Menyikapi Pertunjukan Pandemi Covid-19 Yang Berkelanjutan

Oleh: Suparto Wijoyo

Akademisi Hukum Lingkungan dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Menyaksikan Pertunjukan


OMICRON hadir sebagai varian yang memuai dari pandemi Covid-19. Gelegak rakyat dan gerak negara beriring untuk mengatasinya. Pelaksanaan PPKM dengan level yang beragam menjadi atribut tingkat kedaruratan wilayah. Covid-19 selaksa sedang melakukan pertunjukan keliling dunia dan hendak memuncakinya dalam pesta kemenangan saat khalayak ramai abai terhadapnya. Publik terpotret tidak belajar dari ontran-ontran Covid-19 “edisi Juni-Juli 2021” yang ambyar, kalau mengikuti bahasa Mas Didi Kempot almarhum.
Mbokya ingat selalu bahwa sejak jasad renik ini menebarkan maut dari provinsi Hubei China sudah banyak menelan korban. Masyarakat internasional dibuat tercekam dalam formasi antrian jenazah. WHO pun menetapkan status pandemi global. Sampai hari ini data kasus Covid-19 bergerak dinamis, termasuk di negeri ini yang merebak dari kota ke desa-desa. Adakah Covid-19 ini sedang berselancar membaca novel A Time To Kill karya John Grisham sambil berteriak geram: inilah saat untuk membunuh.


Ketahuilah bahwa angka-angka warga negara yang terenggut nyawanya oleh Covid-19 bukanlah soal matematis belaka. Derap omicron bermuatan sebuah pesan tentang negara yang terlihat gagap menjalankan norma yuridis Pembukaan UUD 1945: “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah”. Ruas penyebaran Covid-19 yang kian merebak lembut ternyata mengancam daya tahan kekukuhan sebagai bangsa.


Saksikanlah orang-orang yang tinggal di lorong-lorong jalan, di gang-gang sempit perkotaan dan di kampung-kampung padat penduduk itu, mereka berbisik dalam kebingungan: sampai kapan pagebluk ini berlangsung? Kemana kami harus berlari untuk menghindarkan diri dari “sengatan” Omicron? Bukankah kalau mengikuti Maya Banks dalam bukunya No Place To Run: memang tiada tempat bersembunyi. Dan adakah kita semua akan memasuki suatu fase seperti digambarkan oleh David Wallace-Wells dalam bukunya The Uninhabitable Earth: bumi yang tak dapat dihuni?

Melahirkan Coronavirus Juridicus


Ketersediaan kita semua sampai saat ini untuk berkenan menata diri adalah pilihan terbaik dalam kebijakan mengeleminasi penyebaran omicron. Sikap ini aktual meskipun dinilai tampak gagap dan terlambat dibandingkan dengan kegaduhan corona yang menjalar di masyarakat. Punggawa negara tampak gupuh meski semula amat jumawah dengan membiarkan nataru “melenggang kangkung”. Jangan kendur merekonstruksi kebijakan mengatasi dampak bencana Covid-19, karena hak-hak dasar “hidup sehat warga negara” pantang diabaikan. Siapapun yang merasa menjadi pemimpin, pastilah terpanggil untuk membentengi rakyat dari “serbuan tentara omicron” sesulit apa pun kondisinya.


Kini solidaritas terpotret bangkit menangkal corona. Ada mobilisasi yang mencerminkan arti negara dengan segala alat kelengkapannya dalam menjaga rakyat dan wilayahnya. Landasan konstitusional mengatasi sebaran corona ini menjadikan orang-orang berpaling kepada panutannya untuk memperoleh kekuatan dan tuntunan seperti ditulis Ram Charan. Pemimpin bermandat menjaga masyarakat melalui transformasi kebijakan dengan tetap konsisten menaati aturan prokes. Tatanan sosial yang terekam memang mendeskripsikan ruang yang tidak selalu linier, bahkan dalam bahasa Friedrich Nietzsche (1844-1900) di karyanya, Also Sprach Zarathustra, penuh lompatan, termasuk seitensprange – boleh melompat ke samping.
Dengan kasus omicron, pemimpin harus terjaga.

Dalam batas ini, keterjagaan pemimpin adalah opsi tunggalnya. Bukankah rakyat memilih pemimpin itu untuk mengendalikan (sturen) pergerakan hidupnya agar dia tidak gagal sebagai rakyat, apalagi gagal menentukan tindakan menyelamatkan diri dari omicron. Berbagai program mengatasi Covid-19 melalui “corona protocol” merupakan kontribusi negara hukum karena secara yuridis kebijakan itu diberi “baju hukum”: surat edaran atau keputusan presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, kepala desa, rektor, termasuk kepala sekolah.
Dalam lingkup ini saya memaknai bahwa Covid-19 ternyata mampu menciptakan figur hukum baru. Para pemimpin dari tingkat dunia sampai di Nusantara menetapkan panduan teknis-operasional mengatasi Covid-19. Seruan yang diambil WHO guna mengatasi omicron merupakan tindakan hukum. Pada telisik inilah dirajut “jahitan hukum” mengatasi Covid-19 dalam “semburat nilai” coronavirus juridicus (yang mendorong pendidikan tinggi hukum semakin inovatif-solutif).

Bumi Berterima Kasih


Khusus pada lingkup ekologis, saya menyaksikan bahwa kahanan sekarang ini sejatinya menguntungkan bumi. Manusia melangkah menepikan awak dan mengendapkan pikiran tentang keganasa sebuah virus yang tidak elok apabila ditantang penuh pongah. Manusia yang berkewarasan memilih berikhtiar meminggirkan jiwa-raganya dengan sejenak rehat di rumah. Jalanan, kantor, pergudangan, mall-mall “disenyapkan” sejenak sehingga memberikan ruang langit menampakkan keasliaanya: membiru dalam damai. Debu tidak bertebaran, emisi tidak menggelayut, cerobong asap tidak lagi membubung mengangkasa, limbah cair tidak digerojok ke sungai maupun tanah. Ulah manusia diberhentikan oleh virus, karena penegakan hukum atas kejahatan lingkungan selama ini tdak mempan dilakukan.

Hal ini berarti pandemi memberikan solusi ekologis meski menghasilkan akibat yang lebih kompleks lagi. Inilah saat dimana bumi pada posisi tidak dinodai oleh keputusan brutal yang tega mengotorinya. Cobalah penguasa mengerti bahwa tugasnya masih belum maksimal dalam mengatasi “safarinya sang virus”. Eling lan waspodo serta tidak salah bertindak seperti peribahasa Madura “mella’e pettengnga bingong e’leggana”: menatap di kegelapan, bingung di keluasan. Ungkapan yang menggambarkan ruwetnya pertimbangan nalar menghadapi pesakitan omicron yang ngeyelan.
Semua ada waktunya seperti ejaan fabel bagus Mitch Albom, The Time Keeper (2012), Sang Penjaga Waktu. Akhirnya renungkanlah Hukum ke-47 dari buku The 48 Laws of Power karya Robert Greene (2007): jangan melebihi sasaran yang telah Anda tentukan. Pandemi adalah “siklus” tanda jeda agar kita berkesempatan untuk mengerti hakekat masa depan. Secara ekologis, bumi memiliki kesempatan leyeh-leyeh memproduksi oksigen, udara, dan air yang segar kala “pertunjukan” dipentaskan berkelanjutan.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.