Kita Dan Pengungsi Rohingya

Oleh: Suparto Wijoyo

NELAYAN dan warga Aceh menunjukkan peran konstitusionalnya yang luar biasa saat memberikan perlindungan kepada pengungsi saudara sesama manusia (di samping sesama muslim) dari Rohingya, yang terdampar di perairan Aceh Utara, yang viral di media baru-baru ini, 24 Juni 2020. Dalam situasi sedemikian heroik nan mengguncang itu masih ada yang usil dengan menyoal tentang kemungkinan adanya penyelundupan manusia. Biarlah hal itu menjadi ruang kaum yang selama ini memang selalu curiga selain dari menjadi penyanjung tanpa nalar atas kemampuan sang idola dalam mengelola publik selama ini.

Saya hanya memaknai dengan mendengar: tangis yang mengerang dan lelehan air mata yang tumpah membasuh luka memandikan duka membanjiri jalanan keterusiran etnis Rohingya, yang sampai jua di bentara media Surabaya. Mata dunia telah lama tertuju menyimak nasib terlunta-lunta warga Rohingya, di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Anak-anak, perempuan, lelaki, orang tua dan muda terbidik dengan sorot mata yang menggambarkan keperihan derita yang menimpa, meski dengan sinar cemerlang yang melukiskan semangat juangnya. Penderitaan yang dialami sepertinya dijadikan energi peneguh entitas yang dinihilkan oleh negaranya sendiri. Status tanpa kewarganegaraan dan pengusiran yang dilakoni merupakan “ruang belajar” tentang belum tuntasnya “dunia ini untuk berdamai dengan dirinya sendiri”. Bagaimana mungkin order dunia yang tengah memasuki babakan postmodern di abad ke-21 ini masih ditemukan adanya sebuah negara yang menistakan rakyatnya?

Kenalilah Mereka

Berbagai referensi historis telah merekam bahwa sejak abad ke-7 orang-orang Rohingya sejatinya telah berdiam di Arakan yang disulap dengan nama Rakhine dan secara spesifik atas nama investasi ditambahi “Sittwe” berterminologi semacam Blok Shwe. Kaum minoritas yang bertauhid sebagai Muslim Rohingya acapkali diserang, diteror, dimarginalkan, bahkan dibumihanguskan oleh kelompok yang beratribut negara dengan selubung agama maupun modal. Bukan itu yang hendak diperhatikan dan diperpanjang untuk menimbulkan kegaduhan yang sentimentil, melainkan mencoba memaknai suatu penistaan nasib anak manusia di zaman ini dan tengah tinggal di sebuah wilayah yang memiliki rezim negara. Bahkan di Myanmar ini ada pemegang tampuk kekuasaan utama negara oleh Penerima Hadiah Nobel Perdamaian Tahun 2012, Aung San Suu Kyi.

Aneh dan terasa sangat ganjil dimana sosok pejuang demokrasi dan HAM tersebut, “bersenyum simpul” merestui terjadinya pembantaian warga Rohingya. Pencampakan hidup tanpa legalitas kewarganegaraan yang terus menindih warga Rohingya sejak di tahun 1948, 1962, 1978, 1991, dan menghebohkan dunia di 2012, serta semakin menggegerkan masyarakat internasional sepanjang 2016-2017 ini, jelas tidak dapat diterima oleh manusia beradab. Deklarasi HAM PBB dan segebok Internasional Agreements yang mengatur pengungsi atas nama kemanusiaan pasti dilanggar semuanya.

Lumpuhnya Hukum Internasional

Terhadap nasib mereka dipertanyakan banyak pihak, masih adakah hukum yang mengatur mereka? Biarlah itu menjadi pengkajian para pakar di bidang disiplin internasional. Tetapi khalayak sudah sangat mafhum tentang ketidakberdayaan regulasi internasional dalam “menaklukkan” para pelanggarnya. Simak saja kasus “pembombardiran” umat manusia di negara Afghanistan, Irak maupun Libiya dengan implikasi ternyata berupa krisis lingkungan yang sangat hebat itu, ketentuan internasional “tidak bertuah” penghadapinya. Bukankah kini sudah terungkap semuanya mengenai rapuhnya argumentasi atas serangan yang dilancarkan Amerika Serikat dengan “bolo dewonya” yang “berkelambu PBB” melalui “resolusi-resolusi artifisial untuk menjustifikasi penghancuran negara lain dengan embel-embel menyerang para teroris”, pada dasarnya adalah menifestasi keserakahan dengan percikan “bumbu-bumbu” sentimen. Kebetulan di banyak negara yang “dianiaya” dengan menggunakan “instrumen hukum internasional” itu penduduknya beragama kebanyakan Islam. Dengan demikian apa yang tergelar di Timur Tengah sesungguhnya bukan semata-mata persoalan internal dan teroris “picisan”, tetapi akibat dari bergentayangannya jiwa-jiwa kolonialisme yang terus tumbuh di belahan hati orang-orang yang negaranya merasa super teknologinya.

Itulah juga yang menimpa dan menjejak ulu hati warga Rohingya yang merupakan wujud asimilasi maupun integrasi beragam ras berdarah Arab, Turki, Persia, Indo-Mongoloid maupun Afghanistan. Mereka jauh di abad ke-7 sudah berkomunitas yang mendahului berdirinya Burma, apalagi Myanmar. Keterusiran yang dialami warga Rohingya sudah semestinya mengetuk komunitas dunia untuk merangkul dalam dekapan kehayatan bersama. PBB dan negara-negara yang waras harus terpanggil untuk mendudukkan posisi terhormat warga Rohingya dalam tata pergaulan global. Mereka mempunyai hak hidup dan hak bertempat tinggal secara permanen di mana dia telah beratus tahun berdiam membangun interaksi budaya. Pola pengurisn di Rohingya setarikan nafas nyerempet-nyerempat bagaimana “pengkerdilan” Suku Aborigin di Australia. Publik telah lama membaca siapa penduduk asli Australia dan siapa yang pendatang sebagai tamu yang kemudian menguasai “tuan rumah”. Ini persis “segenggam skenario” dengan “pembungkaman” Suku Indian di USA yang dapat dipelajari sejak jejak Rihlan Ibnu Batuthah.

Memperebutkan SDA Rohingya

Dunia telah lama “dilemahkan” para imperialis dan kolonialis yang sampai hari ini berjangkit. Tragedi Rohingya semakin tampak bahwa otoritas pemerintahan Myanmar yang digenggam Aung San Suu Kyi terang terpotret membuka selubung kekejamannya pada anak negerinya. Memang terhadap nestapa Rohingnya terdapat berbagai spekulasi dan analisis geopolitik multi perspektif. Latar konflik etnis dan agama menyembul sangat fenomenal di samping problem perebutan ladang sumber daya. Sebagai literatur awal dapat dirujuk Geoff Hiscock yang tahun 2012 telah menerbitkan Earth Wars: The Battle for Global Resources. Pertempuran memperebutkan sumber daya global memang menandai terjadinya Perang Bumi. Pangan, air, energi, dan logam menjadi ladang “palagan baru” yang telah memasuki babak krusial dan sangat ambisius. Selama berabad-abad Barat telah mengontrol sebagian besar aliran sumber daya, dan kini harus waspada, karena Cina, India, Turki, Rusia, Brazil, Iran, maupun Indonesia sedang menagih bagiannya.

Dunia kini sedang dipameri rancang bangun Perang Bumi. Perang ini harus dipungkasi dengan komitmen bahwa sumber daya alam tidak untuk dieksploitasi tetapi dikonservasi. Pelajaran filsafat alam dari Edward Grand (2011) sangatlah mengkristal untuk memahami titik kosmik semesta agar manusia lebih bijak bertindak. Memperebutkan SDA dengan peperangan bukanlah solusi. Ingatlah pesan filosofis Mahatma Gandhi (1869-1948): Earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed. Sungguh bumi ini dapat mencukupi seluruh kebutuhan umat manusia, tetapi tidak pernah cukup untuk memenuhi keserakahan seseorang, termasuk keserakahan sekitar areal tempur di Rohingya.

Sehubungan dengan ini ada tulisan Muhammad Iqbal dan Dyah Ratna Meta Novia, Menelisik Motif Ekonomi di Balik Krisis Rohingya (Republika, 5-9-17) bahwa berdasarkan data yang dihimpunnya, baru-baru ini sebanyak 1,27 juta hektar tanah yang didiami warga Rohingya telah dialokasikan untuk pengembangan perdesaan. Rakhine State ini tanahnya subur dengan SDA yang kaya yang kini diransek oleh investasi-investasi besar. Pendiri Save The Rohingya, Jamila Hanan menyatakan ada kaitan erat antara pembersihan etnis Rohingya dengan pembangunan migas di Myanmar. Dibangun jaringan Pipa Gas Shwe yang membentang sampai ke Cina. Pipa itu memungkinkan minyak dari negara-negara Teluk dan Afrika dipompa ke Cina. Pengembangan Lapangan Gas Shwe dilakukan Konsorsium Perusahaan asal Korea Selatan, India dan Myanmar. Lokasinya 170km dari Kyaukphyu (Sittwe). Pipa gas itu bertemu menuju terowongan dari Rakhine, melewati Myanmar, Cina Barat, terhubung dengan jaringan pasokan utama Cina Selatan dengan jarak lebih dari 2.000km. Tahun 2012 terdapat kekerasan terhadap kaum Rohingya di areal pelabuhan strategis Sittwe.

Kutipan itu rasanya perlu didalami betapa kerakusan atas SDA ternyata membuat manusia tega menyengsarakan manusia lainnya, bahkan membunuhnya. Seperti diberitakan berbagai media massa bahwa Human Rights Watch (HRW) merilis gambar satelit yang menunjukkan terjadinya pemusnahan desa-desa muslim di Rakhine oleh pasukan Myanmar jauh lebih parah daripada berita yang beredar. Wakil Direktur Asia HRW Phil Robertson mengecam keras aksi tersebut. Ungkapan ini niscaya terpercaya dan cukup bagi Indonesia untuk mengambil prakarsa terdepan dalam membantu penyelesaian permanen yang menimpa etnis Rohingya. Indonesia dengan UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa “…untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat …”.

Kita Bersaudara

Dengan demikian, atas nama kemanusiaan bangsa Rohingya, pemerintah RI memiliki kewajiban konstitusional untuk menjalankan perannya sebagai penjaga ketertiban dunia (yang sedang dinodai oleh krisis peradaban di Rohingya). Secara filosofis berdasarkan sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab, terdapat pula pijakan norma hukum dasar negara (staatsfundamental norm) untuk melibatkan diri dalam bersumbangsih menuntaskan konflik di Rakhine. Siapa mengatakan yang paling Pancasila selama ini, sibukkanlah dirimu dengan menolong mereka sebagaimana nelayan Aceh itu, bukan sibuk mengusung RUU HIP yang hendak mempreteli Pancasila. Bantuan ekonomi dan tekanan politik yang menempatkan prinsip kemanusiaan di atas urusan etnis dan agama harus ditempuh Pemerintah. Tunjukkan Indonesia sangat peduli kemanusiaan di manapun di muka bumi ini senafas konstitusi (UUD 1945). Gandhi pun mengungkapkan: all men are brothers – semua manusia bersaudara.

Penulis adalah :

Esais, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.