Oleh
Suparto Wijoyo, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
“…sin wastasuna tusta citta rikanan pradesa winanum …” “… lin nika muka papa sinunan sukha kadi tan i rat…”. (Nagara Krtagama, 1365)
GEMPA Mamuju dan Majene Sulbar yang susul-menyusul 14-16 Januari 2021, banjir di Kalsel tertanggal 15 Januari 2021 dan longsor di Sumedang 9 Januari 2021, kian mengguncang derita sosial ekonomi bangsa akibat pandemi Covid-19. Ditambah lagi Gunung Semeru erupsi. Awan panas Semeru meluncur seru pada Sabtu sore, 16 Januari 2021 sepanjang 4,5 kilometer ke arah Desa Curah Kobokan Lumajang. Awal tahun 2021 ini memang diwarnai bencana. Sampai 16 Januari 2021, BNPB mendata terjadinya 136 bencana alam dengan korban jiwa dan harta benda tidak terperikan. Peristiwa ini memberikan keperihan yang merintihkan batin publik, apalagi dalam suasana pelaksanaan PPKM di bumi Jawa Bali. Duka itu amat memukul “ruhani umat” jua dengan berpulangnya para ulama mumpuni negeri ini.
Sebagaimana diketahui bahwa dari 11-25 Januari 2021 diterapkan PPKM (Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Jawa Bali. Sebuah terminologi yang memuai dengan menampik istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Kedua singkatan itu tetap mengeja adanya relasi sosial yang berjarak (social distancing). Khalayak dibuat tersekat akibat Covid-19 yang semakin berbakat (ada varian baru Covid-19). Pola hubungan dan komunikasi berubah dengan menepikan raga sambil membuka ruas jalanan agar lengang demi “serdadu corona” lewat tanpa kemacetan. PPKM membuat areal publik “menyelimuti diri” dari “hangatnya corona” (coronapolis). Sesuai Inmendagri No. 1 Tahun 2021, aktivitas masyarakat disortir: pekerja 75% WFH, pendidikan online, tempat ibadah 50% dari kapasitas, fasilitas perdagangan hanya buka sampai pukul 19.00. Lahirlah Coronapolis Kebijakan PPKM sesungguhnya mengkonfirmasi bahwa negara tidak hendak menyerah meski kelabakan menghadapi pandemi Covid-19.
Coronapolis telah tercipta sebagai produk pagebluk Covid-19. Secara historis menambahkan pula pemahaman bahwa sebuah kota dapat lahir dari peristiwa-peristiwa wabah. Esok hari coronapolis mewarnai referensi perkotaan. Polis sebagai kota tentu saja berbeda dengan polis asuransi apapun jenisnya. Kota yang tampak marak dalam skala “wilayah, penduduk dan keramaian” lazim disebut metropolis. Metropolis kerap bermetamorfosis menjadi megapolitan, lantas menghantarkan diri di panggung cosmopolitan.
Perspektif klimatologis mengunggah pula kota yang dinamakan climatopolis menurut Matthew E. Kahn (2010). Dalam rentang peradaban evolusi manusia terhelat jua cosmosapiens seperti yang dilansir John Hans (2015). Konstalasi ini membawa serta pengambil kebijakan untuk segera mawas diri. Megapolitan bisa bergeser menjadi megapolutan dalam rumpun industrialisasi. Pelajarilah bahwa kota-kota metropolitan sering akrobat menjadi nekropolitan alias “kota kematian”. Pandemi ini telah menggiring warga membeli tiket pemakaman apabila negara tidak membubarkan kerumunan. Kota nekropolitan tak ubahnya bandul “lonceng berkabung” bagi warga yang abai protokol kesehatan. Langkah hukum akhirnya diambil dengan PSBB-PPKM agar warga negara mendapatkan hak konstitusionalnya berupa kehidupan yang sehat berdasarkan Pasal 28H UUD 1945.
Amanat Konstitusi PPKM dapat dibaca sebagai upaya konstitusional menjamin hak atas hidup sehat dalam koridor UUD 1945. Pandemi Covid-19 seyogianya menyadarkan agar pembelajaran hukum tidak berotasi linier tanpa diskursus multidisplin. Hukum tidak patut mengabaikan nalar sosialnya (“social reasonableness”). Aspek yuridis PPKM meneguhkan regulasi berorientasi sebagai bagian utama “humanistic studies”. Simak dan saksikanlah penegakan hukum di kala pandemi Covid-19 ini. Para ahli hukum tidak elok apabila hanya asyik dengan jargon-jargon dogmatiek: “hukum harus ditegakkan walau langit akan runtuh”.
Siapa yang melanggar PPKM harus dihukum dengan indikator konteks sosial yang maton. Penerapan sanksi kepada pelanggar prokes harus dibarengi kesediaan kebutuhan hidup oleh negara. Vaksinasi yang dipergilirkan merupakan cahaya kehidupan, apalagi dengan dukungan fatwa halal dari MUI segala. Hanya saja kejanggalan demi kejanggalan terus bergulir menjadi keganjilan. Di gedung-gedung pemerintahan ramai dibicarakan tentang PPKM yang efektif, padahal kepala daerah punya gaya sendiri-sendiri. Terdapat pula pemandangan yang menggangu mata rakyat. Ada korupsi dana bansos besar-besaran, lonjakan angka kemiskinan akibat PHK, pengangguran yang menggelombang, aksi mafia tahu tempe, gelandangan, penggusuran, dan bencana hidrometeorologi yang berkelanjutan. Penerapan sanksi PPKM harus menjamin kesehatan publik.
Atas kondisi ini saya menikmati elegi pada novel A Confession karya Leo Tolstoy yang terbit 1882. Dia merilis: “Menjadi jelas untuk mengatakan, di ruang dan waktu tanpa batas, semuanya berkembang menjadi lebih sempurna dan semakin sempurna adalah berbeda”. Perlu perbedaan perlakuan meski di zona PPKM yang sama karena berlainan kondisinya.
Ingatlah Ketaatan Don Quixote
Dalam hal ini saya pun terhanyut dalam kebenaran yang diunggah oleh Don Quixote, tokoh sentral dalam novel besutan penyair top Spanyol, Miguel de Cervantes Saavedra (1547-1616). Don Kisot merupakan cerita kesatria kesiangan yang mampu menyihir pembacanya untuk percaya kepada seluruh imajinasinya. Jadi dia hanya berimajinasi seolah dirinya kesatria sejati. Novel Don Quixote de la Mancha seperti kitab yang membius dunia dan telah dibaca ratusan juta atau kini bermilyar khalayak sejak terbit perdana tahun 1605. Don Quixote seolah berkhotbah dengan penuh wibawa: “Kau tahu apa tentang kesatria dan prajurit? Bagi seseorang yang mematuhi hukum kesatriaan tak perlu memperhatikan hukum yang lain”.
Jadi siapa saja yang memanggul nilai kesatria sedasar dengan PPKM ini tidaklah perlu berdebat lagi soal Covid-19 maupun kehalalan vaksin. Tidak pula terhadap atribut sanksi yang melekat pada kebijakan PPKM. Seluruh elemen bangsa harus ambil bagian untuk segera menyirnakan Covid-19 secara serentak. Langkah ini diambil karena jangan mengira bahwa seluruh penduduk telah menyadarinya. Adakah PPKM ini akan jitu hasilnya? Saya mengajak mengeja kembali keluhuran tata kelola negara. Tugas utama negara yang telah dituangkan dalam UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sangatlah komprehensif dengan pesan moral hukum yang paripurna. Jiwa kebatinan itu selaksa endapkan nilai-nilai pada PPKM. Berpikir positif saja senafas dengan pesan Nagara Krtagama karya suprematif Mpu Prapanca (1365) yang tertera di awal tulisan. Makna narasi itu adalah “agar penguasa memiliki darma menyelenggarakan pembahagiaan hati rakyatnya, agar mereka dapat berkata: hilanglah segala kesedihan karena dianugrahi kesejahteraan oleh Sang Raja”. Meski demikian, bagi rakyat vaksinasi adalah kado yang diliputi tanda tanya di kala pandemi, tetapi penyemangat duka cita jua saat bencana.
Leave a Reply