Oleh : Prof. Daniel Mohammad Rosyid
Merespons dinamika politik mutakhir yang menyangsikan kredibilitas Pemilu 2019, beberapa tokoh menyerukan People Power. Masyarakat membayangkannya sebagai gerakan massa yang berhasil menjatuhkan Soeharto, atau Marcos. Lalu lahir reformasi. Kita tahu kemudian bahwa reformasi ternyata hanya menghasilkan deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin jauh dari cita-cita proklamasi, tergelincir ke neoliberalisme. Bangsa Indonesia yang selama ini hidup dalam harmoni kebhinnekaan justru dibelah menjadi dua kubu yang saling berhadapan melalui narasi islamophobic. Melihat gelagatnya, skenario kekacauan pasca-Pilpres Venezuela berpotensi terjadi di negeri ini.
Deformasi ini mencapai puncaknya pada Pemilu Serentak 2019 yang paling rumit di dunia ini. Kematian 500an dan kesakitan ribuan lainnya dari petugas Pemilu adalah korban demokrasi gila-gilaan ini. Berbagai kisruh rekapitulasi suara di berbagai daerah yang terjadi kemudian merupakan buah dari arsitektur legal formal demokrasi yang melenceng jauh dari prinsip-prinsip Pancasila. Konstitusi yang membuka posisi petahana, regulasi politik dan Pemilu yang membiarkan dominasi partai politik telah menjerumuskan kehidupan politik yang tidak mengindahkan etika berdemokrasi. Iklim politik yang tidak sehat diperburuk oleh Daftar Pemilih Tetap yang kurang bermutu, manipulasi opini pemilih melalui tsunami politik uang, semburan kebohongan dengan teknologi statistik, aparat negara yang berpihak, pembajakan surat suara, sampai sistem rekapitulasi suara yang keamanannya di bawah standard telah menimbulkan ketidakpercayaan publik yang luas dan tidak bisa diabaikan.
Sementara itu, para politisi sebagai law makers yang seharusnya menerapkan standard etika tertinggi justru jatuh dalam sikap unethical kemaruk kekuasaan sehingga menggunakan cara apa saja untuk mempertahankan kekuasaannya. Demokrasi sebagai mekanisme sehat bagi pergiliran kekuasaan justru dilumpuhkan agar pergantian elite semakin sulit. Persoalan ini menumpuk sehingga kita kini berada dalam situasi to be or not to be yang berbahaya bagi keberlanjutan bangsa ini.
Hemat saya, kita perlu segera redakan kekisruhan ini dan sekaligus menghindari korban sia-sia rakyat kecil dengan mendesakkan agar para elite bertemu untuk membicarakan persoalan ini. Semua elite harus lebih mementingkan kepentingan nasional, daripada kepentingan kelompok masing-masing. Para pimpinan organisasi massa besar seperti NU, Muhammadiyah dan tokoh-tokoh senior sipil (seperti para Rektor PTN/S) dan militer perlu mengambil peran sebagai penengah dalam sebuah Majelis Rekonsiliasi Nasional (MRN) untuk memperoleh solusi kepemimpinan nasional di luar kerangka legal-formal yg justru menjadi sumber masalah sejak awal.
Mengingat proses lengser Soeharto dahulu, saya usul agar pak Haedar Nasir, pak Said Agil Siraj dan Cak Nun segera bertemu untuk membentuk MRN ini. Persoalan yang berkembang saat ini sudah melampaui kompetensi legal-formal KPU dan Bawaslu, bahkan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikannya. Para elite memikul tanggungjawab untuk menyelesaikannya, bukan melemparkan tanggungjawabnya ke rakyat kecil.
Pada saat beberapa elemen rakyat mulai menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan panggilan jihad fii sabiilillah, kita mendesak agar elite di kubu-kubu yang berselisih mau menunjukkan patriotismenya untuk mengorbankan kepentingan pribadinya lalu mendahulukan kepentingan bangsanya, atau membiarkan bangsa ini jatuh dalam situasi chaos yang justru sudah ditunggu-tunggu oleh kekuatan-kekuatan asing untuk memporak-porandakan dan menjarah negeri ini.
Gunung Anyar, 12/5/2019
Leave a Reply