MALANG (SurabayaPost.id) Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Malang mulai menerapkan Peraturan Presiden (Perpres) yang baru, nomor 16 tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa (PBJ).
Penerapan itu, menurut Sekretaris Dindik Kota Malang, Totok Kasianto karena tak ingin ada masalah terkait PBJ. “Terutama pengadaan di sekolah yang didanai BOS (Bantuan Operasional Sekolah),” kata dia kala mendampingi Kepala Dindik Kota Malang Dra Hj Zubaidah, MM, Selasa (27/11/2018).
Dijelaskan dia PBJ di sekolah itu harus sesuai Perpres nomor 16 tahun 2018. “Itu Karena di tahun 2019 nanti sudah mengikuti aturan Perpres ini. Makanya kami akan mengawal mulai dari proses pengadaan barangnya,” katanya.
Untuk itu Dindik Kota Malang menggelar Bimtek terkait PBJ kepada para kepala sekolah di Hotel Savana sejak Senin (26/11/2018). Dia berharap, PBJ mulai dari proses hingga Rencana Kerja Sekolah (RKS) berpedoman pada Perpres nomor 16/2018 itu. Sebab Kasek bukan lagi tugas tambahan. Namun, juga manajerial. Sehingga tanggung jawabnya penuh, termasuk soal PBJ.
Meski begitu dia mengingatkan agar tak sembarangan melakukan PBJ. “Harus disesuaikan dengan kebutuhan, bukan keinginan,” tutur dia.
Selain itu, tegas dia, penggunaan dananya juga harus efektif dan efisien. “Sesuai kebutuhan dan jangan salah mencatat,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah Kota Malang, Shaleh Wijaya Putra mengatakan bila peraturan PBJ itu tidak berdiri sendiri. Alasannya, juga berkaitan dengan peraturan yang lain.
Dia contohkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. “Itu harus sinergi. Bagaimana proses pengadaan dan keuangannya,’ terang dia.
Makanya, tegas dia, di dalam Perpres nomor 16 ini ada peraturan yang terkait. “Itu harus benar-benar diperhatikan,” imbaunya.
Jika tidak, tegas alumni STPDN yang akrab disapa Jaya itu, sangat rawan berhadapan dengan penegak hukum. Sebab, menurut dia, satu satunya keahlian dan profesi yang setiap waktu harus menghadapi ‘pengadilan’ dari pihak penegak ‘keadilan’ adalah bagian pengadaan ini.
“Kenapa begitu? Ya, mungkin inilah satu satunya profesi dimana keahlian diukur dengan pidana. Sebab kesalahan prosedur dianggap sebagai tindakan melawan hukum. Itu dianggap sebagai kejahatan. Sehingga pelakunya layak diseret ke pengadilan,” urai dia.
Dijelaskan Jaya, bila hal itu merupakan suatu proses ajaib yang nyatanya ada. “Lebih ajaib lagi sebagian ahli dan penggiat PBJ juga punya cara berpikir yang sama. Kesalahan prosedur adalah pelanggaran hukum pidana. Sehingga pelakunya dinilai layak mendapatkan hukuman penjara,” papar dia dengan nada heran.
Menurut Jaya, dalil tersebut di atas menegaskan bahwa kesalahan prosedur –yang sebenarnya sering terjadi karena kurangnya kompetensi atau keahlian– kemudian harus diadili dalam ajang peradilan pidana. Itu artinya, hukum mengadili keahlian seseorang.
“Lebih ironis lagi, sering kali terjadi penentuan salah atau tidak dilakukan oleh orang yang justru tidak punya keahlian. Puncak ironisnya, saksi ahli yang katanya memiliki keahlian paripurna justru membenarkan bahwa kesalahan prosedur itu sebagai suatu penyimpangan atau bahkan suatu kejahatan tanpa melihat fakta lainnya. Jadi cukup dengan satu peristiwa kesalahan prosedur,” tandas dia.
Disisi lain, lanjut Jaya, keahlian pengadaan itu hanya diberikan lewat pendidikan selama 4 hari saja. Mereka yang ikut, kata dia, dianggap sudah punya profesi yang sangat presisi. Sehingga tidak boleh keliru atau salah.
Situasi itu, kata Jaya seperti berburu di kebun binatang. Sebab, lebih mudah menemukan kesalahan prosedur pengadaan daripada menemukan implementasi strategi pengadaan.
“Kita tidak tahu sampai kapan lingkaran setan itu akan berakhir. Dan kapan kita ahli pengadaan bisa bebas berkreasi tanpa rasa ketakutan. Kita belum tahu. Karena itu harus hati-hati,” ungkapnya. (Doddy/aji)
Leave a Reply