INI bukan soal September ceria. Sebuah lagu yang selalu dikenang generasi tua sampai ini. Tetapi ini mengenai “lagu lama” korupsi yang diulang para kepala daerah sampai terkena OTT KPK. Sejak awal September lalu berita mengenai korupsi ramai mewabah.Dunia medsos dibanjiri warta korupsi yang sejurus waktu televisi menyiarkan sepasang istri-sumi ini (Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminuddin) dari Gedung KPK. Lagi-lagi korupsi menjadi tragedi kala pandemi. Beritanya tidak bisa dihindari di tengah air bah informasi yang melimpah. Sejenak soal ekonomi hijau, krisis air bersih, ujaran kebencian ataupun perkembangan vaksinasi tertepikan. Kabar OTT-KPK terhadap Bupati Probolinggo dan anggota DPR beserta rombongan kaum “penikmat rasuah” hadir menggelombang, justru dari desa. Diduga ada jual beli jabatan kepala desa. Narasi kasusnya serupa dengan yang menjerat Bupati Nganjuk dalam OTT KPK (9/5). Inilah potret “kreasi” mengkapitalisasi posisi dalam jubah demokrasi. Ini adalah refleksi pengingat bahwa pelajaran selalu ada dalam jejak peristiwa.
Tirani Birokrasi
Kini pemahaman publik sedang digiring untuk mencoba mengerti konstalasi korupsi yang merayap ke desa-desa. Sejengkal teritori yang selama ini menjadi ajang ontran-ontran demokrasi paling realistis: ada bebotoh dan “uang saku”. Inilah efek pendulum pilkada yang tertunda. Padahal pemilihan itu adalah instrumen politik penting agar kepemimpinan memiliki legitimasi kerakyatan. Bahkan ditata melalui tahapan hukum yang ketat demi keterpilihan yang berkeabsahan tanpa cela.
Sayangnya, pemilu (pilkada-pilkades) telah membuncah bermuatan “kemenangan tiranik” yang diberi atribut demokratik. Ruang argumentasi filosofis mengenai makna sebuah pemilu dipertanyakan. Buat apa berdemokrasi yang melahirkan tirani birokrasi yang koruptif? Khalayak menyibak gejolak “kemunafikan berdemokrasi”.
Jabatan produk pilkada dilelang dengan harga pasaran. Inilah penanda bahwa korupsi menjamah demokrasi, bahkan demokrasi memberikan karpet merah penggenggam kekuasaan untuk mencuri “amanat rakyat”. Pada titik ini OTT KPK adalah penyelamatan.
Jerbea Mawa Basuki
Hadirnya penguasa daerah yang ter-OTT KPK merupakan lukisan “bencana kepemiluan” yang semakin melengkapi helatan bencana lingkungan di Indonesia. Pemegang otoritas wilayah tampil tanpa tedeng aling-aling. Mereka menggiring negara hukum (rechtsstaat) menuju negara kekuasaan (machtsstaat) yang koruptif. Parpol pun cenderung mengusung pemilik “uang tanpa seri” yang menabrak etika penyelenggaraan negara. Bacalah “paugeran berkuasa” anti korupsi. Dalam Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, telah dinormakan kepada setiap pejabat dan elit politik, untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Terdapat pula kewajiban menjalankan seluruh undang-undang sesuai sumpah jabatan dengan selurus-lurusnya.
Bertindak baik dan adil adalah sikap yang dipersumpahkan oleh pelaku kekuasaan. Menjalankan segenap regulasi negara merupakan tuntutan konstitusi yang harus dilaksanakan. Tindakan memutar motto jerbasuki mawa bea (setiap kamukten butuh modal) menjadi jerbea mawa basuki (membiayai jabatan) adalah tindakan “memunggungi” fatsun bernegara. Korupsi adalah tindakan yang melecehkan keluhuran budi bangsa dan wibawa negara hukum. Konstruksi sosial ini mempersyaratkan perilaku sadar diri, karena hal ini tidak hanya menyangkut teks hukum tetapi juga etika pemerintahan. Pemimpin yang menjunjung tinggi etika niscaya merasa risih atas status tersangka. Moral mengajarkan kebijakan personal untuk mengambil jarak tahu diri.
Gnothi Seauton
Tentu banyak pihak tersentak melihat peristiwa hukum yang dipertontonkan. Negara hukum digiring ke simpang jalan kesesatan dengan lahirnya jual beli jabatan. Hukum direndahkan supremasinya oleh tabiat pemegang mandat yang abai atas tugasnya. Negara hukum terancam kehilangan martabatnya. Keadaan demikian mereduksi hukum korupsi sekadar pasa-pasal yang berjejer tanpa efek jera. Pelaksana dan penegak hukum sejatinya menjadi peneguh keadilan, bukan abdi yang mahir memainkan norma pemerintahan. Kalau jabatan diseret ke “kaukus transaksional” dan membaringkannya di tepian jalan, itulah pertanda sinyal terang dering lonceng kematian birokrasi.
Kini kita semua dapat menyaksikan tingkat integritas para tokoh dan “pemulung” kekuasaan. Situasinya mengaduk-aduk jiwa rakyat sebagai manifestasi kualitas kepemimpinan yang ada. Terdapat intrik jabatan disuguhkan untuk digembalakan “jamaah tim sukses kekuasaan”. Adu kekuatan yang berputar di lingkar jabatan pada simpulnya senantiasa membentur tembok kultural yang memompa geram sosial. Semua dipertontonkan dan pikiran warga negara membuncah penuh tanda tanya. Kekuasaan yang jumawah, mengajak adu kuat tarik nafas kepada rakyat, lazim dipungkasi tragis.
Atau kita saja yang terlalu curiga dan sungguh dianggap tidak paham bahwa semua pejabat adalah baik. Mereka dalam tradisi Romawi kuno adalah novus homo (manusia baru) yang seyogianya dianggap suci dari tindakan tidak terpuji. Butuh alibi retorik bahwa “mereka bukan korupsi, melainkan berbagi rejeki”. Kalau demikian berarti sebagian besar diri ini sedang kecanduan korupsi.
Di ujung ingatan, tampak semua kembali ke ruhani demokrasi para pejabat sendiri, sambil mengenang pantun dari tanah Melayu: Orang Keling berkedai kain/Kapas sudah menjadi benang/Baik berpaling pada yang lain/Hak yang lepas jangan dikenang.Tapi tabiat koruptif tetaplah Nganjuk Probolinggo, gak njaluk (tidak minta) gak lego (tidak enak). Sebuah permintaan di tepi batas yang berdampak pada jabatan yang terhempas.
Akhirnya, sebagai penutup, saya teringat catatan Rutger Bregman dalam bukunya Human Kind (2020): menurut legenda, ada dua kata tertulis di depan Kuil Apollo di Delfi. Kuil itu merupakan tempat ziarah penting, dan orang datang ke sana dari seluruh Yunani untuk mencari nasihat dewa. Yang mereka baca sebelum masuk adalah Gnothi Seauton. Kenali dirimu.
Suparto Wijoyo adalah Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya
Leave a Reply