Apakah Tanggal 20 Oktober Hari Sial?

Oleh Anwar Hudijono

Silang sengkarut menjerat Istana. Kali ini bersimpul pada urusan pelantikan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wapres hasil Pemilu 2019. Berawal dari pernyataan Ketua Umum Pro Jokowi (Projo) Budi Arie Setiadi bahwa Presiden Joko Widodo memiliki keinginan untuk memajukan pelantikan sehari lebih cepat.

Usulan dan keinginan Jokowi itu, kata Budi, disampaikan Jokowi saat bersilaturahim dengan sejumlah pegiat Projo di Istana, Jumat (27/9). Namun demikian, Budi memastikan tak ada alasan khusus yang disertakan Jokowi dalam keinginannya tersebut. “Gak ada, cuma ingin cari hari yang lebih baik saja. Hari Sabtu,” kata Budi.

Pernyataan Budi ini segera menjadi perbincangan di ranah publik. Mulai dari kerumuman di pasar, nitizen, sampai elite politik pun bicara. Tak kecuali Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.

Lebih kurang sehari kemudian Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin meluruskan sengkarut informasi tersebut. Menurutnya, bukan Jokowi yang ingin atau usul pelantikan dimajukan menjadi tanggal 19 Oktober 2019. Itu keinginan Projo.

“Dalam pertemuan itu di antara mereka mengusulkan bagaimana kalau pelantikan maju sehari supaya tidak ganggu mereka yang olahraga atau pergi ibadah. Itu saja usulannya, jadi bukan presiden yang mau,” ujarnya.
Informasi itu seperti kelereng yang menggelinding dari wuwungan rumah. Sulit sekali ditahan. Pokok informasi bahwa Jokowi ingin pelantikannya dimajukan sehari sudah terlanjur jadi bal-balan publik. Penjelasan Ngabalin seperti tidak ngefek.

Kenapa? Karena, pertama, publik sangat percaya bahwa informasi dari Projo itu A1 alias valid. Projo itu relawan kinasih Jokowi. Budi Arie Setiadi dikenal sebagai orang cakap. Tidak mengidap amnesia. Singga dianggap “hil yang mustahal” dia memelintir informasi.

Kedua, faktor subyek yang meluruskan berita. Yaitu Ngabalin. Ibarat dalam panggung teater, Ngabalin tidak pas memerankan tukang meluruskan berita. Dia cocoknya jadi tukang debat bin ngeyel. Gesturnya tidak cukup meyakinkan. Ingat dalam komunikasi, tidak cukup isi narasi tapi juga cara menyampaikan menjadi faktor penentu efektivitas.

Yang membuat publik masih kurang yakin pula karena belum ada pernyataan dari Budi bahwa Ngabalin yang benar. Dia mengaku bersalah melakukan kebohongan kepada publik. Dan tak kalah penting dalam kaitan pernyataan Ngabalin adalah di antara publik masih ada yang ingat pepatah: sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya.

Setelah menimbang, mengingat, memperhatikan dan seterusnya biarlah kali ini saya percaya Ngabalin. Kali ini ya. Artinya usulan itu dari Projo. Bahwa diusulkan maju sehari dengan alasan cari yang lebih baik saya kira bisa diterima.

Projo berpusat di Solo. Budi juga berdarah daging Solo. Solo, di samping Jogja adalah tuk (sumber) budaya Jawa. Solo masih eksis sebagai poros pergerakan tradisi Jawa. Spiritualitas Jawa.

Kosong

Dalam tradisi sebagian masyarakat Jawa, khususnya yang sudah Gus alias Generasi Usia Senja, menyelenggarakan kegiatan penting dalam kehidupan itu harus memilih hari yang baik. Tidak bisa sembarangan. Misalnya, saat mantu. Mendirikan rumah. Buka usaha. Pelantikan jabatan. Bepergian. Pindahan rumah. Menyimpan padi di lumbung. Tanam dan petik padi.

Melahirkan juga harus memilih waktu yang baik. Pamali melahirkan saat matahari terbit karena anaknya akan terkena julung kembang. Saat matahari terbenam karena kena julung caplok. Artinya, bayi yang lahir di kedua waktu itu akan dimakan macan.

Seandainya orang bisa memilih waktu matinya, pasti akan memilih waktu yang bagus. Dalam tradisi Jawa waktu mati bisa dikategorikan jadi empat. Gunung, Guntur, Segara, Asat. Yang jatuh pada Gunung dan Segara, maka keluarga yang ditinggal hidup bahagia. Kalau mati jatuh pada Guntur, keluarganya akan dilanda kemelut. Kalau Asat keluarganya akan miskin.

Untuk menentukan hari baik dan hari sial itu sudah ada pedomannya. Salah satunya adalah buku Betal Jemur Adammakna. Di samping itu juga berdasar wisdom lokal berdasar warisan turun temurun.

Salah satu pedomannya adalah dengan sistem numorologi, perhitungan atau dalam Bahasa Jawa petungan. Hari dan pasaran memiliki nilai. Ahad 5, Senin 4, Selasa 3, Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6, Sabtu 9. Pasaran Pon 7, Wage 4, Kliwon 8, Legi 5, Pahing 9.

Usulan Budi Arie dimajukan sehari itu, jika menurut petungan Jawa sangat bagus. Karena tanggal 20 Oktober 2019 kurang sip. Hari itu jatuh pada hari Ahad Pon. Berarti nilainya 12. Jika menggunakan piranti sistem petungan: Menthek, Riyek, Kemil, Jotho diulang sampai angka 12 maka jatuhnya pada petungan Jotho alias sial, kosong. Ada yang mengatakan “celaka dua belas”. Sebagian orang tua yang masih berpedoman pada petungan itu akan menghindari jatuh pada Jotho dan Riyek (hancur).

Tanggal 19 Oktober jatuh pada hari Sabtu Pahing. Petungannya Sabtu 9 Pahing 9. Jumlahnya 18. Angka 18 itu angka tertinggi. Puncak. Ibarat matahari itu sedang pancer (di tengah). Matahari di puncak adalah masa terang-terangnya. Dasyat-dasyatnya.

Sangat cocok untuk pelantikan Presiden. Dalam konteks kultur Jawa, pelantikan Presiden itu sama dengan Jumenengan Nata (penobatan raja). Pertanyaannya, kalau digelar Sabtu Pahing jatuhnya pada Riyek. Tapi mengapa menjadi hari baik. Jawabnya karena angka 18 adalah puncak, Presiden adalah puncak kekuasaan, pemimpin tertinggi. Artinya petungan itu gathuk (nyambung) dengan antara waktu dan hajat.

Presiden dalam persepsi kultur politik Jawa lebih dari seorang kepala pemerintahan dan kepala negara. Sebagaimana seorang raja, Presiden adalah khalifah. Dalam dimensi khalifah, Presiden itu juga tokoh spiritual, sakral. Dalam istilah Jawa: Raja-Pandita atau Raja-Ulama.

Akar nilai itu diletakkan Raja Mataram pertama, Panembahan Senapati. Dia menyandang bergelar Sayidin Panata Gama Khalifatullah. Pemimpin yang menata agama sebagai wakil Tuhan di atas bumi. Jadi secara substansial, Mataram itu khilafah. Tegasnya, sebelum HTI mengusung istilah khilafah, di abad 16 di Jawa sudah berdiri kekhilafahan yaitu Mataram. Jadi khilafah itu historis banget.

Yang mengatakan khilafah adalah ideologi impor belum lama, berarti kurang membaca sejarah. Minimal kurang ngopi. Harus mengenakan jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Hari pelantikan tidak bisa diubah. Seperti kata Ngabalin, Jokowi sendiri orang yang patuh pada aturan. Bukan dia yang ingin dimajukan. Untuk itu, lupakan soal petungan itu tadi. Karena pada dasarnya eksistensi seorang Presiden tidak ditentukan soal pelantikan hari apa. Tetapi bagaimana sikap dan perilakunya. Bagaimana visinya. Bagaimana hasil kerjanya. Bagaimana integritasnya. Kesabarannya. Kejernihan batinnya.

Dalam hal itu bisa berkaca pada Panembahan Senapati. “Senapati menjadi hebat (sakti) karena pemusatannya kepada Allah.” Tulis H.J. De Graaf dalam buku Awal Kebangkitan Mataram. Artinya kedekatannya dengan Allah. Sampai-sampai dirumuskan dalam ajaran: jumbuhing kawula-Gusti. Substabsial Tuhan lebih dekat darfi urat lehernya. Berarti ada kesadaran yang kuat bahwa dia adalah khalifatullah.

Senapati memegang teguh eksistensi seorang khalifatullah yaitu yang tertera dalam Quran Surah Saad 26: “Wahai Dawud sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi. Maka berilah keputusan yang adil. Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.”

Dan, Panembahan Senapati berhasil menyatukan hampir seluruh Jawa. Dia berbudibawa leksana (teguh memenuhi janjinya kepada rakyat). Dia adil sampai-sampai menantunya, Adipati Pragolo dihukum mati karena memberontak. Dia tegas tapi penuh welas asih. Dicintai rakyatnya lahir dan batin. Allahu a’lam bis-shawab (*)

@Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.