“Renungan 75 Tahun Piagam Jakarta, 22 Juni 1945”
Oleh : Suparto Wijoyo
GELOMBANG penolakan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) merupakan manifestasi reflektif penderitaan rakyat yang telah diabaikan oleh wakilnya. DPR dinilai tuna empati dan berlaku tidak simpatik mengajukan RUU HIP saat otoritas pemerintahan kalang kabut mengatasi pandemi Covid-19. RUU Cipta Kerja yang kontroversial pun terus melenggang meski aspirasi keberatan telah tumpah memenuhi jalanan. DPR berlagak menantang dengan menggelombangkan batin publik dalam memproduksi hukum. Substansi RUU HIP tereja menpersonifikasi Pancasila selaksa karya perseorangan hingga dirasakan sebagian pihak menafikan Pancasila yang tersepakati dalam Pembukaan UUD 1945. Penetapan “ultah Pancasila” melalui Perpres No 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila secara yuridis-historis sangat problematis, tetapi khalayak berupaya memahami sambil mengelus dada. Lantas RUU HIP menguak secara fenomenal gerakan merekonstruksi ingatan lama untuk memeras-meras Pancasila.
Perumusan Pancasila
Pancasila sebagai dasar falsafah (philosofische grondslag) dan norma fundamental bernegara (staatsfundamental norms) merupakan karya teragung para pendiri bangsa melalui pergumulan gagasan secara kolektif dalam Sidang-sidang BPUPKI-Panitia Sembilan-PPKI. 29 Mei 1945 Muhammad Yamin mencetuskan Lima Asas Negara, dan di 31 Mei 1945 Soepomo menggagas negara integralistik, serta 1 Juni 1945 Soekarno menyampaikan lima prinsip yang dinamakan “Pancasila”, yang dapat diperas menjadi Tri Sila-Eka Sila.
Ide Pancasila dibincang secara dialogis-argumentatif oleh Panitia Sembilan (Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Soebarjo, K.H.A. Wahid Hasjim, dan M. Yamin) yang hasilnya oleh Muh. Yamin dinamakan Jakarta Charter atau disebut Soekiman gentlemen agreement. Melalui Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, 75 tahun lalu dirumuskan Pancasila sebagai hasil kompromi ideologis dalam “rahim” Panitia Sembilan, berbunyi: “…Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Formulasi Piagam Jakarta ini selanjutnya dibahas di Sidang BPUPKI tanggal 10-16 Juli 1945 dan diterima sebagai “Mukadimah UUD” pada 14 Juli 1945. Tanggal 16 Juli 1945 naskah lengkap UUD disepakati BPUPKI untuk disahkan PPKI 18 Agustus 1945 sebagai UUD 1945 dengan “modifikasi terindah”:“…Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dekrit Presiden
Dinamika kenegaraan terjadi sampai keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan Keppres No. 150 Tahun 1959 Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945. Terdapat perumusan: “… kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut …”.
Atas dasar Dekrit Presiden ini umat Islam merasa memiliki kewajiban hukum untuk menjalankan syariat Islam setarikan nafas Pancasila yang mengacu UUD 1945 dengan Piagam Jakarta yang diyakini Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang atas nama Rakyat Indonesia “menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi UUD 1945”.
Konstruksi logika yuridis-ideologis Dekrit Presiden ternyata mampu merajut “keterbelahan jiwa” antara golongan Islam dan nasionalis yang menganga selama sidang-sidang Konstituante. Keteduhan hati ini sontak menghangat kembali akibat menggaungnya jargon Manipol-USDEK dan Nasakom sampai pecahnya G30S/PKI 1965 yang mendegradasi materi Dekrit Presiden. Akhirnya Memorandum DPRGR 9 Juni 1966 meneguhkan kekuatan hukum Dekrit Presiden yang terletak pada besarnya dukungan rakyat, termasuk persetujuan DPR hasil Pemilu 1955 secara aklamasi, 22 Juni 1959. Ini merupakan legitimasi yuridis-sosiologis yang signifikan dari Dekrit Presiden yang dikuatkan secara konstitusional melalui Tap MPRS No. XX/1966. Dimufakati pula Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber hukum dasar nasional dengan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Sepakat Jangan Khianat
Kehadiran RUU HIP mengaduk-aduk perjanjian luhur dan mufakat bulat Pancasila yang tak usah dikristalisasi lagi mengingat isinya adalah inti kehidupan bangsa. Polarisasi emosi harus dipungkasi terhadap golongan yang telah ikhlas menerima pencoretan “tujuh kata”. Tidaklah elok merabuki kebencian sambil aji mumpung berkuasa yang menjurus penggerogotan Perjanjian Luhur Bangsa, termasuk mengusik hubungan antara negara dan agama. Pasal 29 UUD 1945 menormakan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan memberikan penghormatan tertinggi pada agama. Bermula dari Pasal 9 UUD 1945, Sumpah Presiden sampai Kepala Desa dilakukan “menurut agama dengan menyebut demi Allah (Tuhan)”, bukan menurut adat istiadat.
Sejak 18 Agustus 1945 tidak boleh mempertentangan agama dan negara. Ingatlah bahwa seluruh sumpah jabatan di Indonesia diperturutkan kepada agama dengan “demi Allah”, bukan “demi selain Dia”. Ini merupakan spiritualisasi jabatan yang berjiwa Pancasila. Membenturkan negara dengan agama adalah perbuatan nastika, “tidak meyakini” Pancasila.
Saatnya kita semua menggali sebagaimana Bung Karno mendeklarasikan istilah Pancasila dari khasanah lama. Inisiator RUU HIP meneduhlah untuk sudi membaca notulensi Sidang-sidang BPUPKI-Panitia Sembilan-PPKI sampai risalah-risalah Sidang Konstituante agar mampu merawat mufakat para pendiri NKRI. Pancasila itu sungguh janji nasional yang telah melalui perdebatan komprehensif dan bukan pemikiran klenik untuk mengultuskan seseorang.
Penulis adalah : Dosen Filsafat Pancasila Fakultas Hukum, & Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya.
Leave a Reply