Pantaskah Koruptor Dihukum Mati?

Oleh Matlilla * 

Akhir- akhir ini ramai dibicarakan lagi wacana hukuman mati bagi koruptor. Hal ini dikarenakan perilaku koruptif terus terjadi di Indonesia. 

Bahkan sudah sangat parah. Padahal banyak pejabat yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan diberi hukuman bervaraiasi dari yang puluhan tahun hingga bellasan tahun.

Namun, hukuman itu belum memberikan  efek jera bagi para koruptor dan belum mampu pula mengurangi perilaku koruptif secara signifikan di Indonesia. 

Transparency International Indonesia baru saja mengumumkan Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia turun menjadi 37 pada 2020 dari tahun sebelumnya 40, peringkat 102 didunia, sama dengan negara Gambia di Afrika Barat. 

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, IPK Indonesia berada di peringkat lima. Itu di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40). 

Dalam hal ini kinerja KPK dan penegak hukum yang lain terutama dalam pemberantasan korupsi patut dipertanyakan. Sebab KPK dalam kesempatannya selalu bilang upaya pencegahan terus dilakukan dengan tidak mengesampingkan penindakan.

 KPK juga sering melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada oknum pejabat. Namun Indonesia masih belum keluar sebagai negara korup. 

Keadaan tersebut juga dipertanyakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Sehingga ICW menilai ada ketidakjelasan orientasi dalam pemberantasan korupsi. 

Merujuk pada data KPK, jumlah penindakan mengalami penurunan drastis sepanjang 2020. Mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai pada instrumen penting seperti tangkap tangan. 

Penurunan itu dapat dimaklumi karena adanya perubahan hukum acara penindakan yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi tumpul, performa KPK dalam pemberantasan korupsi sejak Komisioner baru dilantik banyak melahirkan kontroversi ketimbang memperlihatkan prestasi. 

Mundurnya kinerja KPK tidak bisa dilepaskan dari keputusan politik pemerintah dan DPR dalam menentukan komisioner KPK saat ini.

Namun demikian KPK tetap terus berupaya melakukan pencegahan dan penindakan terhadap para pelaku dugaan korupsi guna mengamankan kebocoran uang negara serta untuk memastikan pembangunan infrastruktur dan ekonomi untuk terus tumbuh di tengah situasi pandemi covid 19. 

KPK dan kepolisian terus bersinergi untuk melakukan pencegahan, bidang penindakan sepakat melakukan investigasi bersama atau join investigasi kasus-kasus korupsi.  KPK juga mendorong pemberdayaan aparatur pengawasan intern pemerintah (APIP). KPK merekomendasikan pemerintah untuk memastikan adanya kecukupan dan kompetensi sumber daya serta independensi APIP dalam menjalankan tugasnya.

Dengan semakin banyakanya pejabat publik yang dicokok KPK tidak membuat para pelaku  korupsi takut apalagi jera. Para koruptor justru terus melakukan operandinya dengan berbagai macam cara untuk melakukan korupsi. Hal ini membuat KPK berupaya melakukan pencegahan dan penindakan baik OTT maupun pengembangan kasus-kusus korupsi yang lain. Namun juga belum mampu menekan jumlah koruptor. Dan yang cukup menyita perhatian publik yaitu 2 Eks Menteri (Mensos dan Menteri KKP) Keduanya terjaring OTT yang dilakukan oleh KPK terlebih terjadi pada masa pandemi covid 19. Keduanya jadi tersangka kasus dugaan menerima suap bansos dikemensos untuk masyarakat yang terdampak covid 19 dan suap izin ekspor benih lobster di Kementerian KKP. Hal ini membuat banyak kalangan termasuk penggiat anti korupsi dan pakar hukum mendesak KPK untuk melakukan penuntutan maksimal yaitu hukuman mati, mereka beralasan hukuman mati bisa terapkan untuk para koruptor yang melakukan korupsi pada keadaan tertentu, yaitu saat bencana pandemi covid 19. Secara normatif hukuman mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Senada dengan yang disampaikan pakar hukum dan penggiat anti korupsi, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menilai Edhy Prabowo dan Juliari Batubara layak untuk dituntut dengan ancaman hukuman mati. Kedua mantan menteri itu layak dituntut hukuman mati karena melakukan praktik korupsi di tengah pandemi Covid-19. Hal itu disampaikan saat menjadi pembicara dalam seminar nasional bertajuk “Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi” yang ditayangkan secara daring di akun YouTube Kanal Pengetahuan FH UGM beberapa hari lalu.

Dalam UU yang dimaksud tersebut Pasal 2 ayat (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (2) berbunyi, Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Kenapa semua koruptor tidak dijerat dengan UU TPPU? Seharusnya semua koruptor juga dijerat  dengan UU tersebut supaya pengembalian uang rakyat kenegara semakin banyak serta hukuman pidanaya juga maksimal tentu mereka juga akan berpikir panjang untuk melakukan korupsi. adapun bunyi UU No 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang pasal 3 setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Namun pernyataan yang disampaikan oleh Wamenkum HAM beberapa hari lalu, membuat geram anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding mengkritik pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Prof. Edward Omar Sharif Hiariej) yang menyebut dua mantan menteri, Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara, layak dituntut dengan ancaman hukuman mati. Menurutnya, tak layak menyampaikan pernyataan seperti itu. Karena khawatir akan berpengaruh pada proses penyidikan, bahkan sampai proses peradilan. Sungguh sangat tidak elegan, dalam posisi sebagai Wamenkum HAM memberikan suatu statement seperti itu. Hal itu bisa mempengaruhi proses pro justitia kasus yang sementara berlangsung ditangani oleh aparat penegak hukum.

Ditempat terpisah pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menanggapi wacana tuntutan hukuman mati untuk dua mantan menteri tersebut. Ali mengatakan, KPK memahami harapan masyarakat mengenai tuntutan hukuman mati tersebut karena praktik korupsi itu dilakukan di tengah pandemi. “Kami tentu memahami harapan masyarakat terkait penyelesaian kedua perkara tersebut, termasuk soal hukuman bagi para pelakunya. Pantaskah koruptor dihukum mati?

Hukuman mati dibeberapa negara sudah ditiadakan, Apalagi, Indonesia telah menandatangani Deklarasi Universal HAM (Duham) dan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik). Seharusnya para koruptor cukup dimiskinkan atau disita semua asetnya dan hukuman penjara, karena belum tentu ada jaminan bahwa hukuman mati di Indonesia bisa membuat efek jera atau bisa mengurangi angka perilaku korupsi disamping juga hukuman mati bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28A  yang berbunyi Setiap orang berhak  untuk  hidup serta berhak  mempertahankan  hidup dan kehidupannya. Negara dalam hal ini tidak boleh merampas kehidupan orang, karena hidup itu adalah hak setiap orang. Tugas negara adalah memberikan dan mengenalkan bahaya korupsi dan ancaman hukumannya, supaya kedepan orang yang mau korupsi bisa tahu bahwa ada hukuman pidana dan merusak negara karena ulah para koruptor sehingga generasi muda juga terbebas dari paraktik korupsi dan bisa membawa Indonesia bangkit dari kemiskinan.

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), juga menolak dengan tegas penerapan hukuman mati di Indonesia karena tidak berperikemanusiaan dan merupakan hukuman yang kejam. Menurut Kontras, hukuman mati telah melanggar standar hak asasi manusia (HAM) yang berlaku internasional karena hak hidup adalah hak yang paling penting. Hak hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi, tidak bisa dilanggar, tidak bisa dibatasi dalam keadaan apapun. bahwa hukuman mati sangat kejam dan tidak manusiawi yang disampaikan oleh kontras juga diperkuat dengan Pasal 9 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM ayat (1) setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. 

Kasus korupsi memang sudah sangat parah di Indonesia, tugas KPK, POLRI dan lembaga terkait serta melibatkan lapisan masyarakat, mulai dari Tokoh Agama untuk terus mengawal pembangunan di Indonesia. Terlebih pada masa pandemi covid 19 ini. Dimana banyak masyarakat yang kesulitan secara ekonomi. KPK dan Penegak Hukum diharapkan terus meningkatkan pencegahan sejak dini supaya tidak ada kebocoroan uang negara yang jadi bancaan oknum pejabat. Mulai dari penganggaran dan pengadaan barang harus terus dikawal Sehingga bisa meminimalisir bahkan bisa menghilangkan terjadinya perilaku koruptif disemua lini, trasnparansi dalam penganggaran perlu ditingkatkan. Pengenalan terhadap perilaku koruptif juga harus dilakukan pada semua tingkatan sekolah bisa melalui kurikulum sehingga para penerus bangsa tahu dampak yang disebabkan oleh perilaku koruptif. Hal itu untuk mengingatkan para generasi penerus bangsa terhindar dari godaan perilaku koruptif. Semoga tindakan penyelewengan dan perilaku korupsi yang merugikan uang negara di Indonesia bisa dicegah, sehingga Indonesia menjadi negara maju. Rakyatnya keluar dari kemiskinan yang diakibatkan oleh para koruptor. (@)

“Matlilla adalah Mahasiswa Magister Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.