Oleh : H Suparto Wijoyo
SAAT negara dilanda pandemi Covid-19 dan ragam bencana ekologis yang menerjang Sulawesi maupun Kalimantan, spirit Idul Adha 1441 H menawarkan makna pengorbanan. Ibrahim Ibn Aazar telah dilahirkan di Kota Ur, Irak, 2166 SM dan Ismail lahir di Kota Hebron, Palestina, 2080 SM adalah dua sosok agung yang menyemai kemenangan karena taat dan sabar. Kisahnya dapat dibaca secara literatif dalam Alquran, semisal QS. Ash-Shaaffaat: 99-111 dan QS Al-Hajj: 34-35. Simaklah: Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar”. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. (QS. Ash-Shaaffaat: 99-111)
Dua figur itu sangat fenomenal dalam mengkonstruksi perilaku publik selama empat milenium. Gerakan perlawanan terhadap kaum yang tidak mengenal tauhid dilancarkan sejak usia Ibrahim a.s 14 tahun hingga pada jejak waktu 16 tahun mengalami proses peradilan dengan vonis yang gamblang dalam sejarahnya. Beliau dibakar pada 2150 SM dengan selamat karena api itu diperintah Tuhan untuk menjaganya sebagaimana terekam dalam Alquran (QS Al-Anbiya: 69). Spektakuler dan ini sangat mukjizati dalam skala apapun dari sosok pemanggul ketaatan nan kesabaran.
Ajaran pengorbanan yang tertuntun oleh firman-Nya menjadi tradisi keagamaan yang dalam bahasa Jerald F. Diks dalam bukunya Abraham, The Friend of God (2002) sangat memesona dan peristiwa dramatis serta karya sastra terbaik. Kisahnya mengemban misi peradaban dengan ritual haji dan berkurban dalam suasana Idul Adha yang didemonstrasikan secara terang, termasuk di periode kenabian Muhammad Saw. Praksis berlari kecil seorang ibu yang bernama Siti Hajar dari Sofa ke Marwah berkelindang dengan hadirnya sistem hidrologi Sumur Zam-zam, yang dalam narasi pewahyuan dikebasi-digali-dipancarkan airnya oleh Malaikat Jibril. Fakta keajaiban Zam-zam sangat historik dan ini merupakan sumber daya air surgawi yang tiada dapat dibandingkan dalam kosmologi pengairan biasa. Dari sini sesungguhnya dapat dilahirkan ragam kaedah fiqih lingkungan mengenai pemanfaatan sumber daya air.
Ibadah haji pun adalah realitas keagamaan yang sangat menakjubkan dengan sendi-sendi prosedural yang tertata dan ini hanya dapat dirasakan secara total oleh meraka yang memenuhi paggilan-Nya. Dalam rumpun humanisme peribadatan, apa yang dilakukan Ibrahim-Ismail amat menggetarkan. Ketaatan dan kesabaran merupakan fundasi utama membangun karakter manusia agar mencapai derajat tertinggi. Taat dan sabar itulah yang direfleksikan Ibrahim-Ismail melalui instrumen penyembelihan diri. Sebuah prosesi agung menyembelih ego, menyembelih keakuan, menyembelih sopo siro sopo ingsun, menyembelih rasa angkuh adigang-adigung-adiguna, yang sok kuasa. Pada puncaknya adalah peleburan eksistensi egoistik yang dimanifestasikan melalui ketaatan paling suprematif. Itulah arti pengorbanan terhebat yang pernah terjadi yang hanya sanggup dipikul oleh manusia sahabat Tuhan, yaitu Ibrahim.
Pengorbanan yang tidak berbatas itulah yang kemudian memendarkan optimisme, empati, peduli, sanggup merasakan derita siapapun sebagai sesama manusia, apalagi saat pandemi Covid-19. Tidak pantas apabila ada pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan, tunduk kepada ego, dan mengira bahwa melepas buron negara itu lumrah. Banyaknya kasus korupsi menandakan bahwa ajaran pengorbanan Ibrahim-Ismail belum hinggap dalam jiwa-jiwa penguasa anggaran, karena kurikulum Ibrahim-Ismail dianggap sekadar dongeng keagamaan.
Otoritas negara tidak boleh kedodoran mengatasi pandemi. Intervensi kebijakan mestinya dapat diambil untuk menjaga imunitas rakyat. Peristiwa yang tengah terjadi di kala pagebluk Covid-19 ini sejatinya membuka ruang pembuktian mengenai kemampuan mengelola negara mengatasi penderitaan rakyat. Ancaman karhutla dan kekeringan telah merayap mengepung berbagai daerah di kala musim bertengger ke puncak kemarau. Bencana banjir di Sulawesi janganlah dipandang sebagai ritual hidrometeorologi yang ditakdirkan. Ini pasti ada yang salah dalam desain infrastruktur pembangunan yang mengabaikan mandat lingkungan.
Organisasi kerja negara bukanlah keledai yang dapat terantuk untuk kedua kalinya di lubang yang sama. Negara dan pemerintah dengan segala alat kelengkapannya diberi wewenang untuk menjaga rakyat. Adalah suatu ironi apabila ada kegaduhan berkelanjutan, ada terpidana kabur kanginan, ada penyerobotan hak-hak rakyat di sebuah negara yang beratribut negara hukum (rechtsstaat).
Tampilan aparatur negara dalam kasus Djoko Tjandra misalnya telah menyeret lembaga hukum ke titik memilukan. Jabatan dipertaruhkan untuk melindungi pelanggar hukum dan ini merupakan bentuk pengabaian kepatutan pemerintahan (behoorlijke bestuur) yang selama ini diajarkan di ruang-ruang perkuliahan. Pakem kenegaraan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai pemandu legal power kian senyap. Potret yuridis kasus Djoko Tjandra ini sejatinya menjadi perenungan pemegang otoritas negara untuk berbenah, bukan sekadar berubah. Tugas kepolisian dan lembaga hukum lainnya adalah menjadikan dirinya masih bisa dipercaya. Jangan sampai kritik keras Gary Goodpaster dalam Law Reform in Developing and Transitional State (2007) tetap langgeng di negeri ini. Dinyatakan bahwa sistem hukum Indonesia tidak bisa dipercaya (Today, the Indonesian legal system cannot be trusted), kecuali untuk melindungi kegiatan korup (Budiman Tanuredjo, 2020).
Penegak hukum mutlak bertanggung jawab terhadap praktek hukum yang mendistorsi ketaatan khalayak ramai kepada hukum. Kita semua paham bahwa dalam hukum memang ada beragam kepentingan, tetapi itu diorientasikan agar hukum selalu bermartabat karena aparaturnya bertabiat. Sebagai kompleks kaidah, kata D.H.M. Meuwissen, hukum bukanlah gejala netral, hukum ada dalam atmosfer sosial yang sarat interest. Setiap orang pun memiliki kesempatan untuk memperbincangkan hukum, tetapi tidak semuanya mempunyai kompetensi yuridis membuat keputusan hukum kecuali pejabat hukum, seperti yang mampu beraksi bersama Djoko Tjandra. Sampai batas ini: meneladani Ibrahim-Ismail yang mampu menyembelih ego dirinya adalah opsi tunggal yang solutif.
Penulis adalah :
Akademisi Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Airlangga
dan Jamaah Masjid Ar-Rahman, Western Regency Surabaya
Leave a Reply