
Diskusi berlangsung hangat dengan berbagai perspektif kritis terhadap kondisi dan tantangan dalam reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini.
Prof. Deni secara sistematis memaparkan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia terdiri dari tiga tahapan besar, pertama Pra-Ajudikasi (Pre-Adjudication) meliputi penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian, serta penuntutan oleh Kejaksaan.
“Tahap ini Kepolisian berfungsi sebagai pengumpulan bukti awal dan pengujian dasar hukum atas suatu dugaan tindak pidana.” ujar Prof Deni.
Kedua Ajudikasi (Adjudication) merupakan proses pembuktian formal di pengadilan, di mana hakim berwenang memutuskan bersalah atau tidaknya terdakwa berdasarkan alat bukti dan argumentasi hukum yang diajukan dalam persidangan.
“Sedangkan Pasca-Ajudikasi (Post-Adjudication) untuk tahap ini mencakup pembinaan terhadap terpidana oleh lembaga pemasyarakatan, khususnya dalam pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan, sebagai bagian dari reintegrasi sosial.” terangnya.
Tidak hanya berhenti disitu saja, Prof Deni menjelaskan apa landasan hukum, ia menekankan pentingnya pemahaman yuridis atas kewenangan institusi penegak hukum
Prof. Deni menguraikan berbagai ketentuan yang berlaku seperti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang tertuang pada Pasal 1 angka (10), (13), Pasal 13, dan Pasal 14 ayat (1) huruf G menyebutkan bahwa Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Bahkan KUHAP pada Pasal 1 angka (1) dan (2), serta Pasal 6 ayat (1) menegaskan kewenangan Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana.