Kendalikan Inflasi, BI Beri Pelatihan pada Para Stakeholder

Wagub Jatim Emil Elestianto Dardak (dua dari kana) saat berbincang dengan Kepala BI Jatim, Difi Ahmad Johansyah (kiri) bersama Walikota Sutiaji dan Kepala BI Perwakilan Malang Azka Subhan Aminurridho.
Wagub Jatim Emil Elestianto Dardak (dua dari kana) saat berbincang dengan Kepala BI Jatim, Difi Ahmad Johansyah (kiri) bersama Walikota Sutiaji dan Kepala BI Perwakilan Malang Azka Subhan Aminurridho.

MALANG  (SurabayaPost.id) – Untuk mengendalikan inflasi bukan hanya tanggung jawab Bank Indonesia (BI).  Untuk itu Kantor Perwakilan BI Malang menggelar pelatihan pengendalian inflasi pada para stakeholder di Hotel Aria Gajayana Malang sejak Senin (4/3/2019) hingga Selasa (5/3/2019).

Makanya,  pelatihan bertajuk Capacity Building Penyusunan Roadmap Pengendalian Inflasi 2019-2021 itu diikuti anggota Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di wilayah kerja BI Malang. Hadir dalam pembukaan acara tersebut  Wakil Gubernur Jawa Timur, Dr H Emil Elestianto Dardak, M.Sc, Walikota Malang, Drs. Sutiaji, dan Kepala Perwakilan BI Provinsi Jawa Timur, Difi Ahmad Johansyah.

“Capacity Building TPID ini dilaksanakan sebagai wujud komitmen untuk terus menjaga inflasi tetap rendah dan stabil. Itu umtuk menopang momentum pertumbuhan ekonomi,” kata Kepala BI Jatim, Difi Ahmad Johansyah yang diamini Kepala BI Perwakilan Malang Azka Subhan Aminurridho, Senin (4/3/2019).

Menurut  dia koordinasi dan sinergi Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur membuahkan hasil sesuai harapan. Sebab, inflasi Jawa Timur selama tahun 2018 lebih rendah dibandingkan inflasi nasional.

“Hal tersebut didorong oleh capaian inflasi bulanan Jatim yang relatif lebih rendah dibandingkan nasional. Namun fluktuasi inflasi Jatim sedikit lebih tinggi. Itu  yang menjadi PR kita,” ujar Difi Ahmad Johansyah.

Dijrlaskan dia bila berdasarkan disagregasinya, tren penurunan inflasi Jatim didukung oleh terjaganya inflasi inti serta penurunan tekanan inflasi administered prices dan volatile food antar waktu. Sehingga core inflation cenderung stabil pada kisaran 2,5 hingga 3,9 persen (yoy).

Makanya,  isu pengendalian inflasi di Jatim kata dia,  lebih fokus pada penanganan inflasi komoditas volatile foods dan administered price meskipun tekanannya cenderung turun.

Dijrlaskan dia, jika capaian inflasi terkini Jatim menunjukkan tren positif di awal tahun 2019. Pada Februari 2019, deflasi Jatim sebesar 0,18 persen atau lebih dalam dibandingkan nasional dengan persentase 0.08 persen.

Hal itu kata dia berkaitan dengan Jatim sebagai lumbung pangan nasional. Sehingga penurunan harga akibat surplus produksi dirasakan Provinsi Jawa Timur terlebih dahulu sebagai sentra produksi.

Menurut dia, dari 8 Kota IHK di Jatim, deflasi bulan Februari terdalam terjadi di Kota Malang sebesar 0,42 persen. “Itu karena harga tiket pesawat yang fluktuatif, selain cabe, tomat dan bawang putih,” jelasnya.

Berdasarkan kondisi harga tiket  tersebut, Wagub Jatim, Emil Elestianto Dardak meminta agar maskapai penerbangan menerapkan  harga tiket pesawat yang kompetitif. “Kami sudah koordinasi soal tiket itu agar kompetitif,” kata dia.

Selain itu, Wagub bergelar doktor dari Amerika Serikat ini, mengingatkan agar supply dan demam harus dimanage, serta antar petani harus terkoneksi.

“Harapannya agar harga terpantau terus. Informasi terbuka. Tim saling berkomunikasi. Sehingga keterjangkauan harga, pasokan, distribusi dan komunikasi berjalan dengan baik,” paparnya.

Untuk itu dia memberikan apresiasi terhadap pelatihan pengendalian inflasi pada para stakeholder. Sebab, dia optimistis upaya itu akan mampu memberikan dampak positif terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Dampak dari upaya pengendalian  inflasi itu memang sangat terasa. Sebab, menurut Difi Ahmad Johansyah, roadmap inflasi Jawa Timur 2015 – 2018  telah terimplementasi dengan bai. Diperuntukkan bukti 3pencapaian inflasi yang sesuai dengan target nasional yaitu 4 persen ±1 persen (tahun 2015 – 2017) dan 3,5 persen ±1 persen (tahun 2018).

“Berbagai program telah kami jalankan untuk mendukung pencapaian inflasi, di antaranya penguatan kelembagaan petani, program stabilisasi harga baik melalui pasar murah maupun Operasi Pasar Mandiri, program kerja sama antar daerah dan program hulu-hilir, program angkutan mudik gratis, peningkatan akses informasi dan lain sebagainya,” urai Difi.

Lebih lanjut, Difi menyampaikan kepada seluruh peserta Capacity Building TPID untuk tidak berpuas diri, kabtaran masih banyak tantangan yang harus dihadapi dan perlu solusi demi menjaga tercapainya stabilitas inflasi.

Tantangan yang dimaksud adalah Volatilitas harga komoditas bahan makanan yang masih tinggi, yang menunjukkan tingkat kerentanan harga terhadap shock semakin meningkat baik supply maupun demand. Faktor siklikal komoditas pangan strategis (aneka bawang, aneka cabai, daging dan telur ayam ras) masih kuat. Disparitas harga antar provinsi dan nasional masih tinggi.

“Harga komoditas strategis Jatim relatif terjaga pada level rendah, sehingga terjadi disparitas harga antar kawasan. Hal ini berpotensi menyebabkan aliran barang keluar dari Jatim (outflow komoditas) cukup tinggi, khususnya ke wilayah yang masuk dalam kategori defisit komoditas,” tegasnya.

Sebagai lumbung pangan nasional, tingkat produksi komoditas pertanian penyumbang inflasi Jatim tergolong cukup tinggi. Namun demikian tingkat inflasi masih cukup tinggi dan menjadi pendorong tekanan inflasi.
Margin harga komoditas pangan strategis masih tinggi dan mempengaruhi perdagangan antar daerah Jatim, walaupun Jatim merupakan sentra produksi serta hub perdagangan antar daerah Jawa dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI), sehingga memberikan tekanan inflasi, baik di Provinsi Jawa Timur sendiri maupun mitra dagang dalam negeri.

“Tingginya harga didorong oleh beberapa faktor seperti kondisi transportasi yang digunakan, fasilitas dan biaya sewa pergudangan, serta kondisi infrastruktur pendukung perdagangan Jatim,” jelas Difi.

Panjangnya rantai distribusi komoditas pangan strategis. Berdasarkan hasil riset, distribusi beberapa komoditas penyumbang inflasi volatile food Jawa Timur yakni bawang merah dan daging sapi menunjukkan bahwa rantai distribusi menjadi faktor lainnya yang mendorong adanya disparitas harga produsen dengan konsumen. Pada contoh kasus bawang merah dan daging sapi, ada enam pihak sebelum hasil produksi sampai ke konsumen.

“Tantangan berikutnya yang sulit adalah pergerakan harga tarif angkutan yang masih susah diintervensi, baik angkutan darat, kereta api maupun pesawat udara,” tandasnya.

Karena itu, Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jatim akan terus memperkuat sinergitas untuk mengatasi tantangan struktural pengendalian inflasi di Jatim. Sehingga  target tahun 2019 – 2021 sebesar 3,5 persen ±1 persen (tahun 2019) dan 3,0 persen ±1 persen (tahun 202 – 2021) tercapai dengan baik.  (aji)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.