(bagian pertama dari 2 tulisan)
Oleh Anwar Hudijono
Bulan Januari 41 tahun lalu. Diktator Iran Shah Reza Pahlevi bergegas meninggalkan kursi tahtanya. Air matanya meleleh seperti es krim kepanasan. Langkah kakinya gontai seperti mentok ambeien. Sambil nyangking tas kresek berisi baju sepotong dua, odol dan sikat gigi. Satu tas lagi berisi nasi krawu dan juadah. Saking kesusunya sampai sadalnya sisihan. Ia benar-benar seperti tikus di lumbung terbakar. Kepalang bingung.
Mulai saat itu tamat sudah riwayat diktator selama 25 tahun yang memerintah dengan tiranik dan despotik. Ibarat peredaran malam telah berakhir dengan fajar. Ayatullah Rohullah Khomeini adalah mataharinya. Dialah tokoh revolusinya.
Khomeini, tokoh sepuh ini begitu fenomenal. Buku tipis yang ditulis kakak ipar saya, Anshary Thayib tentang Revolusi Iran, laris manis. Saya biasa menjual di halaman masjid-masjid di Surabaya seusai Shalat Jumat. Yang saya distribusikan di kios-kios koran juga ludes.
Demam Khomeini melanda dunia, termasuk Indonesia. Para mahasiswa dan angkatan muda sangat bangga mengenakan kaos bergambar kakek yang berjenggot panjang ini. Posternya dipasang di kamar indekost. Banyak bayi lahir diberi nama Khomeini.
Khomeini beserta revolusi Iran menjadi trending topic di khutbah Jumat, pengajian, bahkan sampai perbincangan di warung cekether yang menu utamanya nasi jagung dengan lauk penyetan mujaer. Umat tidak berpikir bahwa dia Syiah atau Sunni. Dia dijadikan simbol keberhasilan perjuangan umat Islam terhadap Firaun gaya baru. Dia simbol imam mukminin sejati yang jujur, zuhud, qanaah.
Dia seorang syahid yang revolusioner seperti Imam Hussein bin Ali, cucu Rasulullah SAW. Dia seolah penerus Salman Al Farisi yang menyusun strategi Perang Ahzab (Khandak) yang berakhir dengan hancurnya pasukan kafir sekutu.
Jika umat arus bawah sangat gembira, tidak demikian dengan Amerika Serikat, Israel, negara-negara keluarga (monarkhi) di kawasan Teluk Persia. Mereka meriang. Dicekam cemas seolah ada paku nyantol di tenggorokan.
Amerika kehilangan salah satu sekutu utamanya di Timur Tengah. Ibaratnya Iran di tangan kiri dan Israel Israel di tangan kanan. Kedutaan besarnya di Teheran disita dan 63 warganya disandera mahasiswa militan. AS Melakukan Operasi Militer Eagle Claw (Cakar Elang) gagal total karena pesawatnya rusak dihantam badai gurun pasir. Masalah sandera baru diselesaikan melalui skandal Iran-Contra yang sangat memalukan AS.
Dengan tumbangnya Reza Pahlevi, Israel mulai takut rejim Republik Islam Iran ini akan menjadi musuh terberatnya. Berarti ini menghambat upaya Israel mewujudkan impiannya menjadi penguasa dunia. Maka sejak awal Israel menempatkan Iran ini musuh bebuyutan layaknya hyena terhadap singa. Israel menargetkan Iran harus musnah.
Negara-negara keluarga seperti Arab Saudi, UEA, Kuwait, Qatar, Oman, Yordania sangat takut api revolusi Iran akan menjalar dan membakar negaranya. Mereka tidak mau bernasib tragis seperti Shah Reza Pahlevi. Mereka sangat mafhum bahwa ada potensi revolusi yang terpendam di dalam negaranya ibarat api di dalam sekam.
SADDAM HUSEIN
Sang Master Mind (yang tidak kelihatan) menyusun rencana untuk menghancurkan Iran. Seribu satu strategi dan manuver dilakukan. Di antaranya menggunakan Presiden Irak Saddam Hussein sebagai proksi menyerang Iran. Meletuslah perang selama 8 tahun yangh dimulai tahun 1980. Meskipun Irak dibantu sekitar 23 negara, nyatanya Iran tetap berdiri tegak.
Ternyata Saddam gagal menjalankan misi. Maka Saddam pun dihabisi. Nasibnya seperti Pahlevi juga. Habis manis sepah dibuang. Itulah sifat AS yang digambarkan dalam film Fast and Furious: Hobb and Shaw. Dalam film itu dinarasikan, setelah Brexton gagal menjalankan misi Sang Master Mind untuk menemukan virus yang hendak digunakan mengurangi populasi penduduk miskin dunia, dia dihabisi sendiri.
Strategi lain adalah bagaimana agar Khomeini tidak menjadi inspirasi seluruh umat Islam. Menjadi simbol pergerakan revolusi. Simbol pembebasan dari ketertindasan.
Maka dipantiklah isu klasik yang sudah berabad-abad yaitu sentimen mazhab di lingkungan umat muslimin. Khususnya Sunni-Syiah. Tujuannya agar Sunni-Syiah saling membantai di rumah sendiri (Islam).
Pelbagai kegiatan propaganda dilakukan. Hoax diproduksi besar-besaran. Fake news dicampur aduk dengan true news. Otak umat Islam dicuci untuk menjadi haters (pembenci) satu sama lain. Luka lama diungkit-ungkit. Khilafiyah yang sudah hidup berabad-abad tanpa solusi, dibesar-besaran.
Hubungan Sunni-Syiah semula datar-datar saja. Sudah capek berbeda pendapat lebih 1000 tahun. Sudah menggunakan prinsip bainana wa bainakum (ada jarak saya dan kamu). Tidak perlu saling mencerca dan saling mengganggu. Hidup bertetangga yang baik. Bukankah Rasulullah dawuh, jika beriman kepada Allah dan Rasul-nya hendaknya menghormati tetangganya. Hendaknya saudaranya selamat dari gangguan lidah dan tangannya.
Semua berubah drastis. Hasilnya sekarang, sebagian umat Sunni memandang Syiah lebih kejam daripada zionisme Israel. Syiah dipandang lebih kejam daripada yang menjatuhkan bom atom pertama kali di dunia yang membunuh ratusan ribu rakyat tak berdosa. Garda Al Quds (milisi Iran untuk pembebasan Baitul Maqdis) dianggap lebih kejam dari Westerling yang membantai 40.000 orang di Sulsel. Iran lebih sadis dari pembantai rakyat Palestina, Lebanon. Sering kali Syiah disamakan dengan komunisme.
Sebagian umat Islam juga kehilangan rasa cinta hanya karena sentimen mazhab yang berlebihan. Hanya karena sikap ashabiyah, chaufanisme. Jika ada umat Islam lain menderita, tertindas, tapi karena berbeda mazhab malah disoraki. Mestinya, jika karena mazhab berbeda pandanganlah mereka sebagai sesama saudara seiman (QS Al Hujurat 10). Jika tak dipandang seiman, tempatkanlah sebagai sasama keturunan Adam (QS Al Hujurat 13). Pandanglah mereka sebagai manusia yang wajib diberi kasih sayang (QS Al Maun). Allahu a’lam
@Anwar Hudijono, wartawan senior.
Leave a Reply