Oleh : Suparto Wijoyo
Akademisi Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
22-23 Desember dihelat hajatan besar NU. Muktamar ke-34 di Lampung. Muktamar yang mewarnai usia NU ke-95 tahun (31 Januari) dengan kehendak yang sangat ekologis. Mengapa? Dalam bincangan ekosistem tentu melihat NU pertama-tama adalah soal lambangnya. Ya … lambang NU bukan hanya bermakna spiritual dalam takaran keagamaan. Bagi mereka yang belajar “teoekosistem” pasti akan tertegun. Lambang NU begitu futuristik dengan gambar bumi yang bermuatan peta NKRI yang terjaga dengan ikatan tali tampar (tambang). Ini memiliki makna tentang penyelamatan bumi yang jauh lebih awal (1926) daripada konferensi-konferensi internasional mengenai lingkungan. Masyarakat internasional baru menyadari “remuk-redam bumi” di tahun 1972 melalui Konferensi Stockholm. Deklarasi Stockholm memberikan hentakan kolosal tentang derita lingkungan yang harus diperhatikan semua bangsa.
NU sesungguhnya telah memberikan lompatan kuantum bagi lingkungan. Setiap acara Muktamar NU terdapat pesan ekologia yang mustinya dihayati secara tematik oleh Muktamirin. Muktamar NU yang selalu diselenggarakan telah terasa semakin meriah dengan rangkaian kegiatan pendahuluan. Muktamar itu benar-benar sangat berarti bagi pembangunan karakter bangsa (nation character building). Beragam masalah niscaya dikaji dalam Muktamar tersebut dengan kecakapan intelektual (scientific-mind) dari aspek politik, ekonomi, sosial-budaya maupun keorganisasian NU (jam’iyah) dengan segala implikasinya bagi kepentingan jamaah NU (nahdliyin).
Panduan Moral NU
Secara historis NU tampil sebagai pemandu umat dan pemberi peneguhan terhadap kekokohan NKRI. NU hadir sebagai pengawal teologi yang diyakini mampu mengemban ajaran Islam yang berdurasi dalam lingkar “catur moral”, yaitu: tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar makruf nahi munkar (menegakkan kebaikan mengenyahkan kemungkaran). Untuk itulah keberadaan NU dipastikan tidak pernah membahayakan NKRI termasuk secara ekologis, tetapi justru menjadi perekat bangunan NKRI. Penerimaan Pancasila sebagai Asas Tunggal yang digulirkan sejak Muktamar di Situbondo 1984 dan NKRI dianggap sebagai bentuk final bernegara, adalah salah satu contoh betapa NU begitu penting dalam menjaga stabilitas kenegaraan. Kini NU semakin tertantang untuk lebih memperhatikan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam aspek ekonomi, sosial dan ekologis.
NU sebagai lokomotif perubahan untuk mewujudkan masyarakat madani (civil-society) telah digelorakan sejak kepemimpinan PBNU ditangan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur selama 1984-1999. Gerakan ini merupakan investasi terbesar NU bagi penguatan NKRI yang demokratis. Perspektif ekologis menghendaki agar NU selalu menjadi penggulir momen pergerakan lingkungan dibanding syahwat politik. Secara ekologis sudah sepantasnya NU terpanggil untuk turut hadir menyelamatkan krisis lingkungan.
Dalam catatan sejarah permuktamaran NU misalnya, sebenarnya telah dicatat secara gemilang tentang nurani ekologis NU. Pada Muktamar NU Ke-29 Tahun 1994 (1415 H) di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, NU telah menetapkan bahwa mencemarkan lingkungan hukumnya haram dan dikualifikasi sebagai perbuatan kriminal (jinayat). Sejak tahun 1994 itulah NU telah “memfatwakan” mengenai tindakan mencemarkan lingkungan sebagai kejahatan. Sebuah pernyataan “kriminalisasi pencemaran lingkungan” yang sangat progresif dan futuristik. Pada Halaqoh Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup, PBNU tertanggal 20-23 Juli 2007 diputuskan pula bahwa nahdliyin dan seluruh warga masyarakat wajib memperjuangkan pelestarian lingkungan hidup (jihad bi’iyah) dengan mengembangkan gerakan: menanam dan merawat pohon, mengamankan hutan, melakukan konservasi tanah, air dan keanekaragaman hayati, membersihkan kawasan perumahan dan industri dari polusi dan limbah, melestarikan sumber air, memperbaiki kawasan pertambangan, membantu penanggulangan bencana, membangun ketahanan pangan dan energi nasional, meningkatkan daya saing produk dalam negeri, menetralisir penetrasi pasar global dan menjaga stabilitas ekonomi nasional. Masalah pajak karbon juga dibincang dalam Munas Alim Ulama dan Kombes NU 2021.
Itu adalah manifes daya jangkau penjelajahan NU untuk Indonesia secara ekologis. Putusan Muktamar NU di Cipasung 1994 saatnya terus diaktualisir sebagai episentrum kebijakan politik lingkungan di Indonesia. Aktualisasi ini penting artinya mengingat sekarang terjadi kamuflase kolektif atas nama lingkungan. Orang yang gemar kampanye anti plastik justru sedang asyik mencetak gambar-gambarnya dari plastik.
Eco-Society NU
Sadarilah bahwa gambar-gambar plastik yang terpasang dari setiap perhelatan politik justru membahayakan lingkungan. NU yang telah berhasil sebagai pembangun civil society diagendakan mampu mengembangkan eco-society untuk kepentingan pelestarian lingkungan. Nahdliyin di samping memiliki kapasitas kecerdasan intelektual yang paripurna dengan derajat emotional intelligence (kecerdasan emosional)dan spiritual intelligence (kecerdasan religius) yang mapan, saatnya diberi bekal kecerdasaan lingkungan. Kita semua percaya bahwa NU sangat kuat untuk mengonstruksi kecerdasan lingkungan bagi terbangunnya eco-society.
NU menyadari bahwa ternyata kecerdasan emosional dan spiritual saja tidak cukup untuk mengubah Indonesia lebih baik. Maka para psikolog (lingkungan) sekelas Daniel Goleman menawarkan ukuran baru perilaku seseorang yang dinamakan ecological intelligence. Lingkungan harus menjadi parameter sekaligus variabel penentu setiap perilaku seseorang. Orientasi ekologis adalah cermin pembulat kecerdasan emosional dan spiritual. Orang yang memiliki ecological intelligence akan memposisikan diri pada lingkungan secara ekosistemik yang terintegrasi dengan sikap hidupnya (ecologists). Mengotori lingkungan haram hukumnya. Begitu dalilnya.
Dalam skala ecological intelligence, maka nahdliyin dan warga NKRI secara nyata mutlak menyuarakan kepentingan lingkungan (environmentalists). NU secara eksplisit telah mengarusutamakan kepentingan lingkungan. Berapa luasan ruang terbuka hijau yang dirawat NKRI? Berapa luas areal konservasi yang telah korporasi bina? Tentu deret ukur praktis ini dapat ditambah berpuluh-puluh lagi. Selamat bermuktamar, kepadamu NU, kami belajar merawat bumi ini. Semoga.
Leave a Reply