Balada Sampah Kota Batu Dari Sudut Pandang Seorang Wanita

Salma Safitri (ist)
Salma Safitri (ist)

BATU (SurabayaPost.id) – Pada Kamis 31 Agustus 2023 lalu, saya pulang ke rumah dari arah Jl. Panglima Sudirman, Batu, pada sekitar pukul 16.30 WIB. Saya melewati Desa Sumberejo, lalu menuju Dusun Kandangan dan Dusun Kapru Desa Gunungsari, Kecamatan Bumiaji.

Di Tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di Dusun Kandangan, segunung sampah dibakar menimbulkan asap pekat. Bahkan jarak pandang kendaraan terganggu akibat pekatnya asap pembakaran.

Siapa yang melakukannya? Petugas sampah lingkungan. Tentu, dia membakar karena hanya itu cara yang dia ketahui untuk menyelesaikan sampah tersebut. Apalagi sampah tidak terpilah semua.

Saat tiba di rumah, halaman depan dan samping rumah saya banyak asap. Sumber asap dari tetangga belakang yang bakar sampah segunung di halaman rumahnya.

Jika saya protes, akan jadi konflik dengan tetangga. Mereka juga bingung, mau dikemanakan sampahnya?

Situasi ini adalah salah satu dampak akibat Penutupan tempat pembuangan akhir (TPA) Tlekung yang secara mendadak dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Batu, terhitung 30-8-2023.

Berbagai pertanyaan muncul di benak saya pasca Pengumuman penutupan TPA Tlekung.

Apakah para Ketua RT dan RW sudah siap mengedukasi warganya memilah sampah serta mengelola sampah organik/non organik/Residu?

Bagaimana dengan kesiapan sarana dan prasarana pengelolaan sampah organik skala Rumah Tangga/RT/RW/Desa?

Bagaimana dengan upaya edukasi massif kepada semua orang untuk memilah dan mengolah sampah mulai dari rumah? Termasuk edukasi kepada puluhan ribu Turis lokal/mancanegara yang menjejali Kota Batu tiap pekan?

Sekolah anak saya di sebuah SMP Negeri sudah menutup kantinnya. Semua siswa diminta bawa bekal makanan dan Tumbler dari rumah. Jika bawa makanan yang berbungkus plastik, sampah plastiknya harus dibawa pulang.Tidak boleh ditinggal di sekolah.

Ini tentu baik karena anak anak makan sehat.

Namun bukan itu masalahnya. Sekolah harus memilah sampah organik, non organik dan menyelesaikan sampah secara mandiri. Sampah residu tetap tanggungjawab Pemkot Batu.

Penutupan TPA Tlekung secara mendadak tanpa kesiapan infrastruktur dan edukasi pemilahan sampah yang memadai, berpotensi menimbulkan chaos di masyarakat akar rumput.

Pada situasi ini,masyarakat hanya punya 2 pilihan:
a. Membakar sampah, atau
b. Membuangnya ke sungai.
Dua situasi yang sama buruknya.

Pembakaran sampah menimbulkan polusi udara dalan jangka pendek, jangka panjang Jumlah penderita Kanker Warga Batu akan meningkat karena asap pembakaran sampah (terutama plastik) bersifat karsinogenik.

Jika sampah dibuang di sungai, pencemaran dan rusaknya ekosistem sungai makin parah.Dampaknya tidak saja buruk bagi warga Batu, namun juga dirasakan oleh sedikitnya 15 Kab/Kota yang dialiri Sungai Brantas, sungai terpanjang di Jatim.

Diakui atau tidak, Pemkot Batu tidak memiliki Peta jalan yang jelas delam menangani sampah.Bertahun tahun program Dinas Lingkungan Hidup (DLH) bersifat Gimmick gimmick saja, tidak berani menyentuh akar masalah persampahan di Batu. Saat ini Dinas tersebut terlihat tak berdaya mengatasi masalah sampah

Ada banyak pegiat lingkungan dan ahli pengelolaan sampah di Batu. Para pegiat Forum Kota Batu Sehat dan Sabers Pungli sudah bertahun tahun memberi contoh pemilahan dan pengelolaan sampah di RT/RW masing masing.

Semoga DLH Kota Batu berbesar hati menerima ukuran tangan berbagai pihak yang punya niat ikut membantu mengatasi masalah sampah di Batu.
Termasuk duduk bersama membuat peta jalan pengelolaan sampah Kota Batu.

Bergerak bersama,
Wong mBatu Bisa….!!!!!

Salma Safitri
Warga Dusun Kapru
Desa Gunungsari, Kota Batu, Jawa Timur

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.