Oleh: Moh. Husen
Pergilah ke masjid atau musholla. Atau mungkin silaturahmi ke saudara atau teman di desa-desa yang sunyi dari keramaian hingar bingar kota. Tinggalkan sejenak berbagai aktivitas yang menguras tenaga dan fikiran. Nikmatilah suguhan Maulid Nabi. Meskipun sekedar jajan-jajan kecil. Rasakanlah keikhlasan ibu-ibu yang membikinnya di dapur. Seakan-akan disuguhkan untuk Sang Nabi Agung penuh binar cahaya: Muhammad Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
Tidak tersentuhkah dan tidak butuhkah kita dengan suguhan keikhlasan? Kalau batin kita akhir-akhir ini selalu saja dilanda kegersangan jiwa yang mendalam, kegalaun yang entah kenapa, tidakkah mungkin hal itu dikarenakan kita kini telah kehilangan sekaligus meninggalkan sangat jauh supplai keikhlasan dalam diri?
Sebuah puisi sedang saya karang sendiri meskipun tak akan pernah saya baca: “Berkunjunglah ke desa dan dusun-dusun sunyi yang terpencil. Datangilah peringatan malam purnama Maulid Nabi. Hirup dan nikmati suguhan keikhlasan hati mereka yang sunyi…”
Belum saya lanjutkan tiba-tiba sudah ada yang memotong: “Nggak usah ke desa Bos. Kejauhan. Sebagaimana dulu ada ABRI masuk desa. Maka kini harus kita balik. Maulid di desa harus kita bawa masuk ke kota Bos…”
Kemudian puisinya saya lanjutkan: “Wahai keikhlasan, dimanakah engkau? Aku kangen? Di desa kah engkau? Di kota kah engkau? Dimanakah engkau wahai keikhlasan berada? Aku rindu… Aku rindu… Aku rindu… Teramat sangat rindu…”
Lantas dipotong lagi: “Emang kamu sendiri ikhlas? Kok mencari-cari ikhlas? Emang kamu ngerti kangen? Kok teriak-teriak kangen?”
Tidak saya hiraukan, puisi jalan terus: “Oh purnama, bersembunyikah engkau di sebuah desa? Bersembunyikah engkau di kota yang berteduh hati desa? Adakah engkau di desa yang kini sangat kota? Oh… Dimanakah engkau wahai sang purnama?”
Sampai disini masih dipotong lagi: “Apa maksud purnama disitu? Apakah kata ganti keihklasan mengikuti kalimat sebelumnya? Atau kamu sedang berteriak memanggil Kanjeng Nabi menggunakan metafora kiasan purnama?”
Karena diputong terus, akhirnya puisi yang rencananya saya beri judul Purnama di Sebuah Desa, tidak saya lanjutkan.
Saya ganti dengan sebuah ceramah: “Saudara-saudaraku. Tidakkah kita menangis tatkala Kanjeng Nabi naza’ menjelang meninggal dunia, beliau menyebut ummatiii…ummatiii…ummatiii… Jangan dikira Kanjeng Nabi tidak jatuh cinta kepada Allah. Jangan dikira Kanjeng Nabi tidak jatuh cinta kepada anak istri dan keluarganya. Tapi karena sungguh saking mulianya hati dan akhlak Sang Rasul kita ini, maka kita-kita yang sangat jauh dari zaman Kanjeng Nabi inilah yang justru disebut-sebut oleh beliau. Kanjeng Nabi selalu tidak tega dengan kita. Ya karimal akhlaq… Ya karimal akhlaq… Wahai yang akhlaknya sungguh paling mulia Ya Rasullullah…”
Hati tertegun dan jiwa menangis meraung-raung.
(Banyuwangi, 20 November 2018)
Leave a Reply