Oleh: Moh. Husen
Saya sedang jengkel dengan tulisan-tulisan yang tanpa ada keterangan siapa nama penulisnya atau nama lembaganya. Terkadang mengatasnamakan semacam kajian agama, politik, kesehatan, parenting, atau apa saja kemudian dengan sangat gampang dan cepatnya siapa saja tanpa ragu-ragu tulisan tersebut dishare kemana-mana. Termasuk fan page atau blog asal ada label Islam. Ingin rasanya saya “berfatwa” bahwa sudahlah, jangan share kemana-mana jika ada tulisan yang tanpa nama atau semacam lembaga.
Saya lebih sreg kalau ada keterangan nama penulisnya, misalnya oleh: Mustofa Bisri, Quraisy Shihab, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, dan lain-lain. Atau nama lembaga semisal NU, Muhammadiyah, atau apa saja. Bukan berarti mengenai pasti benar atau pasti salah. Tapi setidaknya kita bisa mengetahui sumbernya. Juga sebagai logika bertanggung jawab dengan apa yang telah ditulisnya.
Kalau anonim kok rasanya sangat pengecut dan tak bertanggung jawab. Nah, untuk mengobati kejengkelan saya itu, saya sedang menghibur diri sendiri, kali ini dengan menulis Mbah Kepo. Orang tua terutama yang sudah berpredikat mbah, biasanya sangat begitu sabar juga bisa sangat begitu membiarkan. Memang beda sangat tipis. Membiarkan bisa dianggap sabar. Sabar bisa juga dianggap membiarkan. Cucunya nakal mandi lama-lama dibiarkan atau disabari.
Sedangkan dulu anaknya sendiri ketika masih kecil kalau berlama-lama mandi segera dimarahi: “Ayo kalau mandi yang cepat. Jangan mainan melulu!!!” Seorang putri yang duduk di bangku sekolah tingkat dasar kelas dua, suatu hari berpapasan dengan seorang yang lazim ia panggil mbah. Si putri ini ditanya yang macem-macem tanpa henti. Mulai dari mana, beli apa, bajunya kok bagus siapa yang belikan, dan terus tanya yang enggak-enggak.
Lantas dengan ringannya si putri ini menceritakan ke orang tuanya dan disebutnya menyebutnya Mbah Kepo. “Aku nggak mau lewat situ lagi wes. Ntar ada Mbah Kepo,” katanya dengan lugu dan lucu. Tentu kedua orang tuanya ketawa kepingkal-pingkal. Oh, Mbah Kepo. Mbah Kepo ini tergolong orang tua yang sukses dan bahagia. Sudah naik haji. Anak-anaknya tertata dan sudah “mentas” semua.
Sarjana semua. Berkeluarga semua. Pekerjaan dan rumah telah mapan. Cucu-cucunya pun terlihat lucu-lucu dan membahagiakan. Mbah Kepo kini tinggal menikmati hari tuanya dengan sawah yang ada serta toko baju di pasar konvensional yang sudah sejak lama dimilikinya.
Satu hal lagi. Mbah Kepo ini tergolong awam medsos. Sehingga tak perlu jengkel dengan ngawurnya warga medsos. Termasuk nggak perlu jengkel dan cerewet apalagi pakai banget terhadap warga medsos yang dengan sangat entengnya mengunggah makan yang lezat. Padahal di eranya Mbah Kepo, kita makan apa saja apalagi sedang makan enak, tetangga kita atau orang lain jangan sampai tahu. Makanya makan itu di dapur.
Bukan di beranda halaman rumah. Saru. Lha, warga medsos zaman now sekarang ini makan apa saja diunggahnya tanpa perasaan malu dan nggak enak. Apa saja ditaruh di halaman depan rumahnya. Kamar mandi ya ditaruh di ruang depan, kamar ganti dan tempat tidur ya di ruang depan. Omong-omong, rahasia, hingga pertengkaran politik dan rumah tangga semuanya ditaruh di beranda ruang paling depan halamannya. Semuanya dimedsoskannya sendiri yang bisa diketahui dan dilihat semua orang dan sangat gampang disebarluaskan.
Kalau berguru ke Mbah Kepo, saya jadinya menyesal terseret jengkel dengan kebebasan warga medsos yang sangat ingin kebebasan, termasuk kebebasan share opini tanpa nama. Sedangkan pilihan hidup bukan hanya kebebasan, tapi juga kebaikan, keamanan, dan kenyamanan.
(Banyuwangi, 14 November 2018)
Leave a Reply