BATU (SurabayaPost.id ) – Penetapan pelaturan daerah (Perda) penyelenggaraan parkir di tepi jalan umum di wilayah Kota Batu belum melalui mekanisme yang baku. Sebab menurut Malang Corruption Watch (MCW) belum melalui kajian yang komprehensif untuk menjawab kendala yang ada.
Selain itu, MCW menuding dalam penerapan DPRD Batu terkesan diam-diam pada 1 Januari 2020. Oleh karena itu, dengan adanya Perda tersebut, pada satu sisi menjadi penanda adanya upaya perbaikan tata kelola parkir oleh Pemkot Batu.
Sisi yang lain, Perda tersebut berpotensi memunculkan sejumlah problem yang justru memperparah kondisi tata kelola parkir di Kota Batu. Hal tersebut, disampaikan Badan Pekerja MCW Nachil Iqbal , Rabu (8/1/2020).
Yang perlu diketahui, menurut Iqbal, rendahnya pendapatan sektor retribusi parkir. Realisasi pendapatan retribusi tersebut selalu tidak mencapai target.
” Maraknya parkir liar, dengan banyak Jukir yang tidak memberikan karcis maupun sejumlah tempat yang tidak semestinya dijadikan lahan parkir,” katanya.
Oleh karena itu, kata dia, MCW menilai penyelenggaraan parkir di Kota Batu selama ini juga tidak berdasarkan aturan yang berlaku, yakni Perda nomor 10 tahun 2010.
” Utamanya berkaitan dengan pemberlakuan tarif parkir di Kota Batu.Tarif parkir untuk kendaraan roda dua sebesar Rp 1000, mobil pribadi/pick up Rp. 2000, serta minibus Rp. 5000. Yang berlaku justru Rp. 2000 untuk motor dan kurang-lebih Rp. 3000 untuk mobil bisa juga lebih,” ungkapnya.
Meski begitu, ungkap dia, pemberlakuan tarif parkir, dalam praktiknya melampaui standar sebagaimana diatur dalam perda nomor 10 tahun 2010 sekalipun, sama sekali tidak berdampak signifikan terhadap PAD Kota Batu.
“Sesuai data Lembar Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2014-2018, trend realisasi retribusi parkir tepi jalan selalu stagnan bahkan cenderung menurun. Misal tahun 2014 dari target Rp 620.000.000 hanya terealisasi Rp 334.354.000 juta,” paparnya.
Kemudian papar dia, di tahun 2015 dari Rp 669.000.000 terealisasi Rp 349.763.000. Tahun 2016 target Rp 992.000.000 hanya mendapatkan Rp 365.140.000.
“Lalu target tahun 2017 sebesar Rp 992.000.000 terealisasi Rp 347.883.000. Selanjutnya tahun 2018 target Rp 1,5 miliar terealisasi Rp 317.913.000. Kondisi ini memperlihatkan jika Pendapatan Asli Daerah (PAD) retribusi parkir tepi jalan tidak pernah memenuhi target,” ujarnya.
Selanjutnya, menurut dia,tidak naik bahkan trend retribusi menurun pada tahun 2016 sebesar Rp 365 Juta, tahun 2017 Rp 347 juta dan 2018 hanya Rp 317 juta.
“Belum lagi penetapan raperda secara diam-diam adalah problem klasik yang masih terjadi di Kota Batu. Sebelumnya, Perda RTRW juga demikian, kali ini publik dikagetkan dengan Penetapan Ranperda tentang penyelenggaraan parkir di tepi jalan umum oleh DPRD kota Batu, yang sebelumnya tidak diketahui latar belakangnya baik secara filosofis, yuridis, dan sosiologis,” tegasnya.
Termasuk, tegas dia, bagaimana proses dalam setiap tahapannya, serta keberadaan naskah akademik sebagai syarat formil, belum diketahui keberadaannya.Dan sepatutnya, pembentukan dan pengesahan ranperda penyelenggaran parkir di tepi jalan umum harus menunggu pengesahan perda RTRW yang baru sebagai acuan.
“Harusnya pemkot menunggu pengesahan Perda RTRW terlebih dahulu. Di salah satu pasal dalam Raperda juga mengatur tentang pengadaan seragam juru parkir oleh Dinas perhubungan (Dishub) Kota Batu.Pasal ini rentan terhadap praktik koruptif, terutama ketika proses pengadaan seragam, dinas harus menjalankannya dengan menerapkan mekanisme yang transparan dan akuntabel,” katanya.
Dengan begitu, MCW berharap Dishub Kota Batu, bisa mempublish dokumen dan informasi berupa wilayah/tempat dan titik parkir yang tersebar di Kota Batu sebagaimana yang diproyeksikan dalam ranperda tersebut.
“Itu merupakan suatu kewajiban yang mesti dilakukan, jika tidak maka, dapat diduga bahwa dishub tidak transparan terhadap data dan informasi tentang jumlah titik parkir sebagaimana diproyeksikan pada ranperda ini,” pungkasnya (Gus)
Leave a Reply