Oleh: H Soenarwoto Prono Leksono Pemerhati Haji dan Perjalanan Haji
Suatu saat, dalam kisah tasawuf, Syech Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib semasih muda mendatangi Masjidil Haram. Syech Ali Zaenal Abidin adalah cicit Nabi Muhammad SAW. Dia heran saat itu ketika melihat begitu banyak orang melakukan tawaf. “Siapakah mereka yang tawaf itu,” tanya Ali Zaenal Abidin kepada Abdullah bin Umar bin Khatab.
Mendapat pertanyaan itu Abdullah bin Umar hanya menundukkan kepala dan diam. Tak menjawab. Ali Zaenal Abidin jadi penasaran. Dia pun bertanya hingga tiga kali karena Abdullah Umar tetap tak menjawab. “Wahai saudaraku Abdullah bin Umar, siapa sesungguhnya mereka yang tawaf itu. Saya benar-benar ingin tahu,” desak Ali Zaenal Abidin.
Melihat keseriusan cicit Rasul ingin tahu siapa mereka yang tawaf itu, akhirnya Abdullah pun menampakkannya dengan ilmu kasyaf. Kasyaf adalah ilmu menyingkap tabir kegaiban. Ilmu ini hanya dimiliki para kekasih Allah. Atau mereka yang suka selalu riyadah; menyucikan lahir dan batinnya. “Jika begitu, maaf sekarang pejamkanlah mata baginda,” pinta Abdullah kepada Ali Zaenal Abidin dengan penuh karomah.
Dan ketika matanya terpejam, dengan secepat kilat Abdullah bin Umar mengusap wajah Ali Zaenal Abidin dengan ilmu kasyaf. Kun fayakun! Seketika itu tersingkaplah tabir kegaiban. Seketika itu pula Ali Zaenal Abidin terperanjat kaget. Sangat kaget. Oooh!
Begitu membuka matanya,
terlihat orang-orang yang tawaf itu jadi berkepala dan berbadan binatang. Mereka ada yang berbadan dan berkepala anjing, srigala, harimau, singa, buaya, ular, serta binatang-binatang semacamnya. “Astaghfirullah.., mengapa orang-orang itu berwajah menyeramkan. Berwajah binatang,” telisik Ali Zaenal Abidin.
Tanpa panjang waktu, Syech Abdullah bin Umar pun menjelaskannya dengan rinci sesuai penglihatan mata batinnya. Bukan mata lahiriahnya atau panca indera. Menurutnya, orang-orang yang tawaf terlihat berkepala binatang itu karena ibadahnya hanya menuruti hawa nafsunya dan untuk dibangga-banggakan.
Sesuai Sabda Rasulullah: “Akan datang suatu masa yang dialami manusia yaitu; orang kaya dari umatku yang melaksanakan haji (niatnya) karena wisata, orang kalangan menengah (niatnya) karena ria dan sum’ah, dan kaum fakir di antara mereka niatnya karena untuk meminta-minta”. (HR Ibnu Jauzy).
Riya itu pamer. Jika ditilik dari bahasa milenial sekarang semata buat “konten”. Cari popularitas biar viral. Sum’ah adalah sikap atau sifat gemar menunjukkan amal perbuatan kepada orang lain. Serupa dengan riya. Harapannya untuk mendapat sanjungan dan pujian lain. Bukan mengharap ridho-Nya.
Tidak ikhlas. Hanya menonjolkan riya dan sum’ah. Riya dan sum’ah itu merupakan “syirik kecil”. Maka ditampakkanlah orang-orang yang tawaf itu, badan dan kepalanya berupa binatang. Karena mereka datang di tanah suci tidak dengan kesucian hati dan kejernihan pikirannya. Tapi orang-orang itu penuh nafsu dalam menjalankan ibadah.
“Dalam beribadah, orang-orang itu hanya penuh nafsu. Tidak peduli menyakiti lain. Tidak peduli menginjak atau menyodok jamaah lain dalam beribadah. Kebinatanggannya yang ditonjolkan, bukan kemanusiaannya,” ungkap Syech Abdullah.
Menengok kisah ini, kami pun jadi mafhum. Mengerti dan paham. Mengapa di antara mereka calon Haji 2022 kemarin ada yang ngomel-ngomel ketika gagal berangkat akibat pemangkasan kuota. Malah di antara mereka bukan sekadar ngomel-ngomel, tapi marah-marah, mencela, memaki-maki, dan memfitnah lain. Maaf, mungkin orang-orang itu ditampakkan “wajah aslinya” sebelum di tanah suci. Naudzubillah. (**)
Leave a Reply