Oleh : Suparto Wijoyo
Akademisi Hukum Lingkungan dan Wakil Direktur III Pascasarjana Universitas Airlangga
Pandemi Covid-19 sepanjang 2021 amatlah menyengsarakan dan memukul telak sendi-sendi khalayak. Gelegak pandemi di 2022 melalui varian omikron kian merangsesk meski dengan tarikan nafas yang sedang saja. Problem ekonomi dan kesehatan melanda dunia yang di Indonesia nestapanya semaki kompleks dengan bencana hidrometeorologi. Sepanjang tahun 2021, BNPB mencatat sebanyak 3.092 kejadian yang didominasi bencana hidrometeorologi. Bencana yang paling sering terjadi, yaitu banjir dengan 1.298 kejadian, cuaca ekstrem 804 kejadian, dan tanah longsor 632 kejadian. Kebakaran hutan dan lahan mencapai 265 kejadian, gelombang pasang dan abrasi 45, gempa bumi 32, kekeringan 15, dan erupsi gunung api 1. Dari sejumlah bencana tersebut, tercatat warga menderita dan mengungsi 8.426.609 jiwa, luka-luka 14.116, meninggal dunia 665 dan hilang 95 (Republika.Co.Id, 31/12/21). BNPB juga merekam terjadinya peningkatan bencana hidrometeorologi dibanding 2020 pada korban meninggal sebesar 73,7%, korban luka-luka naik sebesar 59%, dan jumlah korban mengungsi dan terdampak naik drastis sebesar 153%. Namun demikian terdapat penurunan sebesar 80,8% pada jumlah yang rusak (14/12/21).
Mari Menjaga Hutan
Simak pula lansiran kajian Bappenas 2007 yang menyatakan 77% kabupaten/kota di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki 1-8 bulan defisit air dalam setahun. Diperkirakan pada 2025 jumlah kabupaten/kota yang defisit air meningkat hingga 78,4%. 35% kabupaten/kota pun akan mengalami defisit tinggi. Angka-angka ini bukan semata-mata deskripsi statistikal tanpa makna, melainkan manifestasi hadirnya tragedi ekologi. Derita lingkungan tengah menganyam nestapa yang disebar merata di seluruh segmen geografis nusantara.
Renungkanlah. Apa yang telah kita perbuat terhadap hutan, sawah dan ladang serta sungai yang membentang. Negara perlu bercermin diri tentang lemahnya pengawasan atas alih fungsi lahan yang berlangsung TSM (terstruktur-sistematis-masif). Negara jangan mentradisikan bencana sebagai siklus tahunan. Pemerintah lokal mestinya malu “mengantrikan” penduduknya mengundi derita.
Khalayak memahami betapa rapuhnya penjagaan hutan. Desa-desa tampak kehilangan basis konservasi SDA yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan. Kawasan lindung dipaksa melakukan bunuh diri ekologi (“ecological suicide”). Lahan hutan dan sawah digerus berlahan tapi pasti untuk diubah menjadi areal pergudangan maupun jalan tol. Maka agenda menjadikan hutan Perhutani sebagai lahan tanaman perkebunan dan tebu industri niscaya tidak bijaksana. Penjungkirbalikan pemanfaatan ruang yang tengah dipertontonkan dengan vulgar harus dihentikan. Mengubah hutan menjadi “sawah-tambak” adalah pilihan mismanajemen.
Pola kebijakan demikian secara tersamar telah disindir dalam bait puisi sastrawan besar yang lahir di Jerman dan meninggal di Swiss, Hermann Hesse (1877-1962) dalam terjemah indah Agus R. Sarjono (2015):
Ajaib, di kabut mengembara
Semak dan bebatu sepi.
Tiada pohon melihat sesama,
Semua mereka sendiri.
Mengatasi kekeringan pastilah dengan menjaga hutan yang berupa tegakan pohon, bukan ranting-ranting vegetasi. Bagi-bagi lahan untuk masyarakat sekitar hutan tanpa kejelasan peruntukannya bagi kepentingan konservasi, merupakan tindakan sembrono. Perhutanan sosial berpotensi mencerabut habitat ekologis yang dijarah fungsi lindungnya. Kebijakan kehutanan yang terlontar menyiratkan adanya kondisi psikologis yang mengkhawatirkan. Fakta menunjukkan bahwa konversi lahan hutan menjadi perkebunan berlangsung aksesif dan cenderung melegalisasi deforestasi. Bunuh diri ekologi acapkali dipelihara atas nama investasi.
Kini tiba saatnya negara tampil berwibawa. Rakyat membutuhkan “air susu Ibu Pertiwi” tetap mengalir agar anak-anak negeri ini tidak mengalami petaka hilang sirna kertaning bumi – tenggelam di lubuk zaman seperti diceritakan dalam sejarah keruntuhan Imperium Majapahit. Hari-hari ini harus menjadi momentum pembenahan tata kelola hutan dan membangun lahan lindung perdesaan. Jangan sampai warga mati laksana ayam yang limbung di kandang sendiri. Kekeringan dan banjir dapat dicegah dengan menghadirkan “Desa Hutan” dan “Kota Hutan” (tidak sekadar hutan desa/kota) sebagai “yuridiksi mata air”. Ini merupakan solusi membangun NKRI tanpa krisis lingkungan. Merehabilitasi, mereboisasi, dan mengkonservasi kembali setiap kampung memiliki embung, lumbung, gayung (irigasi) dan saung (kamling) merupakan “program prioritas” mencegah kekeringan/kebanjiran maupun kemelaratan. Mengabaikan hal ini berarti melakukan pembiaran “pementasan drama” bunuh diri ekologi yang terencana dalam jangka panjang.
Meneguhkan Cita Ekologi
Negara harus tanggap atas kondisi alamnya yang beranjak melakukan bunuh diri ekologi (“ecological suicide”). Kekeringan yang “menikam” 2,677 desa telah memberikan pelajaran keras kepada negara. Setiap jengkal tanah hutan pantang dilelang. Membagi lahan hutan tanpa kontrol akan melahirkan “azab lingkungan” yang menyengsarakan. Negara musti berbenah bahwa kekeringan merupakan manifestasi ngunduh wohing pakerti. Rakyat hidup terlunta tanpa air yang memadai atau kebanjiran cukuplah sampai di sini. Kalau tidak, buat apa ada Pilkada yang menyedot anggaran negara dan menarik investasi yang merusak negeri.
Sehubungan dengan ini ada pesan filosofis Mahatma Gandhi (1869-1948): Earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed. Ini menandakan bahwa bumi dapat mencukupi seluruh kebutuhan umat manusia, tetapi tidak pernah sanggup untuk memenuhi keserakahan seseorang. Edward Grand mengeluarkan pula buku spektakuler A History of Natural Philosophy (2011) agar manusia mempelajari cara kerja alam yang selalu dapat diturunkan dari generasi ke generasi (berkelanjutan). Saya percaya bahwa untuk menghindarkan bumi dari bencana ekologi, tentu kita tidak perlu berandai-andai sebagaimana pesan satir model Alan Weisman (2007): guna menyelamatkan bumi, haruskah memang sampai menunggu manusia tak ada lagi di dunia ini, The World without Us.
Situasinya memang alam sedang menggedorkan kesadaran bahwa dalam bernegara, di samping ada daulat rakyat, juga hadir supremasi lingkungan. Alam memberikan pesan agar aktivitas manusia yang melanggar batas tolerensi ekologis distop. Bukankah semua ada waktunya seperti ejaan fabel bagus Mitch Albom, The Time Keeper (2012), Sang Penjaga Waktu. Tampak datangnya akhir tahun dapat menjadi jeda agar kita berkesempatan untuk melakukan pertobatan ekosistemik guna memberi kesempatan kepada bumi ini sejenak istirahat, leyeh-leyeh memproduksi oksigen dan air yang segar. Kita sambut 2022 dengan cita ekologi menyelamatkan bumi dari tikaman keserakahan.
Leave a Reply