JAKARTA (SurabayaPost.id) – Pemerintah diharap mensuport kenaikkan premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Harapan tersebut disampaikan Peneliti Sosial The Indonesia Institute (TII) , Center For Public Policy Research Vunny Wijaya, Kamis ( 25/7/2019).
Menurut dia BPJS kesehatan memberikan manfaat luar biasa pada masyarakat. Meski begitu, biaya yang harus dikeluarkan mengalami peningkatan.
Terutama, lanjut dia, untuk biaya pendidikan pengobatan penyakit jantung, kanker dan lainnya. Di sisi lain jumlah pasien yang dibiayai BPJS juga banyak bahan cenderung meningkat.
Akibatnya dana yang dikelola BPJS tak sebanding dengan biaya operasional. “Sehingga BPJS mengalami defisit sekitar Rp 28 triliun,” paparnya.
Makanya kata dia, pemerintah harus memutuskan agar premi dinaikkan. Apalagi kata dia, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyampaikan hal itu di Komplek Istana Bogor, Selasa, 23 April 2019.
Itu mengingat premi BPJS di Indonesia dinilai tergolong sangat rendah. Apalagi kalau dibandingkan dengan di Vietnam dan Hongkong yang kini juga defisit.
Menurut dia premi terendah sekitar Rp 37.000. Makanya Pemerintah Pusat kata dia harus segera mempertimbangkan kenaikan premi bagi peserta Non Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI). Yakni mereka yang membayar secara mandiri.
Dijelaskan dia dengan menaikkan premi, bisa mengurangi defisit BPJS. Sebab, jumlah pasien penyakit berat terus bertambah. Sedangkan preminya rendah.
Karena itu kata dia menaikkan premi secara berkala perlu diambil. Sebab penyelenggaraan BPJS Kesehatan berprospek gotong – royong.
“Jadi pemerintah harus segera memutuskan kenaikan premi. Jika tidak, hal ini akan berimbas pada pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien,” pungkasnya. (gus)
Leave a Reply