Meningkatkan Spirit Literasi di Lingkungan Sekolah

Moh. Masrur Raziqi

Oleh; Moh. Masrur Raziqi* 

*Penulis Adalah Guru di SDN Bendogerit 1 Kota Blitar; Sekretaris KKG PAI Kota Blitar

Geliat masyarakat Indonesia dalam menggunakan media social dewasa ini menunjukkan tren yang sangat meningkat. Laporan Digital Around  The World menyatakan, pada Tahun 2019 sudah ada 150 Juta warga Indonesa menjadi pengguna aktif media social dengan menghabiskan rerata waktu 3 jam untuk menggunakan media sosial. Berbagai aktivitas dilakukan, mulai dari menulis status, mengunggah foto maupun video, serta aktivitas lain. Maka tak heran bila masyarakat kita tergolong “cerewet” dalam urusan media sosial secara global. 

Genitnya masyarakat kita ini tak selaras bila dibandingkan dengan kesadaran berliterasi yang kian hari menunjukkan sikap alergi. Meski sebenarnya aktivitas keduanya ini memiliki rumpun yang sama, -tulis menulis. Namun perbedaannya,  jika di status media sosial para pengguna lebih cenderung menyampaikan aspirasinya secara reaksional dan emosional. Sehingga tak jarang pesan yang disampaikan kerap mengesampingkan nilai kesantunan moral berekspresi dan berpendapat.

Sedangkan literasi di kalangan ilmiah, senantiasa disajikan secara metodologis, ilmiah, dan bisa dipertanggungjawabkan. Pada titik inilah, masyarakat kita sedang mengalami gagap literasi. Penanaman kebiasaan berliterasi di usia dini menjadi salah satu faktor penyebab mengapa masayarakat  Indonesia masih bersikap apatis terhadap dunia literasi. Sekolah yang menjadi wadah pembentukan karakter siswa dinilai terlambat dalam mendorong geliat literasi dikalangan pelajar. 

Poedjianti Tan menjelaskan Indeks literasi dunia menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya berkisar 0,001%. Maknanya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya terdapat 1 orang yang rajin membaca. Lebih mengenaskannya lagi, bila diranking secara global, Indonesia berada diposisi ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Fakta ini menjadi bukti shahih bahwa masyarakat kita masih gagap berliterasi. Krisis minat baca-menulis ini tentu tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebagai wujud rasa peduli terhadap bangsa, sudah semestinya kita turut mendorong berbagai upaya konstruktif demi membangun citra bangsa Indonesia di mata dunia, salah satunya membangun kultur literasi ditengah masyarakat.  

Melui Permendikbud No. 23 Tahun 2015 Pemerintah Pusat telah mendorong kegiatan literasi ke dalam program kurikulum nasional. Artinya, saat ini literasi telah menjadi bagian krusial bagi siswa terhadap standar kompetensi yang harus dicapai. Maka untuk mengindahkan program tersebut, pihak sekolah dituntut mampu membuat program literasi disekolah lalu menyajikannya secara menarik dan berkelanjutan. 

Membangun Kultul Literasi

Penulis menawarkan setidaknya ada tiga langkah yang dapat diimplementasikan untuk merangsang dan meningkatkan kompetensi siswa dalam menulis. Pertama, memberikan motivasi. Selama ini mayoritas pelajar masih awam terhadap letak kemanfaatan menulis (untuk apa, menulis apa, dan mendapat apa). Oleh karenanya sudah menjadi tugas bagi untuk memberikan pengertian, pemahaman tentang pentingnya literisi bagi siswa. Guru dituntut mau melakukan pendekatan-pendekatan persuasife terhadap siswa, agar ketertarikan siswa terhadap literasi semakin terangsang.

Motivasi ini bisa diwujudkan dengan berbagai bentuk. mulai dari motivasi secara verbal, ataupun motivasi secara material yakni pemberian reward bagi siswa yang mampu menyelesaikan tulisannya, atau bagi siswa yang mampu menjadi pemenang perlombaan. Bila hal ini dilakukan secara frontal dan penuh kesadaran oleh setiap stakeholder pendidikan, maka bukan tidak mungkin stigmatisasi “gagap literasi” terhadap siswa akan hilang. 

Kedua, keteladanan. Ambiguitas siswa terhadap dunia menulis akan tetap terasa bila gurunya sendiri tidak menunjukkan keteladanan yang sama. Sebaliknya, daya tarik menulis  akan meningkat bila gurunya sendiri mampu memberikan keteladanan, berupa hasil karya yang telah dihasilkan. Keteladanan ini penting bagi guru, sebab dengan ketekunan menulis ini guru dengan mudah bisa menuntun siswa menulis; Bagaimana mengawali proses sebuah tulisan, menentukan tema yang menarik, menyajikan tulisan yang sistematis, serta menjawab berbagai problem bagi siswa ketika mengalami kebuntuan saat menulis. 

Lebih dari itu, seorang guru yang berpengalaman dalam menulis, juga mampu mengarahkan hasil karya siswa untuk di kirim ke berbagai penerbit agar dicetak atau dikirim ke media online untuk diikutkan festival lomba, supaya hasil karnya yang ia buat tidak terkesan sia-sia. Segudang pekerjaan ini sulit dilakukan oleh guru jika sosok guru tersebut tidak menunjukkan sikap keteladanan dalam menulis. 

Hal inilah yang saya rasakan saat masih menjadi mahasiswa dahulu. Saat itu terdapat satu dosen saya yang begitu getol “memperovokasi” mahasiswanya untuk menulis. Ditengah-tengah jam kuliah, beliau tak jarang menunjukkan puluhan karya tulisnya; baik berupa esai, jurnal, hingga buku. Dengan penuh ketelatenan, beliau mempertontonkan kepada kami satu per-satu hasil karyanya sembari menceritakan romantika noltalgia saat menulis. Hal itu membuat kami seperti terhipnotis untuk mengikuti jejak beliau.

Motivasi yang beliau sampaikan, membuat rasa penasaran untuk menjadi penulis semakin mengurat. Seusai jam perkuliahan, langsung bergegas ke warnet untuk mencari tahu  lebih detail tentang karya-karya beliau. Saat mencoba browsing, betapa mengejutkannya, deretan tulisan beliau terpanpang dengan jelas di berbagai jendela media massa lengkap dengan profil beliau baik berupa jurnal ilmiah, esay, maupun buku. 

Setelah itu, saya memutuskan untuk belajar dan mencoba menyelami dunia literasi. Kendati masih awam, namun saya bersyukur beberapa tulisan saya dapat dipublikasikan, seperti Pesantren dan Tantangan Sosial (Harian Jateng), Menulis adalah Bertafakkur (Buku Antologi), Makna Sarung Santri; Mulai Simbol Idealisme Hingga Perlawanan (Harian Jateng), Gadget Sebagai Pembentuk Karakter Siswa (Jatim Times). Pengalaman yang masih sedikit ini, menjadi modal awal bagi saya untuk menularkan kepada siswa saya disaat pembelajaran efektif dimulai. 

Ketiga, memberikan fasilitas. Menciptakan sebuah kultur literasi dilingkungan  sekolah bukanlah perkara mudah. Diperlukan kerjasama antar stakeholder agar tercapai sebuah kesadaran dan kesepakatan bersama untuk memajukan sekolah melalui literasi.  Salah satu bentuk upayanya, adalah memberikan fasilitas menulis bagi siswa. Fasilitas ini berupa media penyalur bakat dan minat menulis siswa. Selama ini, kebanyakan kita awam terhadap tindak lanjut setelah menulis. Hampir setiap tugas literasi yang guru berikan, selalu diakhiri dengan penilaian numerik saja. Padahal jika tugas-tugas literasi tersebut dikemas dengan sistemik dan terprogram segara baik, maka bisa jadi kumpulan tugas tersebut dapat di kirim ke penerbit untuk dicetak menjadi sebuah karya buku antologi sekolah. 

Dengan langkah-langkah itu, diharapkan minat baca-menulis siswa semakin tumbuh dan mewabah. Sehingga cita-cita untuk menciptakan iklim menulis dikalangan pelajar semakin menemukan titik terang. Lebih lanjut, dalam kacamata yang lebih luas, kita berharap bangsa Indonesia tidak lagi menjadi bangsa yang tertinggal, terbelakang, dalam urusan literasi. Sebab aktivitas literasi meruapakan salah satu parameter untuk mengukur tingkat peradaban suatu bangsa di dunia. 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.