Oleh : Daniel Mohammad Rosyid @ Rosyid College of Arts
Dalam rangka mengimbangi kebangkitan raksasa China di tengah kemunduran kepemimpinan moral Barat/AS, sekaligus menyelamatakan Garuda dari caplokan Naga dan injakan Gajah yg menua, kita harus keluar dari kemelut masalah sebagai berikut 1) pendidikan yg tidak memerdekakan, bahkan memperparah fragmentasi masyarakat akibat neo-feodalism, 2) kehancuran nilai2 keluarga, 3) agama sebagai sumber nilai2 kolektif makin ditinggalkan, dan 4) gaya hidup yang makin eksploitatif dan destruktif antar-sesama. Di tengah2 kehadiran technofeudalism yang makin disruptif, kita masih tetap memerlukan kekuatan budaya sehingga berbagai kemajuan teknologi kita pastikan tetap konvivial : tidak memperbudak manusia, rendah-energi, dan tetap mendorong kreativitas dan inovasi. Kita juga perlu pastikan bahwa pembangunan sebagai upaya memperluas kemerdekaan terus dipijakkan pada kekayaan sumberdaya agromaritim yang melimpah sekaligus terbarukan untuk kemandirian pangan dan energi.
Untuk itu, kita memerlukan rekonstruksi sistem pendidikan nasional sebagai instrumen budaya untuk menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa yg merdeka. Sisdiknas saat ini tidak banyak berubah selama 50 tahun terkakhir : menjadi instrumen teknokratik untuk menghasilkan bangsa buruh : cukup trampil untuk menjalankan mesin2, sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal, teruma investor asing yang sejak 1970an membanjiri Republik ini melalui penanaman modal asing. Kita mungkin memerlukan Merdeka Belajar Kampus Merdeka, namun kita lebih memerlukan sisdiknas sebagai platform untuk belajar merdeka bagi semua warga, terutama warga muda yg menyusun bonus demografi bangsa ini.
Kenaikan UKT di PTN saat kapasitasnya diperbesar yg dikeluhkan banyak PTS perlu dicermati karena 2 sebab. Pertama, kebutuhan kuliah yg meningkat adalah kebutuhan semu karena disebabkan kegagalan pendidikan menengah untuk menyiapkan warga muda yg sehat dan produktif pada usia lulus SMA/SMK/MA. Lulusan ini seharusnya sudah siap memasuki dunia kerja dan siap menikah. Kuliah itu menganggur. Kedua, model bisnis PTN dan PTS yg masih mengandalkan jumlah mahasiswa untuk memenuhi target revenue stream di tengah keterbatasan APBN dan upaya mempertahankan dosen2 terbaik mereka. Ini telah menurunkan kapasitas inovasi kampus,. Perguruan tinggi tidak bisa diposisikan sebagai kelanjutan pendidikan menengah karena tugas2nya jauh berbeda. Bahkan tradisi universitas mendahului persekolahan sebagai produl jadul revolusi industri. Mensyaratkan lulus SMA untuk diterima kuliah adalah mengada-ada.
It takes a village to raise a child. Sisdiknas kita selama ini telah terlalu bertumpu pada sistem persekolahan yang memonopoli pendidikan secara radikal. Tidak bersekolah langsung dianggap kampungan dan tidak terdidik. Tidak bergelar dinilai tidak kompeten. Sekolah seringkali berusaha terlalu keras untuk memberi pesan dan kesan sebagai satu2 nya tempat belajar. Padahal belajar tidak pernah mensyaratkan kerumitan formalisme persekolahan. Akibatnya kesempatan belajar justru menyempit dan makin mahal. Internet telah berhasil melubangi tembok2 sekolah yg tinggi dan tebal. Kita harus segara shifting from schooling paradigm to learning paradigm. Sisdiknas juga tidak boleh terlalu terobsesi dengan mutu yg ditetapkan secara nasional, seringkali juga internasional, namun harus lebih menekankan relevansi personal dan spasial, agar seluruh potensi warga belajar dapat tumbuh kembang serta beragam kekayaan agro-maritim dapat tergarap dengan sehat sekaligus membuka lapangan kerja yang jauh lebih banyak bagi warga muda di seluruh tanah air. Di samping ekosistem keuangan yg eksploitatif, sekolah merupan faktor pendorong urbanisasi sejak awal 1970-an, sehingga terjadi foot-lose industry yang mengasingkan warga muda di pedesaan dari lingkungan hidup mereka sendiri sehingga makin menelantarkan potensi2 agromaritim nasional. Nilai Tukar Petani dan Nalayan menurun terus secara kosisten atau stagnan sejak 1970an.
Dalam perspektif itu, Sisdiknas perlu diarahkan untuk menjadi sebuah learning cybernetics yang lentur dan dinamis serta decentralised ke satuan2 pendidikan sejak keluarga, tempat2 ibadah, pusat2 kegiatan belajar masyarakat seperti pondok2 pesantren, satuan2 bisnis dan layanan sosial, dan sekolah2 yang makin terbuka dan inklusif. Monopoli belajar oleh sekolah sangat perlu dikurangi. Sisdiknas dalam bentuk sibernetika belajar itu diharapkan akan melahirkan warga negara yang merdeka, sehat dan produktif serta bertanggung jawab untuk 1) menguatkan ekonomi dengan pasar yang terbuka dan berkeadilan, 2) mendorong investasi publik dan swasta yang memandirikan, 3) layanan publik oleh birokrasi yang kompeten dan bersih dari KKN, dan 4) memastikan penguasan SIPTEK dalam meningkatkan ketahanan air, pangan dan energi.
Jemursari, Surabaya, 29 Agustus 2024.