Memaknai Keberkahan Bisnis dan Rejeki

 

Oleh : Yusron Aminullah

Sesak Dada Lihat Orang Pamerkan Rezeki

Sedang agak bingung mendefinisikan keberkahan. Karena sudut pandang kita terbatas. Pengetahuan kita minim, apalagi memvonis berkah dan tidak itu bukan wilayah manusia.

Lebih-lebih lagi ukuran keberhasilan hanyalah finansial dan pandangan mata sempit manusia, tentu subyektifitas menjadi patokannya.

Kami yang tiap hari ke desa, melihat para pekerja kebun berkeringat peluh, senyum mengurai, dan sore hari kembali ke rumah dengan membawa oleh-oleh rumput untuk domba, ikut merasakan, betapa bahagianya mereka. Anak dan istrinya menyambut gembira ketika sang bapak pulang. Mandi, santai sejenak kemudian ajak anak istrinya ke Masjid untuk sholat maghrib berjamaah. Kami menyebut mereka berhasil bisnis dengan manusia juga dengan Allah.

Sebaliknya karena sebagai manusia modern yang tidak lepas dari gadget dan televisi, kadang sesak nafas rasanya, saat menyaksikan ada artis yang tiap hari memamerkan rezeki, pamer mobil dan rumah mewahnya yang dipertontonkan televisi keseluruh negeri, ditengah banyak saudara kita makan saja susah.

Kita juga saksikan wajah yang lain. Banyak orang sukses berhasil menjadi kaya raya. Hartanya melimpah, tetapi saat pulang kerja, boleh jadi anak istrinya sedang tidak ada di rumah, karena sibuk arisan atau pesta dengan kawan-kawannya. Sehingga hadir dengan kehambaan, tanpa penyambutan kegembiraan.

Tapi saya juga pernah saksikan adegan indah yang lain, sosok bapak yang sukses, profesinya maju, hidupnya bersahaja, dan paham keindahan menata keluarga. Sebagaimana tukang kebun di desa tadi, meski sukses secara finansial, tetapi ia tetap disambut dengan “upacara” kegembiraan saat pulang.

Kalaupun karena teknis dan problema kemacetan, bisa jadi tidak setiap maghrib mampu berjamaah. Tapi masih ada isya dan subuh, gandeng anak istrinya ke masjid. Ini kebahagiaan lain yang sering kita saksikan.

Lantas dimana letak bisnis keberkahan ? Empat pemandangan anak manusia diatas adalah gambaran keberkahan. Ada 3 catatan terkait tema ini :

1. Bahwa rejeki itu relatif. Ukuran obyektivitas harus menggunakan sudut pandang beragam.

Contoh pekerja kebun berpenghasilan Rp 80 ribu/hari, tapi ia bahagia, disambut dengan bak pahlawan keluarga saat pulang kerja, adalah contoh kongkrit keberkahan. Ia bahagia, keluarg bahagia, ia bisa berdialog, mengabsi pada Allah bersama keluarganya, adalah contoh sebuah keseimbangan.

Tapi apakah itu keberhan bisnis ? Lagi lagi subyektifitas.

2. Contoh kedua, bermewah-mewah ditengah kondisi keprihatinan adalah tontonan tidak menarik tentang bisnis keberkahan. Boleh jadi mereka bahagia, bahkan mungkin super bahagia menurut versi mereka.

Demikian juga contoh bapak sukses kaya raya yang pulang kerja tidak disambut anak istri karena semua sibuk menghabiskan uang, tidak boleh kita sebut mereka kurang bahagia. Mungkin itulah versi kebahagiaan mereka. Resiko modernitas.

Tapi sudut pandang saya mungkin salah. Namun, kalau boleh disebut dalam kacamata keberkahan, bisnis mereka tipis keberkahannya. Manfaat hidupnya untuk banyak orang kurang.

Meski karena keterbatasan mata manusia, kita mungkin salah. Siapa tahu dibalik kekayaan melimpah mereka, ada keberkahan juga. Siapa tahu diakhir hidupnya ia ingin menjadi Abdurrahman bin Auf (seri ke 3 besok kita kupas). Semua hanya Allah yang tahu. Manusia tidak berhak menghakimi kecuali mendoakan.

3. Pada contoh berikutnya, ada kalangan bisnis, pekerja profesional sesuai profesi masing-masing tapi pulang disambut kebahagiaan anak dan istrinya. Bahkan ada keseimbangan hidup karena masih ajak anak istri berjamaah di masjid.

Bahkan saya punya kawan, Direksi sebuah BUMN, pulang kerja jadi RT, menggerakkan masyarakat mendayagunakan sampah. Sampai mampu lahirkan kampung sampah percontohan nasional.

Inilah typikal orang sukses, hidupnya berkah. Masih kita jumpai ribuan orang semacam ini disekitar kita dengan ragam aktivitas kemasyarakatan. Saya punya banyak teman dokter, pilot, dosen, pengusaha yang melakukan hal sama. Sukses materi ia lanjutkan sukses berkehidupan sosial.

Kalau bicara rejeki finansial, mereka dicukupi oleh Allah. Tapi rejeki itu tidak untuk dipemerkan, tapi dibumikan, diaktualkan. Kata orang awam, rejeki berkah hasilnya memberkahi banyak orang.

Sebaliknya rejeki finansial yang tidak berkah, akan berguna untuk dirinya sendiri, memperkaya diri sebagai kebanggaan dunia, tanpa malu memamerkan pada banyak orang. Bahkan yang lebih parah lagi, limpahan harta dari jalan yang tidak benar akan digunakan dan mengalir ke jalan yang tidak benar juga. Itulah puncak dari rejeki tidak berkah dan halal.

Karena itu pilihannya sederhana. Silahkan ragam kebahagian dalam teks dan kisah diatas kita pilih. ***

.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.