Gresik (SurabayaPost.id) — Perhatian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gresik terhadap nelayan mulai paket sembako, mesin perahu, hingga subsidi pupuk tambak masih selalu diingat oleh nelayan. Tapi akses tangkap menyempit, ekosistem rusak, dan nelayan tradisional kian terpinggirkan oleh proyek-proyek industri tidak terpikirkan pemerintah
Data yang dihimpun menunjukkan, Pemkab Gresik pada Maret 2025 menyalurkan 4,5 ton beras kepada nelayan Ujungpangkah yang tidak bisa melaut karena cuaca buruk. Sebelumnya, pada 2022, pemerintah juga menyalurkan 3.000 paket sembako di wilayah pesisir. Bahkan ratusan nelayan menerima bantuan mesin perahu berbahan bakar gas sebagai bagian dari program konversi BBM ke gas.
Namun, di balik seremonial bantuan itu, krisis laut Gresik justru semakin nyata. Kawasan pesisir yang dulu jadi sumber kehidupan nelayan kini berubah menjadi halaman depan industri. Ruang tangkap ikan dibatasi oleh pagar-pagar pabrik, dermaga, dan proyek investasi yang mengatasnamakan pembangunan.
Kasus pagar laut PT Sumber Mas Indah Plywood (SMIP) di perairan Karangkiring menjadi sorotan terbaru. Perusahaan tersebut memanfaatkan ruang laut tanpa izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Meski Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjatuhkan denda Rp290,2 juta, publik menilai sanksi itu tak sebanding dengan dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan.
“Nelayan kecil di Gresik sekarang hampir punah. Lautnya makin sempit, aksesnya dibatasi, dan mereka tidak punya posisi tawar. Negara seperti kehilangan keberpihakannya,” ujar Dr. Farikhah S.Pi., M.Pi., Pemerhati Lingkungan Hidup Pesisir Laut Gresik sekaligus Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Gresik, Kamis (23/10/2025).
Menurut Farikhah, lebih dari 90 persen nelayan di Gresik adalah nelayan tradisional dengan kapal di bawah 10 GT. Mereka hanya mampu melaut sejauh tiga mil dan sangat bergantung pada sumber daya laut sekitar. Ketika wilayah tangkap dialihfungsikan untuk industri, yang terancam bukan hanya penghasilan, tapi seluruh ekosistem sosial pesisir.
“Ketika laut dibatasi untuk industri, berarti pemerintah sedang memutus urat nadi ekonomi rakyat pesisir,” tegasnya.
Ia menilai pembangunan pesisir Gresik semakin berat sebelah. Kawasan industri tumbuh pesat, tapi kampung nelayan mati perlahan. Pemerintah daerah dinilai lebih sibuk menjaga kepercayaan investor ketimbang melindungi rakyat pesisir yang menjadi korban langsung.
“Negara seolah lebih takut kehilangan investor daripada kehilangan nelayan,” ujarnya.
Bantuan sembako, lanjut Farikhah, hanya menyentuh permukaan masalah. Nelayan tidak akan bertahan hidup dari karung beras atau paket bantuan, melainkan dari laut yang sehat dan terbuka untuk semua.
“Kalau pembangunan hanya memihak pada pemodal, maka yang punah bukan hanya ikan, tapi juga nelayan,” pungkasnya.
