Rp3,7 Miliar Lenyap di Balik KTP Palsu

Gresik (SurabayaPost.id)– Di ruang sidang Pengadilan Negeri Gresik, dua kursi terdakwa menjadi sorotan. Ainul Churi (42) dan Yeni Yuspita Sari (35) duduk gelisah. Pasangan asal Menganti ini bukan sekadar menghadapi jeratan hukum, tetapi juga membuka tabir bagaimana sistem pertanahan dan administrasi kependudukan di negeri ini bisa dilipatgandakan menjadi senjata untuk merampas hak orang lain.

Kisah bermula dari tanah seluas 8.400 meter persegi di Desa Golokan, Sidayu, milik H. Zainal Abidin dan istrinya H. Hunaifa. Tanah warisan keluarga itu mendadak berpindah kepemilikan, tercatat resmi atas nama pihak lain, tanpa sepengetahuan pemilik sah. Nilai transaksi bukan main-main, mencapai Rp3,78 miliar.

“Bagaimana mungkin tanah atas nama klien saya bisa terjual, padahal tidak pernah menandatangani apa pun?” ujar Roni Wahyono kuasa hukum Zainal Abidin usai sidang, Senin (1/9/25).

Jaksa Penuntut Umum Parasetio dari Kejari Gresik mengungkap kasus ini bermula pada 2014. Tanah tersebut dikuasai oleh saudara kandung Zainal bernama Achmad Wahyuddin. Tanpa seizin pemilik sah, Wahyuddin menjual tanah itu kepada koperasi PKPRI Gresik. Untuk melancarkan transaksi, ia menggandeng pasutri terdakwa. Peran mereka dibagi. Ainul Churi berperan sebagai Zainal, sedangkan Yeni menyamar sebagai Hunaifa. Untuk penyamaran, keduanya membuat dokumen kependudukan palsu KTP, KK, hingga buku nikah. Semua lengkap dengan foto mereka seolah pasangan sah yang berhak menjual tanah.

Dengan identitas palsu itu, keduanya hadir di hadapan notaris. Akta jual beli ditandatangani, transaksi berlangsung lancar, dan miliaran rupiah berpindah tangan. Sedangkan Zainal dan istrinya sama sekali tidak tahu apa yang terjadi.

Fakta ini kata Roni menimbulkan pertanyaan tajam. Bagaimana mungkin notaris sebagai pejabat publik kecolongan dalam verifikasi identitas. Bukankah tugas utama notaris memastikan pihak yang menandatangani akta benar-benar pihak yang sah.

“Ada standar verifikasi yang jelas, termasuk pengecekan fisik KTP, KK, dan pencocokan wajah. Kalau semua itu bisa ditembus dengan mudah, berarti sistem pengawasannya rapuh,” tegas Roni

Sementara itu, koperasi PKPRI Gresik yang membeli tanah juga ikut dipertanyakan. Dengan nilai transaksi mencapai hampir Rp4 miliar, mengapa pemeriksaan dokumen tidak dilakukan lebih ketat. Apakah koperasi benar-benar tertipu, atau justru ada unsur kelalaian dalam prosedur pembelian aset bernilai besar.

“Kalau koperasi bisa begitu saja percaya, preseden ini berbahaya. Siapa pun bisa menjual tanah orang lain hanya bermodal dokumen palsu,” tukasnya.

Kebenaran akhirnya terbongkar setelah Labfor Polda Jatim meneliti dokumen. Hasilnya, tanda tangan Zainal dan istrinya dalam akta maupun kuitansi pembayaran dinyatakan palsu. Temuan ini menegaskan bahwa seluruh transaksi adalah hasil rekayasa. Dengan bukti itu, pasutri terdakwa kini dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dan Pasal 266 KUHP tentang memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik. Ancaman hukuman maksimal yang membayangi mencapai tujuh tahun penjara.

Bagi Zainal dan Hunaifa, kehilangan tanah senilai miliaran rupiah hanyalah satu sisi penderitaan. Mereka merasa martabat keluarga diinjak-injak. “Ini bukan hanya soal uang. Ini soal nama baik keluarga kami,” kata Hunaifa dengan mata berkaca-kaca.

Kasus ini menyingkap masalah mendasar. Betapa mudahnya dokumen kependudukan palsu diterbitkan dan dipakai dalam transaksi resmi, lemahnya fungsi notaris sebagai penjaga sahnya akta jual beli, dan rapuhnya mekanisme pembeli institusional yang tidak hati-hati dalam transaksi bernilai besar. Tanpa pembenahan, celah ini akan terus dimanfaatkan. Zainal dan Hunaifa yang menjadi korban, besok bisa saja warga lain yang tak pernah membayangkan tanahnya berpindah tangan secara misterius.

Kini, nasib Ainul Churi dan Yeni Yuspita Sari berada di tangan majelis hakim. Namun, pertanyaan yang lebih besar masih menggantung. Apakah hukum hanya berhenti menghukum pelaku, atau juga berani membenahi celah sistem yang membuat kejahatan ini mungkin terjadi.

“Kalau sistemnya tetap lemah, kasus seperti ini akan terulang. Hukum bukan hanya harus menghukum pelaku, tapi juga memperbaiki pintu-pintu yang terbuka bagi kejahatan,” pungkas Roni

Baca Juga:

  • Ketua DPRD Gresik Persilakan Warga Pinjam Mobil Dinas Baru untuk Hajatan hingga Keperluan Darurat
  • Konflik Kaum Giri dan Yayasan yang Tak Kunjung Usai
  • Meteran Dicabut, Kaum Giri Meradang: PLN Terseret ke Pusaran Konflik Sunan Giri
  • Eyang Semar Turun di Surowiti, Dentuman Tongklek Semarakkan Karnaval Budaya HUT RI ke-80