahasiswa is back ! Kehadiran mereka dalam pikiran publik seolah mengakhiri kedunguan panjang bangsa ini.
Saya bertanya ke beberapa aktifis mahasiswa Surabaya dan Yogya yang saya kenal : apakah aksi ini murni atau rekayasa bayaran ? Mereka jawab murni aspirasi kerisauan yang mereka rasakan sebagai warga bangsa yang terdidik. Saya ingatkan agar mereka waspada pada para penyusup free riders yang ikut menumpang aksi massa ini namun dengan agenda mereka sendiri.
Pada saat beberapa kawan menengarai para free riders ini, saya menjawab bahwa jika ekspresi aspiratif kerisauan banyak mahasiswa seluruh Indonesia ini adalah public goods seperti oksigen (pada saat udara di banyak tempat justru disesakkan oleh asap pembakaran hutan dan lahan), maka sangat sulit dan mahal untuk mencegah beberapa kalangan tertentu untuk ikut memanfaatkan ekspresi massa ini. Gejala free riding dalam pemanfaatan public goods ini tak terelakkan dan sudah terdokumentasi dengan baik dalam banyak literatur.
Pada saat beredar ajakan agar para civitas akademika meninggalkan kelas untuk bergabung dengan gerakan mahasiswa ini, sebagai sarana menyatakan pendapat dengan bebas, saya ingat dengan apa yang telah saya perjuangkan selama ini. Hak-hak konstitusional warga negara ini tidak saja penting dalam kehidupan kebangsaan yang bebas, namun juga penting bagi pendidikan secara luas : bahwa belajar tidak bisa dibatasi dalam ruang-ruang bertembok tebal dan tinggi yang disebut sekolah atau kampus. Pembatasan itu bahkan absurd di era digital saat ini.
Suatu ketika Ben Anderson menengarai banyak dosen dan gurubesar di kampus-kampus Indonesia terpapar profesionalism sempit sehingga tidak nyambung dengan dinamika masyarakat, maka gerakan mahasiswa paling mutakhir ini penting dicatat. Jika belajar adalah proses memaknai pengalaman, maka pengalaman berdemonstrasi secara tertib dan beradab ini adalah sarana pembelajaran yang penting yang membentuk kompetensi sarjana Indonesia di abad 21 dalam menuntaskan agenda reformasi. Kompetensi hasil demonstrasi ini tidak saja di ranah kognitif, tapi juga di ranah afektif dan psikomotor yang oleh Bung Karno disebut dengan nation and character building. Ini jelas berbeda dengan upaya-upaya oknum anggota parlemen, segelintir penguasa dan pemodal yang kini sedang melakukan nation and character assasination.
Saya ingat beberapa tahun lalu sewaktu saya berkunjung ke Universitas Hasanudin. Saat menuju kampus dari bandara, kendaraan kami dihadang oleh sekelompok mahasiswa di tengah-tengah kepulan asap bakaran ban di tengah jalan. Saat akhirnya bertemu dengan pejabat kampus, saya sempat bertanya apakah demonstrasi ini ada SKS nya di Unhas ?
Alhamdulillah. Mahasiswa is back !!!
Gunung Anyar 24/9/2019
Leave a Reply