Oleh: Suparto Wijoyo
Akademisi Lingkungan Fakultas Hukum dan Dosen Hukum Perencanaan Kota Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Lwir candraruna tanang pura ri tikta sri phalanopama,
Tejanggeh nikanang karang sakuwu kuwwakweh madudwan halep,
Lwir tara graha tekanang na-/-gara sesanneka …,
Mwang nusantara sarwwa mandhalita rastra ngasraya kweh marek.
(Kakawin Nagara Krtagama, Pupuh 42)
PEKAN ini ditaburi warna-warni gagasan terhadap kebijakan mengenai pemindahan ibu kota negara (IKN), sejurus waktu penetapan RUU IKN menjadi UU. Adu argumentasi pun mewarnai “hijrah” IKN dari Jakarta menuju wilayah yang sudah diberi atribut hukum bernama Nusantara. Pro-kontra pandangan menyerta atas nama demokrasi yang menggumpalkan awan keriuhan IKN di medsos. Voice yang menyemat dalam pembahasan RUU IKN melalui DPR memuai menjadi noise yang menguras energi. Eskalasi kekuatan bangsa tersedot di ruang utama Jakarta yang kegaduhannya dirasa melebihi batas ruang kerja parlementaria.
Belajar Dari Jakarta
Situasinya sesungguhnya mengalirkan gelombang kewaspadaan yang menukik ke dasar status Jakarta sebagai IKN selama ini. Jakarta mengakumulasi seluruh sumber daya mengingat posisinya tidak hanya pusat pemerintahan, melainkan juga sentra bisnis, perdagangan, keuangan maupun hankamnas.
Terjadi kekhawatiran atas pemindahan ini sambil menengok proses peralihan IKN negara lain. Kuala Lumpur selaku ibu kota Malaysia hanya untuk gedung Parlemen, kantor Yang Dipertuan Agung, dan kedutaan negara sahabat, sementara Perdana Menteri berada di Putrajaya. Afrika Selatan mengkonstruksi ruang kerja negara: Parlemen di Cape Town, dan Presiden di Pretoria, sedangkan MA di Bloemfontein. Belanda punya ibu kota Amsterdam dengan “kontrol” pemerintahan di Den Haag, dan kekuatan ekonomi berurat-nadi di Rotterdam. Taiwan menyebarkan capital negara antara Nanjing dan Taipei. Hal yang sama juga dilakukan oleh Meksiko, Brazil, maupun Australia.
Agenda pemindahan pusat pemerintahan dari Jakarta merupakan tindakan monumental. Relevansinya tentu tidak imun dari narasi pemilu 2024 nanti. Jakarta sedniri terbukti berkarakter sangat maskulin, bukan tampil feminis layaknya seorang ibu (IKN). Arsitektur Jakarta menonjolkan kekekaran gedung-gedung pencakar cakrawala yang mengabaikan fungsi lindung kawasan ekologisnya. 13 sungai yang “terlelap” dalam rentang panjang dengan iringan banjir yang kerap menerjang, adalah realitas yang tidak patut di sebuah IKN.
Akumulasi infrastruktur pemerintahan dan perdagangan yang menggumpal di Jakarta secara berlahan telah menuai badai ekologis dan kebangsaan. Jakarta dalam bingkai megapolitan memuai menjadi korban aksiomatik pembangunannya. Kemajuan yang dinisbatkan dalam terminologi pembangunan acap kali menggerus peradaban IKN pada tingkat yang mencemaskan. Terhadap hal ini saya teringat perkataan cerdas Khalid Fazlun dari UK di akhir abad ke-20 yang mengungkapkan bahwa progess (kemajuan) telah menghasilkan pollution (pencemaran) dan pembangunan (development) identik dengan kerusakan (destruction). Tegasnya: P (Prograss) + P (Development) = P (Pollution) + D (Destruction). Inilah yang sebenar-benarnya “tragedi kolektif” yang sedang melanda kehidupan Jakarta.
Penelitian nasional dan internasional telah banyak mengungkap problematika Jakarta. Urusan sampah, kualitas air, udara dan kerentanan tanah maupun ancaman “tenggelamnya” Jakarta akibat perubahan iklim global. Semuanya membawa ke arah saatnya mawas diri tentang apa yang sedang berputar di Jakarta dalam rumpun sejarah perkotaan. Kota-kota metropolitan kerap memasuki poros megapolitan untuk berubah wajah menjadi “entitas negara” yang lazim dinamakan ecumenopolitan. Fase historis perkotaan demikian pada akhirnya tertambat di ujung cerita sebagai nekropolitan alias “kota kematian”. Warga kota sedang antri untuk membeli tiket “kegelapan peradaban”. Kota nekropolitan tak ubahnya seperti “lonceng berkabung” bagi warganya.
Sejujurnya dapat dikatakan bahwa hadirnya fenomena kota nekropolitan tidak hanya melanda Indonesia, melainkan juga mewabah dalam skala mondial. Mengikuti sambil mengenang pandangan Eko Budihardjo, bukankah Chicago telah dilecehkan dengan sebutan “sickago” dan Frankfurt dijuluki “krankfurt” alias kota yang sakit. Indianapolis diberi nama ledekan “india-no-place” karena tidak adanya sense of place. Ini adalah sebuah parodi kenaifan yang melanda metropolis untuk terjun bebas menjadi nekropolis. Pada tataran demikian terungkitlah bahwa udara ibu kota lebih mirip “parfum beracun” karena tingginya tingkat pencemaran udara.
Kenapa itu semua terjadi? Tentu ada yang harus dibenahi dalam mendesain Jakarta yang telah “dipatenkan” sebagai “kamar raksasa” dengan transportasi pribadi yang tidak terkendali. Gedung-gedung tinggi dicipta tanpa mempedulikan nuansa alamiah lingkungan dan budaya tradisionalnya (local wisdom). Hutan kota telah diganti sejak puluhan tahun lalu dengan hutan beton yang tidak mampu menyerap emisi gas buang.
Mengkonstruksi Mimpi Nusantara
Migrasi IKN pada dinamikanya niscaya dipahami sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi problem ekologi, sosial dan ekonomi di Jakarta. Warga kota dimanapun tidak mungkin dapat hidup dengan prima dari udara yang tercemar, air yang kotor ataupun tata kota yang timpang. Warga kota yang hidup “bersahabat” dengan air, udara dan tanah yang tercemar sesunguhnya memberi sinyal bahwa mereka tengah “ditakdir” beringkarnasi menjadi “jiwa-jiwa yang memfosil” di perkotaaan. Kemajuan kota pada akhirnya sekadar “berhala persembahan” bagi warganya apabila akrab dengan pencemaran.
Untuk itulah membangun ibu kota baru yang ecopolis (smart, green and beautiful city) dengan mengembangkan kebutuhan ekologisnya merupakan tuntutan jelajah perkotaan modern ke “tanah yang diperjanjikan”. Pada titik ini kita sebagai bangsa sedang melamunkan sabda optimisme seperti dalam Kakawin Nagara Krtagma (1365) di awal tulisan ini yang inti konteksnya bermakna: Ibu kota itu selaksa rembulan dan matahari yang indahnya tiada tara, kawasan properti ditata perklaster sesuai profesi penyelenggara negara yang berkilauan seperti kilau madu, bagai cahaya bintang gemintang, dan semua di Nusantara tunduk dan berlindung. Begitukah IKN Nusantara?
Leave a Reply