GRESIK (SurabayaPost.id)–
Komandan Kodim 0817 Letkol (Inf) Ahmad Saleh Rahanar memantau ‘kicauan gerombolan’ yang diduga kerap memeras dan menteror para kepala desa di Gresik melalui medsos. Dandim menganggap kicauan mereka seperti cacing kepanasan karena bisa dipastikan mereka adalah pelaku pemerasan
“Kalau mereka bukan pelaku tidak mungkin kepanasan kaya cacing di goreng. Mereka mencatut nama KWG dan PWI seolah jadi beking kades Kami rasa PWI dan KWG melaksanakan profesinya sesuai dengan etika jurnalisitk dan kode etik jurnalisitik. Kita dan pers sama memiliki tanggungjawab terhadap kondisi sosial kemasyarakatan jika dibutuhkan. Saat ini kita sudah waktunya turun gunung dengan teman teman wartawan,” ungkap Dandim 0817 Letkol Inf Ahmad Saleh Rahanar saat audensi dengan kepala desa di wilayah Gresik Utara yang akhir-akhir ini juga mengeluh lantaran kerap disatroni gerombolan yang mengaku sebagai wartawan LSM melakukan aksi pemerasan, Senin (29/5/23).
Ditegaskan Dandim, meminta para kades agar jangan takut dengan intimidasi yang dilakukan oleh para gerombolan pemeras yang mengatasnaman wartawan dan LSM. Karena mereka hanya memanfaatkan situasi yang semuanya sangat terbuka. Hanya saja mereka memanfaatkan celah yang diperkirakan oleh mereka tidak akan dijangkau oleh pemangku jabatan ditingkat desa.
“Dengan mengaku sebagai wartawan sangat mungkin pejabat ditingkat desa akan kena mental. Dengan begitu ia akan memperdayai pejabat ditingkat desa. Maka kami selalu menghimbau jangan takut. Hadapi mereka dengan tegas, sekali lagi jangan takut,” tegasnya.
Dikatakan Dandim, kicauan mereka untuk memframming agar seolah mereka melakukan pengawasan pembangunan desa tetapi dituduh memeras. Kalau ada kades yang melakukan tindak pidana silahkan laporkan kepenegak hukum, jangan justeru ditakut takuti lalu diperas.
“Mereka sengaja melakukan framming, agar seolah tindakanya benar. Dan kita menemukan fakta itu (pemerasan). Barusan kita melakukan audensi dengam para kades di wilayah selatan. Dua jam kemudian ada kades yang mengaku telah mengirim uang sebesar Rp15 juta kepada mereka. Nah, kalau sudah seperti ini pertanyaanya kenapa ? Ada yang salahkah ?. Tentu ada yang salah,” pungkas pria kelahiran Meraoke ini.
KWG Pahamkan Masyarakat Tentang Pers
Komunitas Wartawan Gresik (KWG) memaksimalkan sosialisasi peran dan fungsi Pers sesuai dengan UU Pers dan Peraturan Dewan Pers. Dengan harapan tidak ada lagi pejabat ditingkat desa yang dijadikan mangsa pemerasan oleh gerombolan yang mengaku sebagai wartawan dan LSM.
Ketua KWG Miftahul Arif mengatakan, paradigma kemerdekaan pers menurut UU Nomor 40 Tahun 1999 merupakan perwujudan kedaulatan masyarakat atau rakyat. Kemerdekaan pers bukan milik wartawan, pemodal, atau Dewan Pers, tetapi milik masyarakat berdaulat yang bermakna untuk kehidupan masyarakat dan demokrasi.
“Karena itu pula Pers pasca reformasi menjadi pilar ke empat demokrasi. Yang memiliki tanggungjawab bersama untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana makna terkandung didalamnya. Yakni kemerdekaan Pers sesuai dengan UU tentang Pers. Jika ada yang mengaku sebagai wartawan lalu mencari cari kesalahan lalu menakut nakuti yang ujungnya minta uang kami mohon kades jangan takut. Mereka preman yang menyamar sebagai wartawan,” katanya saat melakukan turba keliling desa wilayah Gresik Utara bersama Dandim 0817 Letkol Inf Ahmad Saleh Rahanar menemui kepala desa yang akhir-akhir ini mengeluhkan lantaran kerap disatroni gerombolan yang mengaku sebagai wartawan LSM melakukan aksi pemerasan, Senin (29/5/23).
Beberapa hari ini, setelah berita dugaan pemalakan dan premanisme yang dilakukan gerombolan ini dikeluhkan oleh para kades menjadi fakta. Meski berita yang viral itu tanpa menyebut nama dan organisasi akhirnya mereka bermunculan dan berusaha membalikkan fakta dengan membuat narasi yang disebar luaskan linknya dijejaring sosial untuk mendapatkan legitimasi bahwa narasi yang disampaikan seolah sebuah kebenaran dan semua yang menulis adalah berprofesi sebagai wartawan.
“Narasi yang mereka bangun melalui tulisan yang jauh dari etika jurnalisitik dan kode etik jurnalistik itu adalah gambaran prilakunya persis seperti yang dikeluhkan para kepala desa yang saat ini mulai berani bicara ini. Mereka memilih menyamar jadi wartawan, bukan tanpa alasan. Karena dengan menyamar jadi wartawan mereka berlindung dibalik profesi yang seolah-olah dan dibuat-buat sebagai modus operandi mereka bahwa wartawan itu sah-sah saja menulis apapun kasusnya menurut versinya dengan harapan korbanya kena mental dan mudah diberdayai. Dan endingnya memeras. Dan ini adalah murni tindakan kriminal,” terang dia.
Mereka kata Kaji Mif panggilanya, untuk memuluskan modusnya LSM dijadikan tandemnya. Dan tidak sedikit pula mereka juga mengaku sebagai wartawan dan sekaligus sebagai ketua LSM. Biasanya jika jurus pengakuanya sebagai wartawan gagal atau tidak cukup untuk menaklukkan sang kades mereka akan memerankan dirinya sebagai LSM yang bisa melaporkan kasus yang sengaja dibuat buat untuk memberi shock terapi kades.
“Saya akan melaporkan kasus ini ke Polres, ke Polda ke Kejaksaan. Besuk anda pasti dipanggil sama kejaksaan atau Polres. Nah kalimat kalimat yang penuh dengan teror dan intimidasi inilah biasanya kades menjadi takut. Padahal kadang dia juga belum tahu salahnya dimana. Mereka main gertak. Dan kami tidak menafikan pula jika kades takut. Karena berita yang tidak dilakukan ferifikasi faktual asal diunggah dimedsos ternyata ada pula yang ditanggapi APH. Inilah pangkal masalahnya. Kami yakin setelah ini berita tanpa ferifikasi faktual tidak akan lagi jadi petunjuk APH,” urainya.
Dikatakan Muhammad Aidit selaku Ketua Divisi Ombusman KWG, UU Pers menyebut tujuan dari kemerdekaan pers, antara lain, menegakkan demokrasi, mengedepankan prinsip keadilan, dan supremasi hukum. Dengan tujuan keluhuran profesi wartawan sesuai dengan semangat membangun peradaban bangsa yang adil dan makmur.
“Inilah paradigmanya. Persoalannya, kalau kita ingin mengimplementasikan kemerdekaan pers dengan prinsip keadilan, adilkah wartawan profesional dicampuradukkan dengan wartawan amatiran atau gadungan? Adilkah masyarakat, sebagai pemilik kemerdekaan pers, melakukan pembiaran? Lalu, apakah wartawan amatiran dapat diandalkan untuk menegakkan prinsip kemerdekaan pers dan supremasi hukum sementara mereka bermasalah dan cenderung melakukan pelanggaran hukum seperti pencemaran nama baik?,” imbuhnya.
Ditambahkan Achmad Sutikon yang juga Wakil Ketua KWG, publik harus cerdas dan tegas menyikapi wartawan gadungan. Mereka jangan diberi ruang hidup. Jika mereka memeras segera lapor ke pihak berwajib. Berbicara mengenai wartawan gadungan tidak ada relevansinya dengan kemerdekaan pers. Sebab wartawan gadungan bukan wartawan. Sedang profesi wartawan adalah bermartabat dan terhormat.
“Sekali lagi jangan takut. Takut dengan wartawan gadungan justeru akan menjadikan pertanyaan. Kenapa takut ? Apakah kades seperti yang dituduhkan ? Jika kades takut, maka kita yang saat ini masih berusaha membangkitkan dunia pers di Indonesia maka adalah awal kesalahan yang buruk,” imbuhnya.
Leave a Reply