MALANGKOTA (SurabayaPost.id) – Pemilik unit Apartemen Malang City Point (MCP) menolak eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri (PN) Malang Kelas 1A. Mereka menilai bahwa proses eksekusi tersebut tidak adil dan tidak transparan.
Hal diungkapkan mereka usai sidang annmaning di Pengadilan Negeri (PN) Malang Kelas 1A, Rabu (5/11/2025) siang. Para pemilik menilai pengadilan telah mengabaikan proses hukum yang masih berjalan. Pasalnya, hingga kini gugatan para pemilik terhadap MCP masih berproses di PN Malang Kelas 1A dan PN Niaga Surabaya.
Namun PN Malang Kelas 1A tetap menerima dan memproses permohonan eksekusi yang dimohonkan PT. Sejahtera Santosa Gemilang (SSG), pemenang lelang terhadap unit-unit yang ada di MCP.
Menurut Sueb, salah satu perwakilan pemilik unit MCP, proses hukum yang sedang berjalan belum selesai, namun eksekusi sudah dilakukan. “Proses hukum kami belum selesai, tapi eksekusi sudah berjalan. Ini jelas merugikan pemilik yang masih berjuang melalui jalur hukum,” ujarnya.
Sementara Devi Fitriawati, pemilik unit MCP lainnya, menyoroti tindakan kurator yang melelang aset MCP di bawah nilai wajar. “Aset tersebut dilelang hanya senilai Rp87 miliar, jauh di bawah harga NJOP, tanpa adanya penjelasan atau rincian transparan,” kata Devi.
Hal senada juga disampaikan Tharfiansyah, pemilik apartemen ini juga menyoroti keabsahan pemenang lelang. PT SSG, dinilai tidak memenuhi syarat administrasi karena baru berdiri pada 27 November 2022, sementara proses lelang dilakukan pada 4 Oktober 2024.
“Padahal, salah satu syarat lelang mensyaratkan perusahaan memiliki pengalaman minimal 10 tahun,” ujar dia. Dalam pengumuman lelang sebelumnya, jumlah unit apartemen dan condotel yang telah terjual disebutkan secara jelas.

Namun, PT SSG disebut mengklaim membeli seluruh unit tanpa melakukan musyawarah atau win-win solution dengan pemilik sah, yang dianggap bertentangan dengan ketentuan lelang.
Para pemilik juga menyoroti peran Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai pihak yang mempailitkan MCP. BTN dinilai mengabaikan hak nasabah, karena pembeli tetap diwajibkan mencicil hingga lunas tanpa pernah menerima unit yang dijanjikan.
Bahkan, beberapa pembeli yang sudah melunasi juga belum mendapatkan hak kepemilikannya. Tak hanya itu, para pemilik juga menagih janji DPRD Kota Malang dan Polresta Malang Kota yang sebelumnya telah memfasilitasi dua kali pertemuan, yakni pada 2 Juni dan 26 Juni 2025.
Dalam pertemuan tersebut, DPRD Kota Malang dan Polresta Kota Malang berkomitmen melindungi para pemilik unit beritikad baik, namun hingga kini hasil tindak lanjut belum terlihat nyata.
“Kami berharap ada keberpihakan terhadap masyarakat yang menjadi korban. Kami ingin proses hukum berjalan adil dan transparan,” tegas Sumardhan SH, MH, tim kuasa hukum para pemilik apartemen MCP.

Sementara itu Kuasa hukum puluhan user apartemen MCP, Janu Wiyanto, SH menambahkan bahwa PN Malang dinilai kurang transparan. Pasalnya, para user yang berstatus sebagai pembeli tidak mendapat kesempatan untuk menyiapkan upaya terkait kasus ini.
“Permohonan masuk tanggal 23 Oktober, tanggal 28 sudah mulai pemanggilan. Kemudian tanggal 3 November sudah mulai dilakukan aanmaning. Ini kami sesalkan, dan juga terkesan terburu-buru, belum lagi masih ada proses hukum yang sedang berjalan,” jelasnya.
Janu juga mengatakan, bahwa para user yang telah membeli dan membayar lunas, dipaksa untuk keluar dari aset miliknya secara sukarela. Sementara, mereka tidak mendapatkan kompensasi apapun, sehingga terkesan terjadi pengusiran.
“Mereka diberi batas waktu delapan hari sejak pemanggilan, untuk mengosongkan dan meninggalkan objek secara sukarela. Padahal mereka membeli bahkan ada yang juga sudah ditinggali, ini yang meneguhkan kami untuk secara tegas menolak eksekusi,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut Panitera PN Malang Kelas 1A, Imam Sukardi, SH, MH menjelaskan, bahwa permohonan eksekusi ini berdasarkan risalah lelang yang dimohonkan oleh PT SSG selaku pemenang lelang. Namun, di momen aanmaning kali ini, pihak PN Malang dikatakannya menjadi jembatan komunikasi lagi antara termohon dan pemohon.
“Jadi banyak pihak termohon ini, kami membantu komunikasi. Tadi pihak termohon juga menyampaikan sudah membuka pintu untuk perdamaian, dengan menawarkan kesepakatan kepada para user sebagai termohon,” jelasnya.
Menurutnya, terkait batas waktu delapan hari para termohon dilakukan aanmaning harus meninggalkan objek, ini dinilai sebagai aturan yang ada dan harus disampaikannya. Akan tetapi, terkait implementasi, ada beberapa faktor yang harus ditempuh dan tidak serta merta dilakukan.
“Kami menyampaikan, agar para user atau termohon yang memiliki bukti kepemilikan, bukti pelunasan dan bukti lain, bisa diserahkan melalui PTSP PN Malang. Nanti, akan kami kaji dan akan dilakukan penilaian. Apakah bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya atau tidak. Jadi prosesnya masih panjang dan pertimbangan juga banyak,” pungkasnya. (lil).
