
MALANGKOTA (SurabayaPost.id) – Penolakan terhadap rencana peluncuran Trans Jatim di wilayah Malang Raya makin menguat. Senin (15/9/2025), Forum Komunikasi Paguyuban Angkot Kota Malang mendatangi DPRD Kota Malang untuk menyuarakan aspirasi mereka dengan tegas.
Ketua Forum Komunikasi Paguyuban Angkot, Stefanus Hari Wahyudi, mengungkapkan kekhawatiran mendalam. “Kekhawatiran kami jelas, kalau Trans Jatim beroperasi itu akan menghancurkan rekan-rekan angkot yang masih bertahan sampai hari ini. Sekarang saja pendapatan mereka tidak menentu, jauh berbeda dibanding dulu. Kalau ditambah Trans Jatim, habis sudah angkot di Malang,” ujar Stefanus.
Ia menjelaskan, sopir angkot kini tengah berupaya memperbaiki layanan dengan adanya program pemutihan pajak dan uji kir gratis dari pemerintah. Namun langkah perbaikan ini dinilai kontradiktif jika bersamaan dengan masuknya Trans Jatim.
“Kami sedang berbenah supaya angkot lebih layak, aman, dan nyaman. Tapi tiba-tiba ada Trans Jatim, jelas kami menolak. Semua jalur di Kota Malang sepakat menolak,” tegas Stefanus.
Stefanus juga menyinggung minimnya komunikasi resmi antara pemerintah provinsi maupun daerah dengan para sopir angkot. “Kalau ngobrol-ngobrol santai dengan Dishub Kota Malang memang pernah, tapi resmi tidak ada. Jadi kami terkejut ketika media ramai memberitakan Trans Jatim segera meluncur bulan depan. Padahal kami sama sekali belum dilibatkan,” ungkapnya.
Stefanus menilai pengalaman sebelumnya membuat sopir angkot pesimis terhadap janji pemerintah. Ia mencontohkan kebijakan satu arah lalu lintas yang pernah dijanjikan akan dievaluasi bersama, namun tidak ada tindak lanjut.
“Sering kali kami diberi angin segar, tapi ujung-ujungnya mengecewakan. Jadi meskipun kondisi ekonomi sulit, kami sepakat menolak Trans Jatim, karena tahu langkah lanjutan pemerintah biasanya tidak jelas,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, mengakui bahwa sopir angkot memang belum pernah dilibatkan secara resmi dalam pembahasan Trans Jatim. “Memang betul, mereka belum pernah dilibatkan dan sosialisasi resmi juga belum ada. Kalau kebijakan dipaksakan, jelas tidak komprehensif,” kata Amithya.
Amithya menilai wacana menjadikan angkot sebagai feeder atau angkutan pengumpan bisa menjadi opsi, tapi masih butuh kajian mendalam. Apalagi, sebagian besar jalan di Kota Malang relatif sempit sehingga armada Trans Jatim yang besar sulit menjangkau banyak titik.
“Angkot bisa jadi feeder, terutama untuk kampus-kampus yang jumlah mahasiswanya ratusan ribu. Itu juga bisa membantu mengurangi kemacetan. Tapi sejauh mana porsinya, ini yang masih harus dibahas detail bersama provinsi,” jelasnya.
Wanita yang akrab disapa Mia ini
menambahkan, DPRD Kota Malang akan memastikan program transportasi publik baru tidak serta-merta mematikan angkot yang sudah puluhan tahun melayani warga.
“Ini bukan soal menolak modernisasi transportasi, tapi soal bagaimana menghadirkan solusi yang adil untuk semua, termasuk sopir angkot. Jadi kami minta provinsi jangan terburu-buru sebelum duduk bersama semua pihak,” pungkasnya.
Dengan demikian, aspirasi sopir angkot Malang ini terus dikawal oleh DPRD Kota Malang, dengan harapan tercapainya solusi yang mempertimbangkan nasib para sopir angkot sekaligus kebutuhan transportasi publik di Malang Raya. (lil).