Oleh: _*Yunanto*_
Tiga jurnalis muda bertandang ke gubuk saya di Pakisaji, Kabupaten Malang. Silaturahim mereka, Minggu siang, 10 Mei 2020, dihajatkan pula untuk berbincang santai tentang jurnalistik. Memang selalu menarik bagi saya, bila obrolan bertajuk jurnalistik.
Diawali dari kalimat tanya yang mereka luncurkan, obrolan pun mulai masuk “persneling satu”. Topiknya ihwal kelemahan pada karya jurnalistik mereka.
“Kelemahan berita saya di mana, Pak?” tanya Moch. Yasin, jurnalis _menaratoday.com_. Pertanyaan senada juga dilontarkan dua jurnalis lain, Miftahul Ulum dan Sofyan.
“Nyaris semua jurnalis muda memiliki tiga titik kelemahan yang sama mencoloknya, di karya jurnalistik mereka,” demikian jawaban saya.
“Kelemahan tersebut saya petik dari hasil menyimak karya jurnalistik mereka yang disebarkan di beberapa grup WhatsApp,” imbuh saya.
Setelah saya sebutkan kuantitas kelemahan dalam karya jurnalistik kalangan jurnalis muda, tentu saya rincikan wujud konkretnya. Mereka serius menyimak.
Kelemahan pertama, “miskin” kata ganti elemen _who_. Kelemahan kedua, malas menggali “misteri” elemen _why_ dan _how_ atas _what_ dan _who_. Kelemahan ketiga, belum serius belajar agar semakin “melek” hukum positif.
*Kata Ganti*
Kata ganti elemen _who_ sesungguhnya merupakan bagian dari tupoksi jurnalis untuk turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain bernilai informasi tinggi, kata ganti elemen _who_ juga “mendidik” komunikan media agar berpikir kritis tentang sosok _who_ dalam publikasi.
Saya kerap heran tatkala menyimak satu _item news_ yang “sangat miskin” kata ganti elemen _who_. Contoh, sebutlah elemen _who_ adalah Walikota Batu, Hj. Dewanti Rumpoko. Nama tersebut ditulis berulang-ulang dalam satu _item news_. Bahkan, ditulis sampai dua-tiga kali dalam satu paragraf. Ampun!
Faktual, kata ganti sosok Walikota Batu tersebut lumayan banyak. Sebut saja, antara lain, (1) isteri Eddy Rumpoko, (2) menantu almarhum _Ebes_ Sugiyono, (3) mantan anggota Fraksi Golkar di DPRD Kota Malang, (4) dosen _non-aktif_ Fakultas Psikologi Unmer Malang, (5) mantan None Jakarta, serta (6) ibu dua anak. Masih ada beberapa kata ganti lagi, sesungguhnya.
“Miskinnya” kata ganti dalam satu _item news_ karya jurnalistik juga menunjukkan rendahnya kualitas pengetetahuan umum jurnalisnya. Boleh dibilang jurnalis kuper (kurang pergaulan). Minim wawasan. Dangkal perbendaharaan informasi. Kering kepustakaan data _who_.
Semakin banyak perbendaharaan kata ganti elemen _who_ bisa dimiliki seorang jurnalis, maka semakin hebatlah dia. Peluangnya untuk ikut ambil bagian dalam turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa (komunikan media), semakin besar. Dia pun berpeluang mengajak komunikan medianya berpikir kritis terkait dengan elemen _what_ dan “misteri” _why_ dan _how_ di baliknya.
*_Why_ dan _How_*
Dua elemen ini, _why_ dan _how_, sesungguhnya masuk faktor penentu tinggi rendah bobot nilai berita ( _news value_). “Misteri” _why_ dan _how_ di balik elemen _what_ dan _who_ bila bisa digali dan diperoleh jurnalis, sungguh merupakan “bom dahsyat”. Daya ledaknya (baca: dampak pemberitaan atau akibat publikasi) sungguh luar biasa hebat.
Contoh, _what_ berwujud tindak pidana korupsi; _who_ adalah oknum PNS atau ASN di sebuah institusi pemerintahan. Jurnalis tidak sekadar _”berjualan”_ (mewartakan) _what_ dan _who_ di _where_ pada saat _when_.
Lebih dari itu, jurnalis juga mampu menggali informasi tentang “misteri” _how_ (bagaimana) modus operandi korupsi dilakukan. Selanjutnya, jurnalis juga mampu mengungkap “misteri” _why_ (mengapa) korupsi itu dilakukan oleh _who_.
Informasi (baca: bahan berita) tentang _why_ dan _how_ atas _what_ dan _who_ yang mendalam, luas dan akurat, pasti “berdaya ledak” tinggi jika dipublikasikan. Jurnalisnya pun tidak akan kekurangan bahan berita untuk terus memproduksi karya jurnalistik berkesinambungan ( _running news_).
Berita kelanjutan ( _follow up news_) yang bermuatan _why_ dan _how_ atas tindak pidana khusus tersebut pasti selalu dinanti-nantikan oleh khalayak komunikan medianya. Tentu, ditunggu-tunggu pula oleh Sang Koruptor dan kroni-kroninya. Bahkan, aparat penegak hukum pun memonitor.
*_”Melek”_ Hukum*
Saya tidak pernah jemu mengingatkan ihwal betapa sangat penting jurnalis _”melek”_ hukum positif (undang-undang). Hal itulah yang saya pertegas lagi kepada tiga jurnalis muda tersebut saat bertandang ke gubu saya.
Ya, _”melek”_ hukum positif, inilah kelemahan ketiga di kalangan junalis muda. Tidak boleh dianggap enteng, dipandang remeh.
Saya tegaskan, sungguh berbahaya jika jurnalis tidak _”melek”_ hukum positif. Berbahaya bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi institusi medianya, dan bagi khalayak komunikan medianya. Lazimnya, baru menyadari bahaya tersebut setelah tersandung delik pers.
Sungguh saya berharap, jangan ada lagi jurnalis yang tidak tahu bedanya _alat bukti_ dengan _barang bukti_. Jangan ada jurnalis yang tidak mafhum beda terminologi _terlapor, terperiksa, tersangka, terdakwa, terpidana_.
Jangan ada lagi jurnalis yang tidak memahami mekanisme _penyelidikan, penyidikan, penggeledahan, penyitaan, penyegelan_ dan tindakan hukum lain yang diatur dalam KUHAP (Hukum Acara Pidana).
Di akhir opini ini, saya berharap kepada kalangan junalis muda untuk serius belajar hukum positif. Mulailah dari hukum publik (hukum pidana) baik pidana umum maupun pidana khusus. Sebagai langkah awal, pelajari “pondasi” hukum pidana, yaitu UU RI No. 8/ Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Setelah itu barulah hukum-hukum positif yang lain.
Semoga tidak muncul penyesalan di belakang hari, karena tersandung delik pers. (☆)
@Yunanto adalah wartawan senior di Malang.
Leave a Reply