
MALANGKOTA (SurabayaPost.id) – Kota Malang menjadi sorotan setelah Komisi D DPRD setempat menyoroti kasus tragis pasien yang meninggal akibat terkendala layanan BPJS Kesehatan. Keprihatinan mendalam muncul terhadap sistem layanan kesehatan yang tampak terjebak dalam kompleksitas regulasi dan kemanusiaan.
Asmualik, anggota Komisi D DPRD Kota Malang, mengungkapkan bahwa rumah sakit di Kota Malang kerap dihadapkan pada pilihan sulit: mematuhi aturan BPJS atau mengutamakan prinsip kemanusiaan. Kasus meninggalnya seorang ibu dengan tumor otak pada 11 Agustus 2025 menjadi contoh nyata betapa beratnya akses layanan kesehatan bagi sebagian masyarakat, meski mereka telah membayar iuran BPJS.
“Banyak laporan dari masyarakat yang kesulitan mendapatkan layanan kesehatan, padahal mereka aktif membayar iuran. Ini menunjukkan regulasi yang ada terasa sangat memberatkan,” kata Asmualik saat ditemui awak media, Kamis (11/9/2025).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyoroti salah satu aturan BPJS yang dinilai tidak realistis: kewajiban suhu tubuh pasien mencapai 40 derajat untuk bisa dicover BPJS. Hal ini menempatkan rumah sakit pada posisi dilematis; jika tetap melayani pasien di luar kriteria tersebut, mereka berisiko tak mendapat pembayaran, sehingga memicu tagihan tak tertagih—terutama di rumah sakit pemerintah yang tetap melayani dengan prinsip kemanusiaan.

“Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi bisa mengganggu keberlangsungan keuangan rumah sakit,” ujarnya.
Komisi D DPRD Kota Malang berkomitmen mendorong evaluasi kebijakan BPJS ke tingkat pusat melalui Fraksi PKS. Asmualik menegaskan bahwa regulasi yang merugikan pasien harus segera diperbaiki.
“Kami akan sampaikan masalah ini ke pusat untuk mendorong perubahan kebijakan BPJS. Ini kebijakan yang sangat berbahaya—pasien kehilangan nyawa karena regulasi yang tak manusiawi,” tegas Asmualik, yang optimis perwakilan fraksinya di Komisi IX DPR RI bisa membantu upaya ini.
Hal senada juga disampaikan Ginanjar Yoni Wardoyo, anggota Komisi D dari Fraksi Gerindra. Ia juga menyoroti ketidakselarasan antara aturan BPJS dan implementasinya. “Seringkali prosedur di rumah sakit tak sinkron dengan aturan BPJS. Pasien yang seharusnya dicover malah ditolak, prosesnya berbelit, dan ini sering fatal,” katanya.

Ginanjar mempertanyakan efektivitas alokasi APBD Kota Malang sebesar Rp 150 miliar untuk iuran BPJS masyarakat kurang mampu yang dinilai tak berbanding lurus dengan kualitas pelayanan.
“Anggaran besar tapi pelayanan buruk? Harus ada mekanisme jelas agar BPJS benar-benar jadi penyelamat nyawa masyarakat,” ujarnya.
Baik Asmualik maupun Ginanjar menegaskan DPRD Kota Malang mendesak pemerintah pusat, BPJS Kesehatan, dan rumah sakit untuk berkolaborasi mencari solusi. Mereka berharap reformasi regulasi dapat membuat layanan kesehatan lebih manusiawi dan efektif bagi warga Kota Malang. (lil).