Turun Tanah, Tradisi Yang masih Dilestarikan Warga Tanjungrejo, Kota Malang

Micha Ryouta Putra Pratama, putra pertama pasangan Ardan Resta Pratama dan Roro Suci Ningtyas saat mengikuti prosesi turun tanah
Micha Ryouta Putra Pratama, putra pertama pasangan Ardan Resta Pratama dan Roro Suci Ningtyas saat mengikuti prosesi turun tanah

MALANGKOTA (SurabayaPost.id) – Pasangan suami istri Ardan Resta Pratama (32) dan Roro Suci Ningtyas (31), warga Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Jawa Timur, masih melestarikan tradisi turun ke tanah (Mudun lemah) di bulan Sya’ban. Tradisi ini dilakukan bagi bayi yang berusia 7 bulan dan baru bisa merangkak, dengan tujuan agar si bayi memiliki sifat mandiri ketika dewasa nanti.

Acara tradisi turun tanah (mudun lemah) digelar dengan sederhana di kediamannya di Jalan IR. Rais Gg 14 No 60, RT 11/RW 04 Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Minggu (06/03/2022). Tradisi ini bagi anak pertamanya bernama Micha Ryouta Putra Pratama.

Dari pantauan SurabayaPost id, puluhan warga juga terlihat datang memeriahkan acara tradisi itu. Acara dibuka dengan sambutan Edy Santoso (69), kakek dari Micha Ryouta Putra Pratama.

Setelah itu, pasangan suami istri Ardan Resta Pratama dan Roro Suci Ningtyas, menyiapkan tangga yang terbuat dari batang tebu dan sangkar terbuat dari bambu di depan rumah. Sangkar tersebut, didalamnya berisi berbagai mainan.

Tradisi dimulai dengan si bayi menaiki tangga dari batang tebu yang masing – masing anak tangga bertuliskan jenjang pendidikan hingga masa sukses. Seperti, Paud, TK, SD, SMP, SMA, Kuliah dan anak tangga terakhir dengan kalimat Sukses.

Setelah menaiki tangga, si bayi kemudian bermain di dalam sangkar yang telah disediakan. Tampak si bayi ketika di dalam sangkar menangis.

Ketika proses itu selesai kemudian dilanjutkan dengan acara sungkeman pasangan suami istri Ardan Resta Pratama dan Roro Suci Ningtyas kepada Edy Santoso (69) dan Nurcahyoningsasi (65) yang merupakan ayah dan ibunya.

Roro Suci Ningtyas menyuapkan nasi potong tumpeng kepada ibunya dalam rangkaian pelestari budaya nguri - nguri bayi turun tanah (mudun lemah)
Roro Suci Ningtyas menyuapkan nasi potong tumpeng kepada ibunya dalam rangkaian pelestari budaya nguri – nguri bayi turun tanah (mudun lemah)

Selanjutnya, juga digelar potong tumpeng. Dalam hal ini, kedua orang tua yang punya hajat, yakni Ardan dan Roro memberikan potongan nasi tumpeng kepada kedua orang tuannya.

Selesai prosesi potong tumpeng, acara selanjutnya dengan membagi – bagikan uang recehan kepada para anak-anak hingga orang dewasa yang datang.

Terakhir, tradisi ditutup dengan doa. Doa dipanjatkan oleh tokoh masyarakat setempat dengan tujuan agar si bayi diberikan keselamatan, kesehatan, dan kemudahan rezeki saat dewasa nanti.

Ayah si bayi, Ardan Resta Pratama
(31) mengatakan, acara ini sebagai tradisi turun-menurun. Acara mudun lemah (turun tanah)  dilakukan di bulan Sya’ban  jelang bulan puasa.

” Kami mengikuti tradisi adat Jawa.  Saya sebagai orang tua melaksanakan kewajiban mengikuti tradisi leluhur, nguri-nguri budaya leluhur dan melestarikan budaya leluhur, yakni dengan acara upacara mudun lemah anak yang pertama ini,” jelasnya.

Sementara itu, pelestari budaya jawa, Supriyanto Gondo Puspito, menjelaskan, tradisi mudun lemah ada berapa tujuan ataupun filosofi. Melalui tradisi ini ia berharap bayi ini dapat diberikan kesehatan, keselamatan, dan kemudahan rezeki saat dewasa nanti.

“Supaya dalam mengarungi hidup di bumi ini diberikan kemudahan diberikan kesehatan, keselamatan, dijauhkan mara bahaya mala petaka dan dijauhkan dari penyakit lainnya,” harapnya.

Prosesi turun tanah (mudun lemah) bayi Micha Ryouta Putra Pratama dengan membagikan uang receh
Prosesi turun tanah (mudun lemah) bayi Micha Ryouta Putra Pratama dengan membagikan uang receh

Menurut dia, tradisi turun tanah (mudun lemah) dan membagikan uang recehan kepada warga. Hal ini pun ada maksud tertentu. Untuk mudun lemah diharapkan agar si bayi diberikan keselamatan oleh Allah. Sedangkan membagi-bagi uang receh dengan tujuan agar si bayi ketika dewasa akan dimudahkan rezekinya.

“Tradisi ini supaya rezekinya lancar. Itu ibaratnya dan mudah-mudahan nanti rezekinya seperti hujan. Kalau mudun tanah anak dari gendongan supaya mudah berjalan di atas tanah dan dimudahkan serta diberikan keselamatan oleh Allah,” jelasnya.

Dijelaskannya, istilah pratelan, itu di ibaratkan. Tetelan tujuh warna, merah, putih, hijau dan kuning. Warna merah agar anak yang dipitoni mempunyai sifat berani. Tetel warna putih di ibaratkan suci. Sedangkan tetel warna kuning di ibaratkan kejayaan.

“Saya selaku pelestari budaya jawa sangat mengapresiasi kegiatan ini. Dan saya berharap kelestarian ini bisa digetok tularkan ke lainnya,” tuturnya.

Sedangkan istilah kurungan, anak dimasukan kurungan di ibaratkan, anak kemana pun nanti pergi, dia akan selalu ingat rumahnya. Namun, kata dia, itu semua hanya doa.

“Naik tangga di ibaratkan gambaran kehidupan. Jadi orang hidup itu ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Pasti mengalami perjuangan. Tapi itu bagi yang percaya?. Namun semua ini hanya upaya kita untuk doa,” tutupnya. (lil)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.