Oleh: Suparto Wijoyo
ALHAMDULILLAH. Saya dan siapa saja yang telah memasuki dan menikmati hari-hari bulan Ramadhan ini dengan peribadatan sebagaimana umat Islam menjalankannya. Ada kesan, ada pelajaran, ada hikmah, ada saat-saat perenungan diri ini. Para pengiman seyakin-yakinnya terpanggil dalam ruang Islam beribadah puasa. Bukankah Ramadhan meluaskan areal jelajah pengabdian yang tiada tepi dan garis demarkasi, antara hamba dengan Rabbnya. Bulan yang kepadanya segala hikmah dipersembahkan. Pintu-pintu keberkahan dibuka dalam rentang melantingkan pertobatan dengan daya lenting yang gemahnya sepanjang hayat pemanggul tauhid-Nya. Pengampunan, rahmat dan kemuliaan digelar dengan segala ornamen istimewa yang melekat pada “pembelajar” Ramadhan.
Pembebasan dari api neraka jua disematkan. Ghalibnya, tidurnya orang yang berpuasa saja menyemaikan berberkas kebaikan dengan limpahan pahala, apalagi yang terjaga dengan lentera pemandu memberi teladan, pastilah Allah swt melipatgandakan derajatnya. Tidak ada yang sia-sia dalam setiap detak langkah dan pijaran sinyal berpuasa di mongso Ramadhan. Tidakkah jiwa pemuasa mengerti betul betapa di wulan poso itu segala keagungan dibeber dalam persembahan tunggal untuk keunggulan manusia dalam mencapai maqom takwa.
Takwa adalah supremasi paling terhormat yang ditanam sekaligus dipanen siapa saja yang berpuasa. Puasa merupakan peribadatan yang sangat “tidak terjamah” karena secara anatomis maupun “bahasa tubuh” amatlah rahasia. Eksistensi dan fungsi puasa memiliki frekuensi khusus terhadap jejaring Tuhan. Inilah ibadah yang sejatinya tidak dapat dideteksi manusia melalui kelekatan ekspresinya, selain Allah swt sendiri. Untuk memberikan bonus amaliah puasa, ternyata Allah swt tidak dibantu “ajudan” sebagaimana pemberian “wahyu” maupun piranti takdir lainnya. Allah swt sangat sungguh-sungguh dalam mengambil kendali langsung atas “tanda jasa” yang hendak diberikan-Nya kepada pribadi pemuasa.
Puasamu-puasaku-puasa kita niscaya menjadi media komunikasi yang paling terang tanpa gangguan “android ragawi” karena Allah swt hadir pada setiap deret kegiatan pelaku puasa. Maka tidaklah elok kalau kita main-main terhadap keajaiban menjalankan ibadah puasa ini. Tekadkan secara sempurna untuk berpuasa dengan deklarasi lelaku yang sudah sangat umum: berniat. Puasa pasti digerakkan dengan niat sebagai inti keberangkatan penjelajahan jiwa-raga para pemuasa. Ucapkan dan laksanakan seluruh sendi peribadan untuk memasuki gerbang terhormat bulan Ramadhan. Niat Ingsun Poso adalah penanda untuk terselenggarakannya panggung puasa Ramadhan yang memiliki beragam fenomena syariat yang sangat fenomenal: bertadarus, nderes Kitab Suci, tiada henti untuk melantunkan ayat-ayat Illahi yang ternarasikan dalam Alquran.
Niat Ingsun Poso merefleksikan ujaran perjanjian yang sangat kontraktual dalam bingkai menjalankan ajaran-Nya bagi umat yang menyadari bahwa puasa memang harus digerakkan dari niat selaku fundamen keabsahannya. Kata ingsun berkelindan dalam titik-titik ruhani untuk memaujudkan diri ini dalam telungkup kuasa Allah swt. Hamba mengerdilkan diri di haribaan-Mu yang hanya dapat dinalar dari kelambu semesta yang tengah terbentang. Betapa agung dan dahsyatnya kuasa-Nya dan manusia dengan puasa “mengikuti rute Illahiyah”. Beribadahlah, berpuasalah tanpa berpikir tentang bonus, melainkan hanya atas nama keimanan.
Inilah segmen harian selama setahun yang “dikurikulumkan” khusus untuk manusia beriman melalui mekanisme penyambutan bulan Ramadhan yang penuh suka cita. Berpuasa berarti menahan diri terhadap segala hal, bukan sekadar makan minum, haus dan dahaga, tetapi “mepes rogo njelentreh sukmo”, menahan nafsu untuk nendapatkan jalan kesempurnaan. Berpuasa itu ber-“ihdinashshiratal mustaqim”. Berpuasa itu “bersahutan” dengan “rotasi penyadaran diri” yang hanya diutamakan bagi penjelajah yang tahu posisi. Mari terus menerus belajar berpuasa dari setiap “daun yang melambai”, sebelum puasa diubah selaksa guguran bunga saat “saur tengah malam”.
Inni Shooimun
Saat sahur atau tarawih, anak nyeletuk, bagaimana muslim di Ukraina maupun Rusia berpuasa. Ya perang itu sepertinya asyik dipelajari di kampus-kampus dan diberitakan dengan senyaring-nyaringnya bahwa komunitas global sangat mengutuk tindakan perang yang tidak terperikan. Demonstrasi digelar di banyak aktivitas manusia yang masih menyisakan dalam hati sosialnya tentang keadilan. Semuanya terhenti dalam lembar sejarah penumpukan pasal-pasal yang digeluti kaum politisi dan yuris yang setiap saatnya menyimak tanpa jeda. Apakah itu semua menghentikan tindakan brutal selama peperangan yang “diproklamasikan” ?
Di Palestina juga ada kisah. Pengeboman itu setiap hari mengoyak tubuh kebangsaan Palestina yang pada mulanya adalah pemilik sah “tumpah darah” yang diklaim Israel. Kemudian lembaran historis dapat dibaca ulang tentang asal usul pendirian Negara Israel yang mengusung alasan memberi tempat “yang layak” akibat derita yang selama ini dialami. Urusan Hitler dan pembantaian kaum Yahudi yang disorongkan dalam Perang Dunia di abad ke-20 itu harus ditebus oleh “kerumun politik” mondial dengan memberikan status kenegaraan pada Israel. Inggris-Perancis dan Amerika Serikat bersekuti mengerek tinggi-tinggi Israel dengan “menempatkannya” di tanah Palestina. Mengapa tidak di sebagian wilayahnya “negara promotor” kalaulah mereka itu hendak memberikan “permen perdamaian” demi kehormatan orang-orang Yahudi-Isreal? Kini termasuk Indonesia mendapatkan reaksi FIFA yang membatalkan menjadi tuan rumah.
Israel menjadi entitas yang membawa Indonesia tersedak dan biarlah diri ini memahami bahwa FIFA-Israel-Indonesia dalam balutan sepak bola menjadi berkelindan. Biarlah para pakar di bidang ini membuat pengkajian perlindungan bagi setiap nyawa warga Ukraina maupun Palestina, atau nasip para pesepakbola atas keputusan FIFA.
Adakah warga Palestina mengenyam HAM dan sampai dimana pejuang HAM memberikan keberpihakan yang mampu menghentikan buldoser Israel. Ah … alas legalitas dapat dibuat guna mengabsakan Israel, persis selaksa sebuah negara berdaulat dapat dihancurkan dengan alasan yang sangat provokatif dan kontroversial. Penghancuran Iraq, Libiya dan bagaimana kini nasib pengungsi Rohingya seolah kita lupakan. Adakah jerit tangis yang kian mengoyak itu biarlah tetap tersembunyi dalam kelambu dunia yang masih memuai mencari keadilannya?
Dalam deret hitung kasus-kasus itu di tambah dengan adanya kegemparan soal FIFA yang “menggesek-menggeser” Indonesia dari urusan pertuanrumahan sepekbola kelas dunia. Inilah “kelenjar pikir” yang harus kuberikan atas pesan jamaah tentang apa yang diketahui mengenai ragam masalah bangsa-bangsa di dunia. Selanjutnya saya harus menahan diri layaknya orang berpuasa: maaf, saya tidak melanjutkan ini sebab sedang berpuasa. Puasa dari fenomena yang kerap menyeret ke lahan ajang fitnah. Maka katakanlah: Inni-shooimun – Ana shooimun. Saya mengajak kita mempuasakan diri dan mendirikan puasa tanpa reserve.
Penulis adalah :
Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup-SDA MUI Jatim
Leave a Reply