Baru saja pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan, topik mengenai pemilu juga masih hangat diperbincangkan. Dit tengah euforia pemilu ada satu hal yang menarik untuk dibahas, yaitu tingginya biaya politik atau ongkos politik yang dikeluarkan oleh calon legislatif, calon kepala daerah hingga calon Presiden untuk memenangkan kontestasi. Lalu apakah dampak yang diterima rakyat dengan tingginya biaya politik saat ini, apakah kesejahteraan rakyat meningkat ?
Sebagai sebuah Negara demokrasi, pemilu adalah suatu keniscayaan dalam memilih sosok pemimpin dan wakil rakyat. Ditengah maraknya partai politik yang menandai telah hidupnya Demokrasi, tak sepenuhnya menjadikan Demokrasi di Indonesia menjadi lebih terhormat.
Setidaknya ada 4 tahapan pemilu yang membutuhkan biaya tinggi, diantaranya adalah Kampanye untuk menarik perhatian pemilih, Mahar politik sebagai modal awal dukungan partai politik, pendanaan saksi di TPS dan terakhir adalah persiapan dan pengawalan sengketa pemilu.
Partai politik sebagai ‘kendaraan’ dan gerbang awal seseorang maju dalam pencalonan di pemilu hari ini telah mematok tarif yang tidak sedikit sebagai syarat bahwa partai tersebut mengusung calon tertentu. Begitu juga saat seseorang telah ditetapkan sebagai calon pada pemilihan umum hingga selesainya pemilihan umum tersebut modal yang dibutuhkan begitu tinggi.
Dikutip dari berbagai sumber seseorang menjadi DPR rata – rata menghabiskan dana sebesar Rp. 8 miliar, DPRD I sebesar Rp 4 miliar dan DPRD II sebesar Rp 3 miliar.
Untuk menjadi kepala daerah rata – rata seorang calon gubernur menghabiskan dana sebesar Rp 40 miliar dan untuk Bupati/Walikota sebesar Rp 15 miliar. Sedangkan untuk menjadi seorang Presiden rata – rata dana yang dikeluarkan sebesar Rp 500 miliar – Rp 1 triliun lebih untuk memenangkan kontestasi pemilu.
Dan dalam jangka waktu 5 tahun, gaji pejabat tidak cukup untuk menutupi modal kampanye yang mereka keluarkan. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwasanya biaya politik di Indonesia begitu mahal.
Partai politik sebagai sebuah instrumen demokrasi dinilai telah gagal dalam menciptakan sebuah culture politik yang sehat. Partai politik sebagai rahim yang melahirkan para politisi dan pemegang kekuasaan tidak mampu memberikan suatu pendidikan politik kepada kader – kadernya dan kepada masyarakat untuk menciptakan suatu kehidupan politik yang bersih.
Disisi lain ketika maraknya partai politik yang ada hari ini tentu membutuhkan dana operasional yang tidak sedikit. Setidaknya dibutuhkan Rp 200 miliar dalam 1 tahun untuk satu parpol dan itu menjadi tanggungan bagi elite politik sebagai pengelola partai karena Negara hanya memberikan dana bantuan sesuai dengan perolehan kursi yang didapat di legislative.
Sedangkan bantuan berupa dukungan dana dari public juga minim. Suatu dana yang tinggi ditengah euphoria elite politik dalam mendirikan parpol tanpa ada perencanaan yang matang terkait pendanaan, ideology perjuangan, hingga cara untuk membangun kader berkualitas.
Ditengah masalah demokrasi yang krusial ini, lalu bagaimana dengan rakyat sebagai objek dalam pembangunan ? Ditengah sulitnya pembiayaan guna menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera melalui APBN/APBD.
Upaya membangun demokrasi dengan pembiayaan yang tinggi menjadi suatu persoalan lain. Tidak mungkin demokrasi yang demikian tersebut dibangun di tengah jutaan rakyat yang masih mengais sampah dan jutaan rakyat lain dalam keadaan perut kosong.
Demokrasi di Indonesia seharusnya dibangun dengan memperhatikan kondisi sosio-kultur masyarakat. Menterjemahkan demokrasi berkualitas seperti yang terjadi di Negara – Negara barat dimana kehidupan masyarakatnya telah mencapai taraf hidup tinggi adalah suatu hal yang anomali dilakukan di Indonesia saat ini.
Hal itulah yang kemudian tidak juga dapat diperhatikan oleh elit – elit politik kita. Itu karena mereka juga hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya semata, tanpa melihat rakyat yang seharusnya menjadi prioritas.
Jangan sampai demokrasi kita saat ini sama dengan apa yang diungkapkan oleh Socrates bahwa ia menolak apa yang disebut demokrasi, dan menolak pula kebebasan politik dan budaya yang cenderung merusak warga Negara dan mengarah pada kesengsaraan daripada kebahagiaan.
Untuk menghindari hal tersebut lah sebuah sistem politik dapat terwujud secara demokratis ketika pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara (Joseph Schumpter).
Namun realitas yang terjadi saat ini adalah tidak sama seperti apa yang diungkapkan oleh Schumpter. Ketika masih ada dan marak oknum politikus kita yang tidak berlaku secara jujur dan adil serta bersaing secara fair ketika budaya politik uang di Indonesia masih merajalela akibat dari pendidikan politik yang salah dan penerapan demokrasi tidak sebagaimana mestinya.
Karenanya penting sekali demokrasi dibangun berdasarkan pertimbangan kondisi sosio-kultur masyarakatnya. Mampu membangun suatu keadaan yang kondusif juga semakin mendekatkan hakekat serta marwah demokrasi di masyarakat. Jiwa gotong royong yang selama ini menjadi slogan rakyat Indonesia juga harus dihidupkan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat secara utuh dalam pelaksanaan demokrasi.
Bukan seperti hari ini, bahwasanya asas menjunjung kepentingan umum tidak lagi dipedulikan, melainkan money politic yang bergerak diatas segalanya dan menjadi panglima dalam demokrasi. Hal ini lah yang telah membuat demokrasi kita tidak benar – benar dewasa, tapi selangkah mengalami kemunduran dan mengalami kerapuhan demokrasi.
Ketika circle kekuasaan dan perwakilan hanya diberikan pada mereka wajah – wajah lama yang telah memiliki modal dan para pengusaha yang mengandalkan segalanya atas dasar uang. Maka demokrasi hari ini seperti sebuah sistem oligarki semu.
Kekhawatiran Socrates seperti apa yang saya tulis diatas, bahwasanya berbahaya sekali menyerahkan kekuasaan politik dan haluan bernegara kepada masyarakat dengan tingkat pendidikan politik yang rendah (buta politik) dapat mendorong pada kehidupan yang menyengsarakan.
Akibatnya adalah ketika seperti hari ini bahwa telah terjadi transaksi – transaksi politik dan uang yang menjadi penggerak atas segalanya hingga mampu membeli kekuasaan rakyat, serta munculnya oknum – oknum politisi yang hanya pandai menaiki mimbar lalu menguntai janji manis yang begitu indah untuk mengelabuhi rakyat dan memuluskan ambisinya. Maka sekali lagi rakyat lah yang akan menjadi korban dari keganasan gladiator politik tersebut.
Pasca reformasi dengan sistem pemilihan umum secara langsung membuat setiap orang dapat menjual dan menawarkan dirinya ke publik, ini adalah sebuah kemajuan berdemokrasi namun ini juga adalah kemunduran demokrasi ketika seorang yang awam terhadap politik bermodalkan uang sebagai alat untuk maju dan menang.
Akibatnya adalah kinerja anggota legislatif, kinerja kepala daerah yang minim akan prestasi. Disisi lain juga penggunaan money politic menjadi salah satu faktor yang membuat angka korupsi elite – elite politik dan pejabat meningkat.
Mereka berupaya untuk mengembalikan modal awal yang telah dikeluarkan tersebut dengan cara – cara yang biadab. Dan membuat masalah baru yang merugikan bangsa ini.
Terdapat suatu gagasan sebagai upaya untuk meminimalisir adanya kebobrokan – kebobrokan tersebut adalah dengan mengembalikan pemilihan walikota/bupati kepada DPRD atau seperti halnya yang terjadi di Ibukota yaitu walikota ditunjuk oleh Gubernur dengan pertimbangan adanya efisiensi, praktis dan dinamis menjadi suatu hal yang perlu dikaji untuk melukakan perbaikan – perbaikan demokrasi saat ini, tentunya tanpa harus mengurangi sedikitpun esensi dari demokrasi itu sendiri.
Upaya untuk kembali kepada sistem perwakilan seperti era orde baru juga digaungkan yang mana sistem tersebut tentu memiliki sebuah plus minus tersendiri. Partai politik harus benar – benar menjalankan fungsinya dengan baik agar tidak terjadi transaksi gelap yang bertujuan meloloskan pihak – pihak tertentu tanpa memperhatikan kapabilitas dan kapasitas seseorang. Dan pada akhirnya mengakibatkan politik uang kembali menjadi panglima di Negara ini.
Parpol tidak boleh hanya menjadi sebuah simbol demokrasi, tetapi juga harus benar – benar memperjuangkan aspirasi politik rakyat yang diwakilinya.
Gagasan kembali ke sistem perwakilan juga dapat diterjemahkan lebih dalam lagi. Misalnya dengan melakukan penyederhanaan partai politik untuk mengurangi biaya penyelenggaraan demokrasi agar lebih efisien dan efektif.
Selain itu masyarakat dapat lebih fokus melihat dan memilih calon – calon yang disajikan. Calon yang disajikan juga harus memiliki kompetensi, kapasitas dan kapabilitas serta rekam jejak yang baik dan teruji untuk menjadi pelaku politik seperti anggota legislatif atau kepala daerah. Dimana mereka juga harus benar – benar mengerti dan paham akan apa yang diperjuangkan oleh partai politiknya dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat di bawah.
Ini juga bagian dari kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik dalam membina anggotanya, akan lebih pasti lagi apabila dijadikan sebagai sebuah syarat yang diatur dalam peraturan pemilu agar bersifat mengikat setiap partai politik.
Di alam demokrasi seperti saat ini, marwah dari demokrasi haruslah diperbaiki dan menjadi tanggung jawab semua pihak untuk melakukannya. Karenanya setiap gagasan, argumen yang menuju kepada solusi terciptanya demokrasi yang tidak hanya ditentukan oleh uang seperti saat ini yang kemudian menjadi panglima dan telah menggantikan kehendak rakyat dapat diterima sebagai sebuah evaluasi.
Sebagai bagian dari sebuah bangsa kita memiliki kewajiban moral untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan bangsa kita saat ini. Jangan sampai mereka yang menjadi wakil rakyat dan pemimpin – pemimpin kita adalah orang – orang yang dilahirkan dari produk – produk kapitalis yang hanya mencari keuntungan sebesar – besarnya bagi dirinya dan kroni – kroninya. Tumbuhnya suatu negara demokrasi yang sehat dan mampu membawa kesejahteraan rakyat adalah hal yang menjadi impian untuk langgengnya bangsa dalam bernegara dan berdemokrasi. (*)
Leave a Reply