Oleh : Prof. Daniel M. Rosyid PhD, M.RINA
Dulu saat berjaya, NOKIA dengan slogan-nya connecting people sesungguhnya telah menyihir manusia bahwa gadget memang menghubungkan manusia. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah gadget hanya menghubungkan yang jauh, tapi justru menjauhkan yang dekat. Artinya, sesungguhnya gadget adalah instrumen yang telah berhasil secara perlahan tapi pasti disconnecting people.
Hemat saya, rupanya kedatangan teknologi gadget itu hanya pemanasan bagi sebuah masyarakat baru yang semakin kehilangan aspek-aspek kemanusiaan kita sebagai makhluq sosial. Dengan teror Covid-19 kita mulai mempersiapkan diri memasuki dunia yang socially distant melalui 2 cara : menjaga jarak fisikal dan menutup wajah kita dengan masker. Bahkan 2 protokol Covid-19 itu dipaksakan berlaku di tempat-tempat ibadah. Wajah adalah instrumen sosial yang penting, terutama sebagai platform komunikasi antar-manusia. Dua wajah bermasker berjarak 2 meter adalah komunikasi yang cacat sejak awal.
Perlu dicermati bahwa kedua protokol WHO itu juga berpotensi membegal prinsip-prinsip konstitusional kita sebagai bangsa untuk bersatu, berdaulat, adil dan makmur, yang rela mengabaikan semua keunikan kita sebagai suku, dan pemeluk agama. Oksigen bagi semua organisasi, termasuk bernegara adalah komunikasi yang sehat. Bahkan tujuan bernegara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut serta dalam ketertiban dunia akan memperoleh hambatan komunikasi yang serius melalui protokol WHO ini.
Suatu saat Sayidina Ali mengatakan bahwa dosa terbesar adalah rasa takut. Ketakutan itu adalah musuh terbesar bagi jiwa yang merdeka yang menjadi syarat bagi manusia sebagai khaalifah. Padahal di atas jiwa yang merdeka itu kita boleh membangun sikap jujur, amanah, peduli dan cerdas sebagai basis bagi pertanggungjawaban. Asumsi protokol menjaga jarak dan bermasker itu adalah bahwa semua manusia adalah Orang Tanpa Gejala (OTG), penular virus. Orang jadi ketakutan berkerumun, berjamaah, bertamu, berjabatan tangan, berpelukan yang mengekspresikan hal-hal paling manusiawi dari spesies homo sapiens ini. Teror ini telah berhasil mereduksi manusia menjadi satuan2 biokimia inang virus berbahaya.
Saya mengajak sesama warga negara untuk mencermati perkembangan-perkembangan mutakhir ini. Sudah cukup jelas bahwa kehidupan kita yang hedonis, konsumtif, merusak dan ribawi sebelum teror ini adalah abnormal, maka jika kedua protokol social distancing ini kita terima begitu saja dalam cara hidup kita sehari-hari, maka kita akan terperosok ke dalam kehidupan yang semakin jauh dari normal yang kehilangan keakraban antar-sesama yang menjadi sumber bagi kepedulian, kecerdasan dan kesejahteraan sosial bagi semua.
Rosyid College of Arts
Gunung Anyar, Surabaya, 7/6/2020
Leave a Reply