Oleh: _*Yunanto*_
Bagaikan pertumbuhan jamur saat musim hujan. Begitulah pertumbuhan media siber. Tak pelak Dewan Pers berpotensi kebanjiran pengaduan. Hal itu terjadi bila pertumbuhan media siber tidak diimbangi peningkatan mutu SDM jurnalisnya.
Wajar diprediksi, terjadi peningkatan jumlah Pengadu ke Dewan Pers. Maka meningkat pula jumlah Teradu dari pihak media siber. Ekornya, “produksi” Dewan Pers berupa surat bertajuk “Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers” (PRDP) meningkat jumlahnya.
Bila PRDP membuahkan kesepakatan atau kesepahaman antara pihak Pengadu dengan Teradu, kerja Dewan Pers pun masih berlanjut. Menerbitkan keputusan per surat bertajuk “Surat Keputusan Akhir”.
Sebaliknya, jika PRDP tidak membuahkan kesepakatan atau kesepahaman antar-para pihak (Pengadu dan Teradu), Dewan Pers juga masih melanjutkan dengan menggelar pertemuan mediasi.
Bila mediasi buntu, karena para pihak bersikukuh pada pendirian masing-masing, barulah masuk ke ranah hukum. Penyidik (polisi) memulai tugas pokok dan fungsinya sebagai penegak hukum (Pasal 13, ayat 2, UU RI No. 2/ Tahun 2002 tentang Polri).
PRDP tersebut merupakan buah manis bagi insan pers. Lahir dari “rahim” Nota Kesepahaman (MoU) antara Kapolri dengan Dewan Pers. “Ruh” MoU itu, agar tidak terjadi lagi kriminalisasi terhadap insan pers.
*Amanat KEJ*
Jagat publikasi di media siber saya tapaki setiap hari. Lewat grup-grup WA maupun jaringan pribadi. Khusus perihal keberimbangan pemberitaan, masih ada beberapa media siber yang tidak cermat. Melanggar etika keberimbangan pemberitaan yang diamanatkan oleh Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Keberimbangan pemberitaan bukan semata-mata soal kaidah konfirmasi. Bukan pula soal pencermatan ulang (check and recheck) agar pemberitaan proporsional. Lebih dari itu, keberimbangan pemberitaan menunjukkan harkat dan martabat media siber yang bersangkutan. Akhirnya, memantulkan bobot mutu Sang Jurnalis yang mewartakannya.
Layak disimak idahnya amanat KEJ ihwal keberimbangan pemberitaan. Tertera jelas dan lugas di Pasal 3 KEJ. Selengkapnya:
“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tidak bersalah.”
Makna kata demi kata dalam Pasal 3 KEJ tersebut mudah dipahami. Bahkan melahirkan tafsir yang enak dibaca. Sebut saja tafsir ihwal “menguji informasi”. Maknanya, melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi.
Begitu pun tafsir perihal “berimbang”. Bermakna memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
Berikutnya, “opini yang menghakimi” adalah pendapat pribadi wartawan. Hal tersebut berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
Terakhir, “asas praduga tidak bersalah” adalah prinsip tidak menghakimi seseorang, kelompok atau pun institusi.
*”Gagal Paham”*
Hingga kini masih saja ada beberapa media siber yang tidak mengindahkan keberimbangan pemberitaan. Bahkan berkecenderungan menghakimi.
PRDP yang diterbitkan Dewan Pers menyiratkan dominasi pelanggaran atas Pasal 3 KEJ. Ujung-ujungnya menukik ke hukum positif, yaitu UU RI No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Lazim menukik ke Pasal 5, (ayat 2), UU Pers. Pasal ini mengatur ihwal Hak Jawab yang wajib dipenuhi pihak pers.
Bila pihak pers abai atas Pasal 5, (ayat 2), UU Pers, maka berpotensi besar terjerembab pada Pasal 18, (ayat 2), UU Pers. Ancaman sanksi pidananya berupa denda. Maksimal Rp 500 juta. Dijatuhkan pada pihak media siber yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah.
Boleh jadi tidak cukup hanya hukum positif tersebut. Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga sangat mungkin dibidikkan. Maklum, media siber “lengket” dengan UU ITE. “Peluru” yang ditembakkan lazimnya seputar Pasal 27, 28, dan Pasal 45 yang mengatur sanksi pidananya: penjara!
Sangat mungkin semua itu terjadi karena pihak jurnalis atau redaksinya “gagal paham” dalam hal memaknai kedudukan hukum elemen who (siapa).
Kesalahannya, menganggap elemen who yang memiliki hak atas keseimbangan pemberitaan hanya manusia. Padahal tidak demikian. Elemen “who” personifikasi (bukan manusia dianggap seolah-olah manusia) juga punya hak atas keberimbangan pemberitaan dan nama baik.
“Who” personifikasi dimaksud adalah institusi atau lembaga. Contoh, Pemerintah Indonesia pun bisa menjadi elemen “who” personifikasi dalam kalimat: “Pemerintah Indonesia (“who” personifikasi) mendukung penuh gencatan senjata (what), di Jalur Gaza (where)”.
Jelaslah institusi atau lembaga sebagai “who” personifikasi punya hak atas keberimbangan
pemberitaan yang menyangkut-pautkan nama institusinya secara jelas. Bukan berupa akronim (singkatan).
Konfirmasi wajib dilakukan kepada pimpinan atau pihak yang berwenang dalam institusi dimaksud. Pihak berwenang itulah yang memberikan konfirmasi untuk dan atas nama “who” personifikasi.
“Gagal paham” atas KEJ dan sejumlah produk hukum positif yang terkait dengan eksistensi pers, masih memprihatinkan hingga kini. Solusinya, harus ada langkah konkret meningkatkan mutu SDM jurnalis media siber. Hanya itu solusi yang rasional dan faktual. ( * )
#Yunanto adalah wartawan senior
Leave a Reply