Oleh : Suparto Wijoyo
TETAP soal Djoko Tjandra berikut keterlibatan kejaksaan maupun kepolisian dalam pusaran yang amat menampar nurani hukum khalayak ramai. Lembaga hukum terpotret terseok dan terjatuh dalam kelindan yang memilukan. Omongan orang-orang hukum dipahami selaksan gonggongan semata. Memang begitulah sebagaimana dikatakan oleh penyair besar Indonesia Chairil Anwar, kalau manusia ngomong dan anjing menggonggong. Putusan peradilan juga dinilai sering anti keadilan dan menepikan rasa lumrah yang ada di masyarakat. Seorang ibu yang mencuri sebutir melon hanya untuk mengidupi anaknya dan seorang bapak yang mengambil tanpa hak sebuah HP agar anaknya dapat sekolah daring saat pandemi Covid-19 ini, harus meringkuk dalam jerat hukum yang mengesankan. Mereka yang papa ini dihukum dan diberitakan seperti maling besar sementara koruptor bertriliun-triliun rupiah, bukan sekadar ribuan rupiah nyaris menjadi tuan yang harus diantar. Kewajiban negara untuk melindungi yang miskin seperti diamanatkan Pasal 34 UUD 1945 tidak terbaca, mungkin normanya suduah dibuang dalam praktek kenegaraan. Ada perompak negara justru dalam mengurus surat jalan dilayani, tes covid-19 diantar dan mau plesir atau kabur dikawal oleh yang berwenang. Inilah yang membuat rakyat gemes walau tanpa mampu bertindak.
Dewan juga demikian. Sibuk siding-sidang untuk mebahas regulasi yang tidak dibutuhkan. RUU Cipta Kerja dikebut dalam senyi meski diprotes dengan pejabat yang berpendidikan tinggi. Dia nyaris lupa bahwa situasi sekarang belum saat yang tepat membahasnya. RUU ini mencemaskan banyak kalangan, kaum buruh, pekerja atau aktivis lingkungan. Tapi dewan terlihat hanya memenuhi hasratnya sehingga tetap rapat-rapat tanpa peduli suara rakyat. Omongan rakyat yang sampai didengar di gedung dewan ternyata kian sumbang. Pokoknya sekarang ini negara hukum menyelinap menjadi negara kekuasaan. Kekuasaan telah memanfaatkan hukum menjadi pendulum yang mampu membentur-benturkan umat. Kroni di bangun tanpa wagu dan terus menetapkan anak maupun menantu berlaga dengan pendukung yang tidak berajak untuk sedikit pintar. Usulan yang semliwer di media sosial, calon tunggal tidak pakai coblosan karena demi efektivitas langsung saja dilantik. Kian aneh negara ini diselenggarakan oleh mereka yang tidak memiliki kapasitas ilmu, melainkan hanya kapasitas siasat politik yang terus dikurumi orang-orang rakus jua.
Ruang hukum sering menjadi panggung bagaimana hukum dipentaskan. Publik dapat menyimak jalannya penggede hukum melalui beragam media elektronik dan mempunyai kesan yang persepsionis tentang apa yang sedang dipentaskan. Pengadilan secara terminologis sejatinya bukan wahana penegakan hukum semata, melainkan peneguhan rasa keadilan. Lembaga hukum dinisbatkan mengusung keadilan yang diunggah melalui tahapan yang sangat legal, bahkan di hari-hari mendatang akan terasa amat dramatik dan menjadi persidangan yang bernuansa telenovelis untuk diikuti. Sebuah episode yang menyedot perhatian khalayak. Apa yang terjadi di ruang pengadilan semakin melengkapi riuhnya gelanggang sosial kosmologi ocehan orang yang memperhinakan agama maupun tokoh-tokohnya, khususnya Islam.
Bahkan kini terpolarisasi bahwa aksi dengan tema keagamaan untuk mendudukkan supremasi hukum justru dijadikan liyan, rivalitas persatuan dan keragaman. Suasana diaduk untuk menyembulkan siapa yang kuasa dan bagaimana hukum dan keadilan dibenturkan dalam sengkurat berkepanjangan. Umat benar-benar digiring memasuki ajang kontestasi dan pengaburan relasi antara hukum dan keadilan, sampai pada posisi negara yang menyeretnya berhadapan.
Apakah memang sedemikian ini adanya? Dunia hukum sungguh memamerkan perannya yang menarik. Permasalahan yang sangat sederhana akhirnya memuai sedemikian kompleksnya. Untuk kasus serupa ini secara yuridis sudah ada yurisprudensinya, dan gamblang pula jalan penegakan hukumnya melalui putusan pengadilan yang memenuhi rasa keadilan umat. Akankah negara peduli dengan gemuruh tauhid yang bergerak memberikan torpedo kolektif yang menyorongkan energi percepatan jalannya prosesi hukum kasus apapun, khususnya yang memperolek iman? Pergerakan massa ini sejatinya menjadi permenungan para penyelenggara negara untuk berpaling pada tataran narasi moral, bukan hukum positif belaka. Hukum positif terlihat tidak menuangkan aspek yang bisa menjangkau esensi kaedah moral dan suara lirih keadilan. Moralitas mengajarkan kepatutan dan keadilan yang berada dalam wilayah rasa hukum, bukan frasa hukum.
Hukum secara konseptual memang membangun trisula kepentingan, yaitu: public interest, professional interest dan personal interest. Dengan demikian setiap orang memiliki kesempatan untuk memperbincangkan hukum, tetapi tidak semuanya mempunyai otoritas membuat keputusan hukum. Bahwa proses peradilan yang tidak mengubah konstalasi pilkada DKI Jakarta, adalah sebuah tontonan yang sangat positivistik yang dikukuhi oleh negara. Inilah titik di mana hukum dalam realitasnya tidak memaknai etika pemerintahan (tersangka-terdakwa diperkenankan melamar menduduki jabatan publik).
Pada lingkup ini langit Jakarta menorehkan labirin hukum yang membuat jutaan rakyat berdegup dalam waspada. Menyaksikan reality show yang terpentaskan di bentara institusi hukum, moralitas dan intelektualitas terasa dibentur-benturkan. Jangan sampai negara hukum kehilangan maknanya yang dalam bahasa Francis Fukuyama sedang mengalami “the great disruption. Riuhnya kasus tersebut mengkhawatirkan lahirnya tindakan mereduksi konsepsi negara hukum tanpa keadilan yang menggiring ke arah kritik Charles Sampford: “the disorder of law”. Hal ini dalam pandangan Roberd C. Ellickson merupakan cermin ajaib terbangunnya kondisi order without law yang narsis. Mencerabut hukum dari rana keadilan adalah berbahaya. Para penegak hukum musti bertanggung jawab terhadap paradigma dan praktek hukum yang mendistorsi substrat moral dan keadilan. Sebagai kompleks kaidah, kata D.H.M. Meuwissen, hukum bukanlah gejala netral, hukum ada dalam atmosfer sosial yang sarat interest. Hukum jelas bukan bejana kosong. Kelas-kelas pembelajaran hukum tidak boleh hanya sibuk mendeskripsikan pasal-pasal dan ayat-ayat secara literal dengan mencampakkan kadar ideologisnya.
Pengadilan tidaklah elok membuat tarian hukum tanpa gendang keadilan. Pengadilan musti memahami untuk menghadirkan hukum yang memanggul rasa keadilan umat. Saatnya hukum sebagai a set of rule or norm dikembangkan dengan mengelaborasi hukum ke alam social order yang bermuatan keadilan. Para penstudi hukum harus diajak mendialogkan hukum dalam konteks moral dan keadilan. Para yuris selayaknya memiliki sensitivitas untuk mengkaji setiap gerak hukum dalam standar good governance. Pada konten dan konteks inilah hukum dipangku oleh rasa keadilan yang berbasis moralitas bangsa.
Hal ini berarti antara hukum negara dan keadilan rakyat yang selama ini dibenturkan untuk saling menyerang harus diakhiri dengan jalinan mengedepankan keadilan dan kepatutan, tidak sekadar kepastian. Antara paradigma hukum dan keadilan seyogianya integrated, karena dengan meminjam kata-kata Joseph E. Pattison: antar keduanya sungguh sudah tidak berbatas (breaking boundaries). Jadikanlah hukum sebagai jalan keadilan yang menjunjung tinggi moralitas agar tidak menggelombangkan kegaduhan.
Jangan sampai ada akrobat hukum dan pada akhirnya publik apatis pada upaya pencarian keadilan. Tampilan sidang perdana melukiskan perjumpaan perdebatan dengan jutaan mata menonton sambil bengong, nyaris tidak percaya akan hadirnya tradisi baru dalam menggapai keadilan: harus penuh aksi. Bunyi dakwaan dan pembelaan beriringan dan hal ini memang melahirkan gemuruh yang tidak terjangkau dalam penalaran hukum. Keadilan diboyong oleh satu pihak untuk ditabuh di persidangan dengan mengabaikan kepatutan rakyat di ruang-ruang hukum dan keagamaan. Akankah lembaga hukum ini sebagai pemandu legal power dalam bincangan keadilan, ataukah akan menambah kisah panjang dongeng pencari keadilan yang terjerembab di ruang-ruang pemeriksaan? Perjalanan penegakan hukum mendatang niscaya menghadirkan lakon hukum dan keadilan yang mempesona. Atau sebaliknya?
Penulis adalah :
Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga
Leave a Reply