Oleh Anwar Hudijono#
Istilah new normal menjadi trending topic. Entah dari sisi teoritisnya. Sisi praktiknya. Sisi keseriusannya. Sampai sisi prank dan kebadutannya. Pokoknya segala sisi. Komplit sudah layaknya martabak pakai telor bebek, daging dan jamur.
Semakin menggelinding di ranah publik bak batu bulat jatuh dari bukit, new normal semakin kontroversial.
Mengapa? Pertama, new normal tidak dikenal dalam khazanah tata hukum kenegaraan kita. Silakan disimak cermat-cermat Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Kebencanaan. Buka lebar-lebar Perpres nomor 17 tahun 2018 yang mengatur soal kebencanaan. Tidak akan ditemukan istilah new normal.
Kendati demikian oleh sebagian pemimpin pemerintahan new normal ini dijadikan acuan kebijakan dalam menangani Covid-19. Hal ini menjadi kontroversi karena ketika masyarakat menawarkan lockdown, pemerintah menolak dengan dalih tidak ada dalam tata perundangan Indonesia.
Ada sikap ambigu atau mendua. Menolak lockdown tetapi menerima new normal. Padahal, kedua istilah itu beserta seluruh anatominya sama-sama lahir dari rahim WHO. Artinya ada inkonsistensi dalam pola pikir sebagian pemimpin pemerintahan.
Kontroversi kedua, pemahaman dan persepsi terhadap new normal di banyak kalangan juga bermacam-macam. Tidak sedikit yang memahami new normal secara ngglundung semprong alias ikut-ikutan.
Pejabat atasnya bilang new normal itu begini, semua aparat di bawahnya langsung ngombyongi seperti padi yang roboh diterjang angin. Entah paham apa tidak, yang penting untuk menunjukkan loyalitas.
Mungkin memang sudah baca konsep new normal menurut WHO. Tetapi mungkin juga belum pernah baca. Tahu sedikit new normal dari grup WA. Bisa juga sudah baca secara tekstual tetapi gagal paham secara kontekstual. Ibarat tahu bahwa khitan itu hanya persoalan dipotong kulupnya. Tidak paham makna dan syar’iyah khitan.
PINTU TOILET
Yang terjadi, melakukan kebijakan transisi new normal atau bahkan new normal tatapi lekang dari 6 syarat WHO. Misalnya soal reproduksi dan status kurva pandemic dan syarat lain.
Contoh, menelorkan kebijakan transisi new normal atau new normal di saat kurva masih tinggi, bahkan statusnya hitam. Ibarat keburu ndodok padahal pintu toilet belum dibuka. Ya gubrat semualah.
Jika di kalangan para pemimpin bermacam-macam pemahaman tentang new normal. Banyak juga yang gagal paham. Untuk itu bisa dibayangkan bagaimana di kalangan masyarakat awam.
Memang arus besar pemahaman masyarakat awam bahwa new nomal itu berarti kembali kepada pola kehidupan pra pandemi Covid-19. Kembali bebas. Tak perlu maskeran. Kembali cangkruk kopi. New normal itu dianggap layaknya Lebaran setelah sebulan berpuasa.
Mereka tidak sadar bahwa eforia menyambut new normal itu hanya layaknya mokel di tengah hari saat puasa. Maka ketika ditertibkan seperti saat PSBB, ada yang kaget. Tidak merasa melanggar aturan PSBB atau apapun namanya. Wong sudah era new normal.
ROLLER COASTER BERHANTU
Muaranya terkesan, penanganan pandemic Covid-19 semakin lama semakin ruwet. Semakin membingungkan. Semakin seru dan heboh. Semakin membuat miris. Tapi juga terlalu banyak drama, entah horor, tragedi, action maupun komedi.
Seolah masyarakat diajak naik roller coaster berhantu. Memang bergerak tapi cuma muter-muter. Dibayangi hantu-hantu yang hendak menggelundungkan penumpang roller coaster.
Kesan itu didasarkan pada jumlah positif Covid-19 cenderung naik. Jumlah yang sembuh dengan jumlah penderita baru tidak seimbang. Semakin ngeri karena jumlah dokter dan tenaga medis yang terpapar semakin banyak. Bayangkan jika tenaga medis nanti sudah tidak sanggup lagi. Minimal tidak bisa menangani secara full.
Ditambah perdebatan silang sengkarut di kalangan elite. Buzzer yang kian merajalela. Kegaduhan yang kian riuh layaknya kandang burung parkit yang ditambahi sekawanan betet, pendet, kutilang dan rangkok.
Sampai-sampai ada tuduhan memang masyarakat ini dibiarkan masuk herd immunity. Inti herd immunity itu, setiap orang dibiarkan memperkuat daya tahan tubuhya. Jika kuat lanjut hidup, jika tidak kuat ke liang kubur. Ngeri kan.
NYAWA RAKYAT
Untuk itu, setelah hampir 4 bulan virus asal Cina ini mewabah, sudah saatnya dilakukan evaluasi secara menyeluruh dan jujur.
Salah satu yang layak dipertimbangkan adalah kembali kepada aturan perundangan yang sudah ada. Kesampingkan pendapat bahwa aturan perundangan itu produk rejim lama. Ini menyangkut nyawa rakyat Indonesia. Tumpah darah Indonesia.
Dalam menetapkan status dan tingkat bencana, kita gunakan saja siaga darurat, tanggap darurat dan darurat pemulihan sesuai UU no 24 tahun 2007 tentang kebencanaan. Kalau misalnya perlu improvisasi, kita gunakan standar status dan tingkat bencana alam gunung berapi atau banjir seperti waspada, siaga 1 sampai 4, awas, normal. Gunakan intilah rehabilitasi dan rekonstruksi.
Buat skenario karantina wilayah. Gunakan data spasial keruangan. Ini akan lebih efisien. Jika hanya satu kelurahan yang terjangkiti, mengapa semua kelurahan harus dibuat status PSBB atau tanggap darurat. Jika yang merah hanya satu kecamatan mengapa kecamatan lain harus disamakan. Model gradakan, gebyah uyah harus ditinggalkan.
Ibarat menangani kebakaran hutan. Jika areal yang terbakar hanya seratus hektar mengapa harus semua disiram hujan buatan. Jika ada sepetak sawah yang terserang wereng, mengapa harus seluruhnya disemprot antiwereng. Di suatu kawasan tidak ada Covid-19, mengapa seluruh kawasan disemprot desinfektan. Maka tidak berlebihan kalau ada yang menganggap model penanganan pandemik ini tidak efisien dan efektif.
Jika kita kosisten aturan perundangan yang sudah ada, masyarakat tidak perlu dibuat bingung dengan istilah-istilah yang ganjil. Tidak dibuat gak jelas dengan kebijakan yang tidak konsisten layaknya genangan air di daun keladi.
Melindungi masyarakat dari ketakutan. Kecemasan. Kebingungan. Ketidakpastian. Ketidakpahaman, adalah bagian dari tanggap darurat Covid-19. Allahu a’lam bis-shawab.
#Anwar Hudijono, independent columnist.
Leave a Reply