Oleh : Prof. Daniel Mohammad Rosyid
Awal tahun 2019 yang lalu, Dr. Yudi Latief memberi tawshiyah dalam sebuah Executive Gathering di Kementrian Keuangan RI. Pesan terpentingnya adalah bahwa masa depan bangsa ini akan ditentukan oleh arsitektur kelembagaan yang berhasil dibangun bersama oleh bangsa ini. Fakta bahwa NKRI tidak mengalami balkanisasi di akhir abad 20, dan bertahan sebagai satu-satunya negara-bangsa di planet ini adalah sebuah prestasi yang sebagian disumbangkan oleh birokrasi yang tekun melakukan inovasi di tengah hiruk pikuk dinamika politik era reformasi. Catatan Kang Yudi menarik untuk dicermati bahwa AS, Jerman, Perancis dan RRC hingga saat ini gagal menjadi nation states, tapi tetap tinggal sebagai imperial states dimana warga negara dibedakan menjadi ellite, citizen and subjects berdasarkan ras, agama dan jenis kelamin. Untuk menjadi Presiden AS misalnya, dia harus pria berkulit putih, dan kristen, sampai Barrack Husein Obawa memecahkan mitos dan tahayul ini.
Catatan Kang Yudie ini penting karena dua hal. Pertama, ada kecenderungan dan gejala bahwa akibat gelombang reformasi yang telah mendeformasi arsitektur kelembagaan bangsa ini, birokrasi kita justru semakin tidak inovatif, korup, diskriminatif dan tidak melayani. Agenda reformasi gagal di sisi ini. Komisi Pemberantasan Korupsi boleh dikatakan gagal mewujudkan misi utamanya, yaitu membersihkan lembaga penegakan hukum. Hukum cenderung tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Yang menjadi praktek hukum saat ini bukan rule of law tapi rule by law di mana hukum dipakai sebagai senjata politik untuk mengkriminalisasi oposisi. Di sisi keuangan, kita makin terjerat hutang ribawi yang sebenarnya merupakan instrumen penjajahan nekolimik yang berlangsung memiskinan bangsa hingga saat ini.
Kedua, hemat saya, keberhasilan Indonesia untuk bertahan dari ancaman balkanisasi justru disebabkan oleh faktor Islam, namun ummat Islam justru diposisikan oleh Rezim saat ini sebagai penganggu Pancasila dan NKRI. Ini tidak saja keliru, tapi juga menyesatkan, jika tidak bisa disebut fitnah besar atas ummat Islam Indonesia. Islam memberikan semua nilai yang dibutuhkan bagi keutuhan negara-bangsa yang disebut NKRI yang berpijak pada Pancasila dan rancangan dasarnya dirumuskan dalam Pembukaan UUD45 sebagai doa bersama bangsa ini. Menuduh Islam sebagai kerikil dalam sepatu NKRI adalah tuduhan yang sangat menyakitkan bagi ummat Islam sebagai stakeholders terbesar bangsa ini. Apalagi jika tuduhan itu disuarakan keras sekali oleh minoritas ganda bangsa ini : kelompok china kristen dan kelomppok neo-komunis lalu diamini oleh pribumi abangan.
Sayang sekali narasi ini yang sekarang menguat dalam kontestasi politik saat ini. Jika ini tidak diwaspadai, dan ummat Islam semakin tersudut, bukan tidak mungkin terjadi konflik terbuka yang luas yang akan merugikan semua pihak, kecuali pihak-pihak yang memang menginginkan kegagalan dan keruntuhan NKRI. Jika mainstream media, ormas Islam dan tokoh-tokohnya serta institusi-institusi negara bisa dibeli dan dibungkam, maka ummat Islam tidak. Begitu peringatan Cak Nun.
Prapen, 12/3/2019.
Leave a Reply